Hindari Korupsi, Audit Sekolah Eks RSBI

BOYOLALI, KOMPAS.com - Masa transisi setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pembubaran rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sebaiknya dimanfaatkan sekolah-sekolah yang berstatus RSBI untuk melakukan audit internal. Audit ini untuk menghindari korupsi atas dana-dana bantuan pemerintah yang dikucurkan selama ini.

"Audit ini harus dilakukan, karena sebelum turun keputusan MK, hampir setiap sekolah RSBI mendapatkan alokasi dana block grant dari pemerintah pusat. Dana ini diperoleh sejak mulai dari awal pembentukan sekolah RSBI dan pemerintah pusat rajin menggelontorkan dana besar tiap tahun untuk sekolah RSBI," ujar Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Boyolali, Bramastia, Senin (21/1/2013) di Boyolali, Jawa Tengah.

Bramastia menegaskan, selama ini pemerintah mengalokasikan anggaran berdasar jenjang sekolah RSBI, misalnya dana untuk SD sekitar Rp 200 juta per tahun, untuk SMP sekitar Rp 300 juta per tahun dan SMA/SMK sekitar Rp 600 juta dari APBN. Bahkan, sekolah RSBI ternyata juga mendapatkan dana yang berasal dari APBD dan masyarakat dengan jumlah bervariasi selama ini.

Karena itu, Bramastia menyarankan agar pada masa transisi eks sekolah RSBI hingga akhir tahun ajaran 2012/2013, seluruh eks sekolah RSBI, termasuk di Boyolali sebaiknya melakukan audit internal untuk menghindari korupsi.

"Audit eks sekolah RSBI harus dimaknai sebagai bentuk pertanggungjawaban eks sekolah RSBI atas dana publik yang dipergunakan selama ini pasca penghapusan program RSBI oleh MK. Bagaimanapun juga, setiap dana publik yang dipergunakan wajib hukumnya untuk dipertanggungjawabkan, baik dana yang bersumberkan dari APBN, APBD ataupun dana yang dipungut langsung dari masyarakat," tegas Bramastia.

Jika perlu, untuk transparansi, masyarakat harus berperan aktif untuk melakukan permintaan audit ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada eks sekolah RSBI di Boyolali. Alasannya, sesuai dengan Undang-Undang BPK No. 15 tahun 2006, Pasal 6 ayat (1) bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Khusus untuk Boyolali, menurut Bramastia, saat ini memang ada lima sekolah yang berstatus RSBI, yakni SMAN I Boyolali, SMKN I Boyolali, SMKN I Mojosongo, SMPN I dan SMPN II Boyolali

Ia menilai, pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan terhadap Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang RSBI pada sidang putusan 8 Januari 2013 lalu, nasib eks sekolah RSBI menjadi serba dilematis dalam pengelolaan anggarannya. Kini, eks sekolah RSBI sudah tak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam mengelola dana yang selama ini tergolong melimpah.

Sumber
Kompas Edukasi

Iuran "RSBI" Masih Harus Dibayar Sampai Tahun Ajaran Baru


JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa untuk iuran bulanan sekolah atau biasa disebut SPP di sekolah eks Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) harus tetap dibayar sampai tahun ajaran baru mendatang.

"Kalau SPP kemungkinan besar terus sampai tahun ajaran baru nanti karena proses pembelajaran harus jalan," kata Nuh saat dijumpai di Gedung A Kemdikbud, Jakarta, Senin (21/1/2013).

Ia mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dirancang oleh sekolah tersebut berlaku tiap tahun ajaran baru. Untuk itu, anggaran dan sasaran program yang berjalan tahun ini masih merupakan kelanjutan dari program tahun ajaran 2012/2013 yang tidak bisa begitu saja dihentikan.

"Nah untuk tetap menjalankan program itu kan butuh sumber dana. Dananya bisa dari APBD, pusat atau dari masyarakat. Sesuai dengan rancangannya kan harus tetap lanjut. Karena harus jalan tidak mungkin dikurangi," jelas Nuh.

"Jadi sampai tahun ajaran ini SPP tetap jalan seperti biasa. Tapi pungutan baru tidak boleh," imbuhnya.

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto, juga menyatakan hal senada yaitu pungutan yang ada di sekolah disesuaikan dengan program sekolah tersebut. Jika program masih berjalan maka pungutan tetap diperkenankan sampai tahun ajaran baru.

"Bukan sekadar pungutan saja tapi harus berkaitan dengan program sekolah," jelas Taufik.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap RSBI, banyak pihak mempertanyakan kebijakan pungutan pada sekolah ini. Pasalnya, sesuai undang-undang sekolah dengan status RSBI ini diperbolehkan menarik biaya dari masyarakat tidak seperti sekolah reguler lain.

