Saran Ahmad Tohari untuk para penulis
Singapura (ANTARA News) - Penulis Ahmad Tohari punya nasihat untuk
para penulis masa kini.
"Tulislah sesuatu yang sangat lokal dan kontekskan ke global
serta dalam kualitas global, tidak murahan. Sesungguhnya tidak ada tataran
lokal yang terpisah secara global," kata Ahmad Tohari.
Penulis novel trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" itu
mengemukakan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam diskusi sastra melayu di
Singapore Writers Festival, Minggu.
Tohari mencontohkan karyanya tersebut yang ditulis berdasarkan
pengalaman yang sangat lokal.
"Novel saya berbasis sangat lokal tapi kemudian saya merasa
sudah berbuat sesuatu secara global ketika novel saya mendunia," kata
Tohari.
Lebih lanjut Tohari mencontohkan tema kemiskinan, suatu hal yang
bisa ditulis dengan basis lokal namun hal itu juga merupakan sesuatu yang
global.
"Begitu juga ketika saya baca karya John Steinbeck `Positano`
tentang kegilaan, saya jadi teringat kegilaan yang mirip di tempat saya,"
katanya.
Dia khawatir para penulis saat ini hanya terpukau oleh hal-hal
yang mereka anggap global dan lupa pada yang lokal.
"Dengan karya berbasis lokal tapi berkualitas global maka
antar budaya kita bisa saling memberi. Orang Amerika bisa tahu apa yang terjadi
di tempat kita, tidak cuma sebaliknya," kata Tohari.
Di sisi lain, Tohari mengingatkan bahwa menulis lokal bukan
berarti alergi terhadap semua dari luar.
"Rendra menulis `Rick dari Corona` dengan sangat bagus, tapi
dia juga menulis `Balada Lelaki Tanah Kapur` dengan sangat bagus. Budi Darma
menulis `Orang-orang Bloomington` dengan sangat bagus."
Tohari juga mengemukakan sastra mengikuti perkembangan yang ada di
masyarakat. Sastra Indonesia pada awalnya berdasarkan masyarakat agraris tapi
sejak awal 1980-an beralih ke masyarakat industrial yang punya nilai-nilai
sendiri.
"Misalnya soal kebahasaan, sastra di masa masyarakat agraris
bahasanya penuh dengan petatah-petitih, kata-kata bersayap," kata Tohari
lalu mencontohkan "Robohnya Surau Kami" dari AA. Navis dan "Di
Bawah Lindungan Kabah" dari Hamka.
"Ketika itu memang begitu tuntutannya, itulah yang memenuhi perasaan manusia zaman agraris. Kini, fondasinya adalah industrial yang punya nilai sendiri, jadi bahasa seperti itu ditinggalkan. Era industrial punya nilai sendiri, antara lain efisiensi, ketepatan, hemat bahasa."
"Ketika itu memang begitu tuntutannya, itulah yang memenuhi perasaan manusia zaman agraris. Kini, fondasinya adalah industrial yang punya nilai sendiri, jadi bahasa seperti itu ditinggalkan. Era industrial punya nilai sendiri, antara lain efisiensi, ketepatan, hemat bahasa."
Tohari mencontohkan jika sastra dulu menggunakan kalimat
"seorang anak yang pandai" maka kini menjadi "anak yang
pandai" atau bahkan "anak pandai".
Menurut Tohari, nilai-nilai baru dalam sastra juga terkait dengan
globalisasi dan menurut dia hal itu wajar.
"Dan, kita juga punya amanat yaitu menjaga dan mengembangkan
bahasa kita. Saya orang Jawa tidak boleh kehilangan berbahasa ibu saya, lalu
bahasa nasional saya. Di sisi lain, kita juga akan berkembang multilingual sehingga
bahasa Inggris, Jepang, Korea, juga harus kita kuasai."
Sumber