Sumber
Kompas Edukasi

Bersekolah Dinilai Hanya untuk Mendapatkan Ijazah

JAKARTA, KOMPAS.com — Perubahan Kurikulum 2013 tidak hanya butuh guru yang siap mengimplementasikan pembelajaran yang aktif dan inovatif di dalam ruang kelas. Guru juga mesti dipersiapkan untuk mengubah paradigma soal evaluasi pembelajaran yang tidak semata-mata untuk nilai atau lulus.
Terlebih lagi, perubahan Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan yang terintegrasi antara kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan, membutuhkan evaluasi yang tidak hanya didapat dengan mengadakan ujian, tetapi juga penilaian selama proses pembelajaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
"Tes ujian kelulusan, seperti ujian nasional atau UN, nampaknya kontraproduktif dengan pembelajaran yang diharapkan dengan adanya perubahan Kurikulum 2013. Dalam pendidikan kita, perlu ada perubahan paradigma soal evaluasi, baik di kalangan pemerintah, guru, siswa, hingga masyarakat," kata Elin Driana, praktisi pendidikan yang mendalami bidang riset dan evaluasi, di Jakarta, Senin (21/1/2013).
Menurut Elin, evaluasi di Indonesia, termasuk UN, selama ini berorientasi nilai. Sekolah dipandang untuk mencari nilai baik dan dapat ijazah.
"Esensi belajar atau pendidikan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, untuk cinta belajar, belum muncul. Anak-anak kita belajar karena mau mengejar nilai, bukan karena cinta belajar. Perubahan Kurikulum 2013 harus mampu mengubah paradigma itu," kata Elin.
Evaluasi untuk sekadar lulus, karta Elin, justru mulai ditinggalkan. Ia mencontohkan Shanghai yang meninggalkan evaluasi untuk kelulusan seperti UN, terutama untuk pendidikan dasar.
Dengan perubahan tersebut, Shanghai melesat maju dalam peningkatan hasil pendidikan dalam bidang matematika, sains, dan membaca dari beberapa evaluasi internasioanal seperti TIMMS, PISA, maupun PIRLS.
"Apalagi ujian pilihan ganda sangat terbatas untuk mengetahui kondisi siswa yang sesungguhnya. Memang sudah saatnya, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan UN meskipun soal UN sendiri sebenarnya pemerintah sudah membangkang keputusan pengadilan," kata Elin.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, ada kemungkinan UN dievaluasi. Namun, pemerintah belum membahas hal tersebut saat ini.
"Bisa saja nanti UN dievaluasi. Tetapi, UN memang masih dibutuhkan," kata Nuh. Dalam perubahan Kurikulum 2013, pemerintah memang merencanakan perubahan UN, tetapi pada soal waktu pelaksanaan.
Di SMA dan SMK, UN dimajukan ke kelas XI. Di SMA bertujuan supaya di tingkat akhir siswa bisa fokus untuk ujian masuk perguruan tinggi, sedangkan di SMK agar siswa bisa memperdalam praktik kerja industri untuk mematangkan sikap dan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto, mengatakan, pelaksanaan UN tidak relevan lagi untuk kelulusan, memotivasi belajar, dan untuk membentuk sikap kompetensi siswa.
Evaluasi UN semestinya dikembalikan untuk pemetaan, untuk memastikan siswa memenuhi kompetensi abad 21.  

Sumber
Kompas Edukasi

Bahas RSBI, Mendikbud Undang Kadisdik Se-Indonesia

JAKARTA, KOMPAS.com  Setelah hampir dua minggu berlalu pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh akan mengadakan pertemuan dengan kepala dinas pendidikan yang ada di seluruh Indonesia untuk membahas nasib sekolah mantan RSBI ini.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pertemuan tersebut digelar hari ini, Senin (21/1/2013). Agenda yang akan dibahas adalah mengenai perubahan istilah untuk sekolah eks-RSBI dan juga sistem pembelajaran serta pola penerimaan siswa yang akan dilakukan jelang tahun ajaran baru ini.

Seperti diketahui, majelis hakim MK yang dipimpin oleh Mahfud MD mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh Koalisi Pendidikan, orang tua murid, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait Pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini merupakan landasan hukum dari munculnya sekolah berstatus RSBI.

Meski telah diputuskan untuk menghapus status RSBI pada 8 Januari silam, pihak kementerian mengaku tidak bisa serta-merta menghentikan semua yang dilakukan oleh sekolah bekas RSBI tersebut. Hal ini termasuk kegiatan belajar mengajar yang diminta tetap dilanjutkan seperti biasa selama masa transisi hingga tahun ajaran baru.

Sementara untuk pungutan bulanan terhadap orang tua siswa, pihak kementerian belum dengan tegas melarang. Setiap muncul pertanyaan terkait hal ini, pihak kementerian hanya menjawab bahwa berbagai kemungkinan akan dibicarakan nanti. Masalah pungutan ini juga akan menjadi salah satu bahasan.

Sumber
Kompas Edukasi

Lembaga Pendidikan Guru Harus Memiliki Empat Kompetensi

JAKARTA, KOMPAS.com- Penguatan pendidikan calon guru di lembaga pendidikan tenaga kependidikan harus dilaksanakan dengan standar yang baik agar dapat menghasilkan guru profesional.
Namun, kenyataannya sarana dan prasarana di lembaga pendidik tenaga kependidikan, baik di perguruan tinggi eks-IKIP maupun yang di perguruan tinggi umum belumlah memenuhi standar yang baik.
Sudarwan Danim, pengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Bengkulu, yang dihubungi dari Jakarta, Senin (21/1/2013), mengatakan pendidikan secara umum menghadapi masalah adanya kesenjangan antara kebutuhan nyata dan akademik, termasuk juga dalam pendidikan para calon guru.
Dalam pendidikan calon guru, misalnya, kemampuan calon guru untuk memahami tugas guru dan kondisi sekolah secara riil masih terbatas. Apalagi praktik untuk pengalaman terjun langsung ke sekolah terbatas, sekitar satu semester.
Demikian juga dalam penguatan keilmuan untuk guru-guru mata pelajaran, seperti yang mengambil program studi pendidikan biologi, kimia, fisika, dan ilmu lain, untuk calon guru terbatas.
"Kalau di tempat kami, untuk laboratorium masih bergabung dengan yang ilmu murni. Jadi, pemanfaatan laboratorium bagi guru untuk mendalami ilmunya terbatas. Idealnya kalau bisa FKIP juga punya sendiri," kata Sudarwan yang juga  Ketua Persatuan Guru RepubIik Indonesia (PGRI) Provinsi Bengkulu.
Menurut Sudarwan, secara umum, kondisi pendidikan calon guru di LPTK masih terpinggirkan. Padahal, minat anak muda untuk menjadi guru mulai meningkat.
"Anak-anak yang pandai dan berprestasi sudah mulai melirik untuk profesi guru ini. Semestinya input calon guru yang mulai bagus ini bisa jadi potensi lulusan LPTK yang semakin baik dalam menghasilkan guru profesional," ujar Sudarwan, pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan.
Sementara itu Aris Winarto, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negri Surabaya, mengatakan LPTK masih terasa terpinggirkan dibandingkan perguruan tinggi umum.
Hal ini juga terlihat dalam UU Guru dan Dosen yang membuka peluang sarjana nonkependidikan untuk jadi guru. Menurut Aris, jika pemerintah berkomitmen menjadikan LPTK sebagai institusi penghasil guru, penguatan pendidikan di LPTK menjadi mutlak.
Bukan hanya menyediakan dosen yang kompeten untuk mendidik calon guru, tetapi juga fasilitas pendidikan. Aris menilai, masih ada kesenjangan mutu dan sarana prasana di antara LPTK negeri dan swasta.
Untuk itu, pengawasan dalam pendidikan calon-calon guru harus bisa dipastikan sesuai dengan standar yang diminta. Seorang guru di Indonesia harus memiliki empat kompetensi yakni kompetensi pedagogi, profesional, kepribadian, dan sosial.

Sumber
 

Orangtua Siawa di Pontianak Kecewa RSBI Dihapus

PONTIANAK, KOMPAS.com - Sebagian besar orangtua siswa di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Indonesia.
"Sangat kecewa begitu mengetahui RSBI dihapuskan, anak saya sekarang kelas IX SMPN 3 Pontianak, yang tidak lama lagi akan memasuki ujian akhir semester, Mei mendatang," kata Diah (40) salah seorang warga di Pontianak, Minggu (20/1/2013).
Ia menjelaskan, dirinya memang sudah bertekad untuk menyekolahkan anaknya di SMPN dan SMA/sederajat berstatus RSBI, agar mudah ketika akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Hal senada juga diakui oleh ibunda dari Fairuz Adiba, siswi kelas IX SMPN 3 Pontianak. Dia menilai putusan MK terkait dihapuskannya RSBI, menurut dia tidak adil dan telah mengecewakan anaknya.
"Saya dan suami memang telah mempersiapkan anak saya agar masuk sekolah RSBI, dengan harapan nanti bisa menyekolahkan anak hingga di perguruan tinggi luar negeri," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Pontianak Mulyadi menyatakan, penghapusan RSBI berdasarkan keputusan MK tidak sampai mempengaruhi kualitas pendidikan di kota itu. "Saya yakin dengan dihapuskannya RSBI oleh MK, maka kualitas pendidikan di Kota Pontianak tidak menurun," katanya.
Ia menjelaskan, dengan dihapuskannya RSBI, sekolah yang ada di Kota Pontianak, bisa memasang target pendidikan, sehingga tetap bersaing dengan ketat untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dalam kesempatan itu, Mulyadi membantah, kalau anak dari keluarga tidak mampu atau miskin tidak bisa sekolah di sekolah yang bermutu di Pontianak, karena Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak sudah menyediakan kuota 20 persen untuk anak miskin, sehingga anak dari keluarga miskin yang pintar juga bisa sekolah bermutu tanpa dipunggut biayanya.
"Tidak ada pembedaan di Kota Pontianak dalam hal menuntut ilmu, siapa saja boleh bersekolah, asal punya kemauan dan kemampuan dalam belajar," ujarnya.

Sumber
Kompas Edukasi 

Belum Cukup Usia, Jangan Paksa Anak Bersekolah


JAKARTA, KOMPAS.com  Lantaran ingin buah hatinya siap dalam menghadapi dunia pendidikan dan cepat mahir, banyak orang tua berlomba mendaftarkan anaknya untuk mengenyam bangku pra-sekolah. Bahkan, terkadang orang tua langsung memasukkan anak ke sekolah dasar (SD), padahal usianya belum sampai enam atau tujuh tahun.

Psikolog anak, Roslina Verauli, mengatakan bahwa usia harus menjadi pertimbangan orang tua dalam mengambil keputusan untuk memulai pendidikan formal pada anak. Pasalnya, jika anak dipaksa bersekolah saat usianya belum sesuai maka dampaknya kurang baik ke depannya.

"Lihat usianya dulu. Jangan dipaksakan. Karena teman seusia atau sebaya dalam satu kelas itu bisa membuat mereka frustrasi," kata Roslina kepada Kompas.com, Senin (14/1/2013).

Kendati demikian, ia tidak menampik bahwa ada anak-anak yang mampu menyesuaikan diri dan belajar bersama dengan teman yang usianya lebih tua. Contoh saja, siswa kelas satu SD biasanya berusia enam hingga tujuh tahun, tapi ada anak berusia lima tahun sudah duduk di bangku SD dan kemampuannya setara.

"Memang awalnya bisa. Tapi itu untuk saat ini saja. Kita harus lihat efek ke depannya," jelas Roslina.

"Sekarang kelas satu masih bisa sama dan mengejar pelajaran. Tapi saat kelas empat nanti, teman-temannya sudah memasuki fase yang berbeda karena beda usia. Ini akan membawa pengaruh bagi anak tersebut," imbuhnya.

Untuk itu, orang tua harus melihat usia buah hatinya. Jika memang masih terlalu kecil maka akan lebih bijak untuk memilihkan taman bermain yang sesuai karakternya. Meski terkadang anak sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung pada usia dini, hal itu bukan jaminan anak siap bersekolah.

Dalam hal ini, yang perlu dikembangkan adalah pengajaran dari orang tua di rumah dan komunitas yang tepat bagi anak untuk bermain dan berinteraksi. Orang tua bisa terus mengasah kemampuan membaca dan menulis anak dengan sederhana.

Hal utama yang tak boleh terlupakan adalah mengenali kebutuhan anak Anda. Tak hanya soal kebutuhannya yang terkait usia, tetapi juga keunggulan dan kelemahannya, juga kesenangannya. Lalu,libatkan anak dalam menentukan sekolah yang tepat. 

Memilih sekolah bukan merupakan hal yang mudah. Nantikan sejumlah pengalaman orang tua dalam mencari dan memutuskan sekolah yang tepat untuk buah hatinya.

sumber
Kompas Edukasi

Libatkan Anak Saat Memilih Sekolah


JAKARTA, KOMPAS.com – Para orangtua tentu ingin agar buah hatinya bisa menerima pendidikan yang berkualitas. Pilihan sekolah yang beragam ditawarkan di depan mata. Orangtua berlomba-lomba mencari sekolah yang bagus menurut orangtua dan rela mengeluarkan biaya mahal demi pendidikan yang berkualitas.

Hanya saja, psikolog sekaligus pemerhati pendidikan anak, Seto Mulyadi, mengatakan orangtua kerap lupa bahwa yang bersekolah adalah anak-anaknya, bukan orangtua!

Oleh karena itu, pria yang akrab dipanggil Kak Seto ini menganjurkan agar para orangtua mengetahui kriteria apa yang patut dipertimbangkan dan mengenali lebih dulu kebutuhan anak-anak dalam pendidikan. Caranya, anak diberikan hak bersuara untuk menentukan sekolah yang menyenangkan baginya untuk belajar dan bermain.

Jika Anda tertarik datang ke sejumlah open house playgroup dan sekolah yang menarik bagi Anda, cobalah ajak anak untuk ikut serta. Anak-anak bisa melihat kondisi belajar–mengajar yang ditawarkan dan kondisi sekolah pada umumnya.

"Anak-anak harus dilibatkan. Biarkan mereka melihat situasi sekolahnya dan pola belajar di sekolah itu," kata Kak Seto kepada Kompas.com.

Saat mendatangi sebuah sekolah, ajak anak Anda untuk melihat-lihat kondisi dan lingkungan sekolah tersebut. Biarkan anak merasakan situasi kelas dan mengenal fasilitas yang ada di sekolah. Lalu ajak anak berbicara dari hati ke hati untuk mengetahui apa yang menarik dan menyenangkan bagianya. Bertanyalah untuk mengenal “penilaiannya”.

Apa kebutuhan anak Anda?


Menurut Kak Seto, di tengah pilihan sekolah yang beragam dengan program unggulan yang bermacam-macam pula, anak bisa menjadi indikator utama mengenai sekolah yang tepat atau tidak bagi kebutuhan anak. Sebaik apapun sekolah yang dituju oleh orang tua, jika anak tidak menyukai pola pengajaran yang ada di sekolah tersebut maka dampaknya tidak akan baik.

"Ada anak yang senang sekolah sampai sore. Ada yang tidak sehingga menjadi tidak antusias dan malah menjadi malas. Itu harus diperhatikan," tambahnya.

Kak Seto mengatakan, anak-anak memiliki kebutuhan dan kecerdasan yang berbeda-beda. Orangtua harus mengenali kelebihan dan kebutuhan masing-masing anak untuk memilih sekolah dan tingkatan pendidikan yang tepat.

"Anak itu berbeda-beda. Misalkan si kakak suka belajar di sekolah A. Orang tua tidak bisa begitu saja memasukkan adiknya ke sekolah yang sama," ungkap Seto.

"Bisa saja satu anak cocok dengan pola pengajaran sekolah A. Belum tentu anak lain juga cocok. Nah, kakak-adik juga seperti itu. Belum tentu kakaknya suka, lalu adikknya juga suka," tambahnya lagi.

Salah satu pertimbangan untuk mengenali kebutuhannya adalah mempertimbangkan usia anak.  Psikolog Anak, Roslina Verauli, menambahkan, orangtua juga harus mempertimbangkan usia dalam mengambil keputusan untuk memulai pendidikan formal pada anak.

Roslina menganjurkan untuk tidak memaksa anak bersekolah saat usianya belum sesuai. Bisa saja, saat usia tertentu kecerdasan mereka lebih baik daripada anak lainnya. Namun, coba pertimbangkan kemungkinan yang muncul di masa depan. Kemungkinan seperti apa? Nantikan artikel: 'Belum Cukup Usia, Jangan Paksa Anak Bersekolah'

Sumber
Kompas Edukasi

Berbagi "Virus" Lewat Perpustakaan Kampung


KOMPAS.com - Bagi Eko Cahyono (32), berbagi itu ibarat candu. Melalui perpustakaan kampung yang dirintisnya, dia menyediakan berbagai jenis buku secara gratis selama 24 jam. Dia seperti tak pernah lelah menularkan ”virus” membaca. 

Perpustakaan Anak Bangsa yang dia kelola terletak di Dusun Karangrejo, Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tempat itu berjarak sekitar 30 kilometer arah timur Kota Malang.

Ruangan perpustakaan seluas 6 meter x 12 meter itu dibangun di sudut Dusun Karangrejo. Halaman depannya ditumbuhi beragam jenis tanaman obat, membuat lokasi itu tampak hijau.

Bangunan perpustakaan itu tanpa pintu dan dibuka untuk umum selama 24 jam setiap hari. ”Perpustakaan ini tak pernah tutup. Siapa pun boleh masuk dan meminjam buku meski saya ke luar kota,” kata Eko.

Sejak dirintis tahun 1998, Perpustakaan Anak Bangsa memiliki koleksi lebih dari 53.000 buku hasil sumbangan donatur dan berbagai lembaga. ”Sekitar 60 persen koleksinya saya sebar ke luar perpustakaan. Di sini ada 26 sudut baca, termasuk warnet (warung internet), pasar, dan pangkalan ojek,” ujarnya.

Jumlah anggota Perpustakaan Anak Bangsa tercatat lebih dari 8.000 orang dengan berbagai latar belakang, dari pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja pabrik, pedagang pasar, penjual bakso, tukang ojek, hingga buruh bangunan.

Koleksi perpustakaan itu dihimpun Eko selama 14 tahun. Berbagai pengalaman pahit pernah dia rasakan, seperti diusir dari rumah, diprotes warga kampung, hingga digeledah aparat.

Koran dan majalah
Berawal dari hobi membaca, Eko merintis taman bacaan berbekal 30 kilogram koran bekas dan 400 eksemplar majalah usang. Bacaan itu digelar di teras rumah orangtuanya untuk menarik minat baca warga kampung.

Kegiatan itu dia lakukan selepas terkena pemutusan hubungan kerja dari perusahaan konfeksi. Ia tergerak menyebarkan ”virus” membaca setelah melihat masih banyaknya warga kampung yang buta huruf.

”Saya melihat ada orang tua di kampung yang membaca koran terbalik. Hal itu membuat saya tergerak untuk membuka perpustakaan,” ucapnya.

Untuk memancing minat baca warga, ia meletakkan gitar, permainan ular tangga, dan dakon di teras rumah. Berawal dari sekadar kumpul dan bermain, warga mulai tertarik membaca. Minat baca mereka membuat koleksi bacaan Eko jadi terasa minim. Ia lalu bergerak meminta sumbangan dari para pencinta buku.

Bahkan, Eko rela menunggu seharian di depan Toko Buku Gramedia, Malang, misalnya, demi ”mencegat” pengunjung yang menenteng banyak buku. Ia juga mendatangi warga dari rumah ke rumah, kalau-kalau mereka mau menyumbangkan koleksi bukunya. Alhasil, ia bisa menambah koleksi buku untuk perpustakaan.

Ketika koleksi buku perpustakaan bertambah dan semakin banyak warga kampung yang datang, Eko justru diprotes orangtuanya karena rumah menjadi gaduh. Ia kemudian mencari rumah kontrakan dengan memboyong semua koleksi bukunya. Biaya untuk mengontrak dan pindah itu dia peroleh dari hasil menjual sepeda motornya.

Namun, masalah lain muncul. Perpustakaan yang dikelolanya diprotes warga. Bahkan mereka menuduh perpustakaan itu sebagai tempat maksiat hanya karena banyak anak muda suka datang ke rumah kontrakan itu.

Perpustakaan Anak Bangsa pun pernah didatangi polisi karena mendapat laporan warga yang menyebutkan banyak bacaan berisi pornografi. Semua tuduhan itu tak terbukti. ”Polisi yang datang malah meminjam buku dari perpustakaan,” ucap Eko sambil tertawa.

Anak muda yang datang dan berkumpul di Perpustakaan Anak Bangsa kemudian tak sekadar membaca buku. Mereka juga belajar menulis, menggambar, dan berdiskusi. Jadilah di perpustakaan itu terpampang 17 gambar karya siswa SD, kerajinan burung dari lipatan kertas (origami), dan bundelan cerpen buatan anak kampung.

Tak ada denda
Dengan kondisi keuangan terbatas, Eko harus pindah tempat berkali-kali. Ia pernah menyewa tanah dan membangun gubuk bambu beratap asbes sebagai perpustakaan karena keterbatasan dana. Kendati begitu, ia bertekad tak memungut biaya pinjam buku kepada anggota ataupun denda jika buku tak dikembalikan.

Dia berusaha mencukupi kebutuhan operasional perpustakaan dari pendapatannya menjaga gerai pameran buku. ”Dana itu diperlukan untuk membeli alat tulis, fotokopi kartu anggota, dan perawatan buku,” ujarnya.

”Setidaknya, sebulan sekali saya menjaga stan di pameran. Hasilnya lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan operasional perpustakaan,” Eko menambahkan.

Jerih payahnya itu menuai hasil. Di pengujung 2011, perpustakaan yang saat itu berupa gubuk bambu dikunjungi Wakil Bupati Malang Ahmad Subhan dan mendapat sumbangan yang bisa digunakan untuk membeli tanah seluas 12 meter x 27 meter.

”Saya lega karena tak perlu lagi mengontrak tempat,” kata Eko yang mendapat sumbangan dari PT Amerta Indah Otsuka dan Yayasan Kick Andy untuk mendirikan bangunannya.

Bangunan itulah yang kini menjadi tempat beragam bacaan, mulai dari tabloid anak-anak, komik, novel remaja, novel terjemahan, buku detektif, sampai karya Pramoedya Ananta Toer.

Koleksi buku ditatanya di rak kayu. Eko mengelompokkan koleksi buku tanpa standar tertentu. Klasifikasinya sederhana, seperti Khusus Kutu Buku yang di dalamnya terdapat buku-buku berhalaman tebal dan kategori Sastra Berat berisi karya Pramoedya.

Jika dulu Eko bersusah payah menumbuhkan minat baca warga, kini ia bingung memuaskan hasrat membaca mereka. Apalagi ia pun menyuplai buku ke sejumlah daerah lain di luar Malang karena adanya permintaan.

”Saya baru ke Pulau Sapudi (Kabupaten Sumenep, Madura) mengantarkan tiga dus buku. Di sana anak- anak setempat haus bahan bacaan,” katanya.

Setelah berhasil mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa, kegiatan Eko tak terbatas pada menyalurkan buku. Ia juga aktif menjadi relawan penyalur kaki palsu dan kegiatan sosial lain. Sesekali ia diminta membantu warga dusun mengurus kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Memberi memang ibarat candu. Kita tak bisa berhenti saat sudah memulai dan tak merasa miskin meski terus berbagi. Perjuangan Eko mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa tanpa pamrih pun membuahkan penghargaan.

Namun, yang membuat Eko senang, orangtua yang semula tak mendukung kini bangga. Bahkan, mereka meminta dia terus mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa.

Sumber

Sekolah Rumah Masih Terkendala

JAKARTA, KOMPAS.com Anak-anak usia sekolah yang menempuh pendidikan di sekolah rumah (homeschooling), masih kesulitan untuk menikmati layanan pendidikan seperti anak-anak yang bersekolah formal.
Selain kesulitan untuk berpindah jalur ke sekolah formal agar bisa mengikuti ujian nasional, anak-anak sekolah rumah juga terkendala mengikuti seleksi masuk pergururan tinggi negeri.
"Anak-anak yang memilih jalur pendidikan informal atau sekolah rumah dan nonformal, masih saja menghadapi kendala untuk bisa dilakukan setara dengan anak-anak di sekolah reguler," kata Budi Trikorayanto, Wakil Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah & Pendidikan Alternatif (Asah Pena) di Jakarta, Sabtu (19/1/2013). 
"Kendala urusan administratif seringkali jadi hambatan bagi anak-anak usia sekolah di sekolah rumah untuk bisa pindah jalur ke sekolah formal, ikut ujian nasional sekolah formal, hingga urusan kuliah. Kasihan, jika anak-anak sekolah rumah terus didiskriminasi," tambah Budi Trikorayanto.
Menurut Budi, dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jelas-jelas diakui adanya pendidikan di jalur informal, nonformal, dan formal. Bahkan, semestinya anak-anak tidak dihambat untuk bisa berpindah jalur, demi kepentingan anak agar dapat berkembang optimal dalam menjalani pendidikan. Anak-anak sekolah rumah ada yang bersifat tunggal dan bergabung dalam komunitas.
Di Asah Pena terdatat sekitar 4.000 anak usia sekolah. Anak-anak sekolah rumah ini biasanya memilih ikut ujian nasional kesetaraan Paket A, B, dan C, atau setara SD, SMP, dan SMA. Namun, sebenarnya anak-anak ini boleh berpindah jalur ke sekolah formal.
"Selama bersekolah rumah, anak-anak ini tidak memiliki nomor induk siswa nasional atau NISN. Alasan ini yang seringkali membuat sekolah formal menolak siswa sekolah rumah. Bahkan, ada anak homeschooling yang sudah terdaftar di sekolah formal tidak memiliki NISN," ujarnya.
"Akibatnya, si anak tidak bisa didaftarkan ikut ujian nasional. Demi kepentingan anak, seharusnya semua pihak, terutama dinas pendidikan harus mencari solusi yang baik bagi anak," kata Budi yang juga pimpinan di Komunitas Sekolah Rumah Pelangi di Tangerang.
Menurut Budi, anak-anak sekolah rumah yang lulus Paket C atau SMA tidak memiliki kesempatan untuk ikut seleksi nasional masuk perguruan tinggi negri (SNMPTN) jalur undangan, yang mulai tahun ini gratis. Selain tidak memiliki NISN, komunitas sekolah rumah tidak memiliki nomor pokok sekolah nasional (NSPN).
"Memang anak homeschooling masih bisa ikut yang lewat ujian masuk tertulis, baik yang seleksi mandiri bersama atau jalur mandiri. Syukurnya ujian nasional kesetaraan mulai tahun ini dimajukan di April. Jadi, anak-anak homeschooling bisa mengejar seleksi masuk PTN," kata Budi.
Yanti Sriyulianti, Koordinator Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip), mengatakan, perpindahan jalur bagi anak-anak homeschooling ke sekolah formal lebih mudah ke sekolah swasta. Sebaliknya, untuk sekolah negeri masih terkendala.
"Untuk anak homeschooling memang masih perlu diperjuangkan supaya bisa mendapat NISN. Anak-anak memilih jalur homeschooling ini kan karena merasa cocok dengan pola pembelajaran seperti ini. Semestinya sekolah ramah anak bisa kita ciptakan di jalur apapun," ujar Yanti.
Sekolah rumah bukan hanya melayani anak-anak usia sekolah dari keluarga mampu. Lewat sekolah rumah, anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin juga terbantu karena pola pendidikan yang lebih fleksibel.
"Semestinya anak-anak sekolah rumah jangan dicoba untuk diformalkan. Biarkan saja cara ini juga berkembang. Tinggal adakan saja uji kelayakan bagi anak ini untuk bisa sama seperti siswa sekolah formal. Bukan malah dipersulit oleh birokrasi pendidikan yang tidak paham hak-hak anak," kata Budi.

Sumber

Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah


Oleh Bs Mardiatmadja 
KOMPAS.com - Berkali-kali Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (juga stafnya) tampak kurang memahami keberatan mereka yang mengkritik ”apa yang disebut Kurikulum 2013”. Kesenjangan itu sangat tampak setiap kali ’yang bersangkutan’ diwawancarai di televisi/media.

Berkali-kali ia katakan bahwa keberatan itu kebanyakan hanya mengenai implementasi; maka dapat diatasi. Andai kata keberatan-keberatan tersebut hanya tentang implementasi, tetap harus diperhatikan. Sebab, peristiwa UU Sistem Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa implementasi itu justru yang langsung berkaitan dengan praksis sekolah. Dan, sekolah bukan pertama-tama soal teori manajemen birokrasi dan sistem persekolahan, melainkan praksis mendidik di sekolah. Apalagi, pendidikan persekolahan dilaksanakan tidak di Senayan (Kantor Kementerian dan Kebudayaan/Kemdikbud) dan dalam ruang ”uji publik yang direkayasa”, tetapi dalam ”interaksi antara murid dengan guru di kelas”.

Selain itu, implementasi yang di-”entengkan” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu tidaklah sedemikian sepele. Hal ini terutama apabila mengingat bahwa penataran guru yang harus memadukan beberapa ilmu tidaklah cukup dengan beberapa minggu. Padahal, kita semua mafhum, sebentar lagi pemilihan umum akan segera disiapkan; sehingga tidak terbayangkan bagaimana para guru dan sekolah akan terombang-ambing dalam mewujudkan teori kurikulum yang dipaksakan itu ketika kementerian akan diperebutkan oleh partai-partai.

Lebih jauh lagi, implementasi yang dipandang rendah itu mencakup kemampuan guru dan manajemen kelas dan sekolah, yang sangat menentukan pelaksanaan praksis didik di kelas. Ini satu hal yang bagi orangtua murid dan para murid sendiri menjadi keprihatinan harian langsung (bukan yang diteropong dari jauh dari kantor Kemdikbud di Senayan).

Padahal, lebih mendalam lagi, kebanyakan orang yang mengkritik ”rencana pembaruan kurikulum” itu lebih menunjuk bukan sekadar implementasi dari ”apa yang disebut pemaduan mata-ajar”, tetapi pada pengertian dasar yang dipakai oleh Kemdikbud untuk memahami ”ilmu” dan ”pewarisan budaya” serta ”pendidikan budi pekerti atas dasar iman”. Ketiganya mencakup kredibilitas Mendikbud dan para pembantu terdekatnya, yang dalam rapat-rapat persiapan perubahan kurikulum tidak semua diikutsertakan.

Ilmu

Baik dalam rancangan kebijakan di sekolah dasar maupun di sekolah tinggi sangat menonjol bahwa Mendikbud dan pembantunya punya paham ilmu yang terbatas sekali. Pada awal rapat-rapat pembaruan kurikulum ditekankan bagaimana dicari struktur kurikulum yang mendorong keterpaduan bangsa. Dalam praktiknya, kurikulum ini menyerapkan IPA dan IPS dalam ilmu-ilmu lain, yang justru menyiapkan perpecahan.

Padahal, IPA dan IPS adalah ilmu-ilmu yang menegaskan bahwa dari sudut suku dan agama apa pun, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial menghendaki cara pandang sama. Mempelajari IPA dan IPS secara jernih dapat menguatkan persatuan lintas suku, lintas agama, dan lintas bangsa. Dengan demikian, murid-murid kita dipersiapkan untuk pergaulan dan persaingan internasional secara jernih.

Cara yang dipilih Mendikbud saat ini justru mengajarkan perpecahan bangsa sejak anak usia muda, di samping tidak sesuai dengan pengertian ilmu yang jernih. Menteri mempersiapkan sektarianisme sejak taman bermain/TK dan SD: hal itu akan menghancurkan kesatuan Indonesia. Di dalamnya, meremehkan perbedaan ilmu pasti, ilmu alam, dan ilmu sosial, yang biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikuasai; sekarang akan disuruh dikuasai guru hanya dalam beberapa minggu.

Kedangkalan pemahaman Mendikbud dan pembantunya yang terdekat ini tidak hanya kelihatan dari pencampuran IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia di pendidikan dasar, tetapi juga mencolok dalam kebijakan di tingkat tinggi. Mirip pengertian serupa, kementerian ini mempunyai paham ilmu yang mengecoh keilmuan jernih ketika mengumpulkan filsafat dan teologi dalam ”ilmu agama”. Tampak sekali bagaimana Mendikbud, dan pembantu terdekatnya yang tersangkut, mempersempit paham ilmu filsafat dan ilmu teologi menjadi sekadar alat untuk menjelaskan pokok-pokok dangkal agama. Itu pun kerap dipersempit hanya mengenai hal-hal sekitar ritus dan ritual.

Pemahaman tentang etika dan moral orang beriman dikudungi menjadi sekadar rangkaian rumus dan slogan, tanpa murid diajak mendalami argumentasinya yang mendalam. Padahal, baik filsafat maupun teologi—sudah sejak zaman Ibn Sina—tak mau berhenti pada praktik agama harian belaka, tetapi mau sampai ke sejumlah pengandaian dalam mengolah pemikiran dan pengertian bakti kepada Tuhan dengan diperkuat oleh argumentasi nonsektarian. Tujuannya justru agar para pemeluk agama, dari agama apa pun, dapat mempertanggungjawabkan keimanannya secara lintas budaya dan lintas agama.

Memenjarakan filsafat dan teologi dalam ilmu agama dan praktik ritual hanyalah aksi dari sementara orang yang mau mengerdilkan agama sebagai rangkaian pepatah-petitih yang harus dihafalkan sehingga menjadi keyakinan yang sulit dipertanggungjawabkan akal budi. Tentu saja agama berkaitan dengan perwahyuan yang harus diimani. Namun, iman melampaui akal budi, bukannya bertentangan dengan akal budi. Maka, hal itu tidaklah mau mengatakan bahwa agama tak dapat dipertanggungjawabkan oleh akal budi walau tak mau membatasi diri hanya pada akal budi belaka. Karena itu, murid perlu dibimbing untuk mampu mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya sebagai orang beriman. Hal itulah yang diolah dalam berfilsafat dan berteologi.

Dengan demikian, jelas, bahwa di balik usaha dalam pembaruan kurikulum SD ataupun dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 terdapat satu semangat yang sama, yakni ”sikap anti-akal budi” dalam diri orang beragama dan akan memecah-belah bangsa ini sejak usia dini.

Prinsip dasar pendidikan


Gagasan pembaruan Kurikulum 2013 ataupun UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi masih menunjukkan kekeliruan berpikir dari sudut ilmu mendidik. Apa yang disebut ”Kurikulum 2013” merebut dari tangan dan pangkuan umat dan orangtua: hak dan kewajiban mendidik kerohanian anaknya. Kalau sekolah mau tetap dalam kewajiban kenegaraan sejati, tidak tepatlah menugasi sekolah masuk dalam ranah religiositas dini.

Perlu diingat, pada usia dini sampai selesainya SD, murid butuh pendidikan holistik, yang memadukan religiositas dengan seluruh kehidupan pribadinya; baru kemudian segi akal budi dapat secara khusus dikembangkan; dan hal itu tidak mungkin dilakukan oleh guru di sekolah. Tidak tepatlah argumen ”bahwa orangtua tidak mampu mendidik agama anak-anaknya”: argumen itu melecehkan religiositas orangtua dan merebut dari lembaga keagamaan dari kewenangannya. Tidak seyogianya pemerintah dan kaki tangannya merebut hal itu. Selain itu, justru karena kita semua berpendapat bahwa pendidikan religius adalah penting, maka integrasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga mutlak perlu; tidak seyogianya direbut sekolah (apalagi oleh kementerian dan siapa pun).

Hal serupa dapat mencolok dalam UU No 12/2012 yang memisahkan teologi dari ilmu-ilmu sosial yang lebih luas. Sebab, dengan demikian, Kemdikbud memenjarakan teologi khususnya, dan filsafat agama pada umumnya, sebagai suatu kesibukan manusia yang tidak sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian, Kemdikbud ini telah melecehkan teologi (dan filsafat agama) sebagai kesibukan yang tidak sebanding dengan ilmu-ilmu lain. Kecuali itu, pembagian dalam UU No 12/2012 mengandaikan bahwa pelayanan keilmuan kementerian-kementerian dianggap sama saja. Dengan demikian, sebenarnya tidak dipedulikan kompetensi keilmuan dalam pelayanan kenegaraan. Namun, dengan begitu dapat kita nilai kredibilitas keilmuan sejumlah petugas dalam Kemdikbud, yang berpretensi mengawal proses didik dan pengilmuan masyarakat.

Kesimpulan


Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, rencana pembaruan Kurikulum 2013 untuk SD tidak layak dan masih harus dipertimbangkan sekali lagi. Sementara UU No 12/2012 perlu ditinjau kembali sehingga layak menjadi pegangan gerak akademis yang jelas kompetensinya. Apabila tidak, Kemdikbud merosotkan perannya menjadi tak kompeten karena kesempitan paham ilmiahnya dan tidak cukup memiliki kredibilitas yang diperlukan untuk mengarahkan proses pengilmuan masyarakat.

BS Mardiatmadja Pendidik dan Rohaniwan


Sumber
Kompas Edukasi

Pilih Sekolah yang Tepat, Apa Saja Pertimbangannya?


KOMPAS.com - Setiap orangtua tentu tak ingin sembarangan mencari sekolah untuk sang buah hati. Seperti sudah disinggung dalam tulisan sebelumnya,jangan pula asal-asalan memilih sekolah yang tepat untuk anak. Pasalnya, pendidikan dasar merupakan “investasi jangka panjang” bagi masa depan anak-anak tersayang.

Biaya yang mahal rela ditanggung demi meraih pendidikan yang berkualitas. Namun, sebenarnya apa saja yang harus dipertimbangkan dalam memilih sekolah yang tepat untuk anak Anda?

Psikolog dan pengamat pendidikan anak, Seto Mulyadi, mencatat sejumlah poin kriteria yang bisa menjadi acuan orangtua dalam memilih sekolah yang tepat untuk anak. Menurut Kak Seto, kriteria-kriteria ini perlu diperhatikan dengan baik.

1. Lihat visi misi sekolah tersebut. Visi misi sekolah akan menentukan kurikulum yang digunakan. Sesuaikah visi misi sekolah tersebut dengan pandangan pendidikan di keluarga dan harapan orangtua?

2. Pertimbangkan sekolah bagus dengan tenaga pengajar yang bagus juga. Guru adalah ujung tombak yang menentukan anak akan belajar dan bermain dengan menyenangkan atau tidak.

3.  Perhatikan kondisi sekolah dan lingkungan di sekitarnya, termasuk kelengkapan sarana dan prasarana di sekolah. Cukupkah untuk mendukung proses belajar-mengajar yang menyenangkan bagi anak?

4. Perhitungkan jarak sekolah dari rumah. Jangan sampai terlalu jauh sehingga anak lelah di jalan dan tidak semangat belajar.

5. Kenali karakter anak dan kebutuhannya untuk menentukan sekolah yang sesuai dengan anak. Misalnya, anak yang suka bergerak cocok disekolahkan di sekolah alam. 

6. Pengenalan akan karakter dan kebutuhan juga membantu mengenali durasi bersekolah dan komposisi durasi pengajaran di sekolah, misalnya dengan untuk menentukan butuh sekolah dengan durasi yang lebih banyak waktu bermain atau belajar.

7. And last but not least, pikirkan matang-matang kemampuan finansial Anda untuk membayar segala biaya yang dibutuhkan, baik uang pangkal maupun uang bulanan ke depannya. Pastikan Anda memiliki sumber-sumber dana yang cukup untuk konsisten membayar ke depannya.

Di masa kini, pertimbangannya bukan lagi sekadar biaya mahal menentukan kualitas. Orangtua harus cerdas melihat seberapa besar dampak yang bisa diberikan sekolah bagi pertumbuhan kecerdasan kognitif dan emosional anak dengan seimbang.

Jika Anda sudah mempertimbangkan ketujuh kriteria di atas, ada satu hal yang paling penting yang harus orangtua pertimbangkan lagi untuk mengambil keputusan. Apa itu? Nantikan artikel: Libatkan Anak Saat Memilih Sekolah.

Sumber
Kompas Edukasi

Jangan Salah Pilih Sekolah untuk Anak

KOMPAS.com - Tahun ajaran baru masih akan dimulai beberapa bulan lagi. Namun, kesibukan memilih sekolah yang tepat untuk anak sudah dimulai bahkan sejak bulan November tahun lalu. Open housesekolah untuk menarik minat orangtua dan anak bergantian digelar setiap pekan.

Anda sebagai orangtua tentu juga tak ingin sembarangan mencari sekolah untuk sang buah hati. Pasalnya, memilih sekolah yang tepat, terutama taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD), merupakan “investasi jangka panjang” bagi masa depan anak-anak. 

Berbagai pilihan pun disuguhkan di depan mata. Kali ini, pilihan tak cuma soal biaya dan jarak tempuh seperti yang dilakukan orangtua kita dulu saat kita kecil. Di kota-kota besar, pilihan tak sesederhana itu lagi meski keduanya juga tetap menjadi faktor pertimbangan utama.

Anda tak lagi hanya mendengar nama sekolah negeri dan sekolah swasta. Kita kian sering mendengar ragam sekolah, seperti sekolah unggulan, sekolah internasional, sekolah berbasis agama, sekolah dengan asrama, sekolah alam, sekolah bilingual, atau kombinasi antara dua dan tiga kategori ini. Lantas, mana yang harus dipilih?

Psikolog dan pengamat pendidikan anak, Seto Mulyadi, mengatakan bahwa saat ini muncul berbagai macam sekolah dengan metode pengajaran yang beragam pula. Ini membuat pertimbangan orangtua untuk memilih sekolah tidak lagi sederhana.

Pria yang akrab dipanggil Kak Seto ini mengatakan, ragam sekolah yang muncul sebenarnya bermaksud mencoba menjawab harapan orangtua yang tidak terpenuhi dari sekolah publik yang sudah ada sebelumnya. Pada umumnya, sekolah-sekolah alternatif baru itu menawarkan konsep yang sama, yaitu mengedepankan kemampuan verbal anak dan mengasah kreatifitas anak.

Namun, Kak Seto mengingatkan untuk tidak teriming-imingi promosi program unggulan ini dan itu di suatu sekolah. Menurutnya, di tengah tawaran-tawaran yang menggiurkan, orangtua harus memegang prinsip ini dalam mengambil keputusan.

“Para orang tua harus memilih sekolah untuk anak, bukan anak untuk sekolah. Ini yang utama dan penting bagi orang tua,” kata Kak Seto kepada Kompas.com, Sabtu (12/1/2013).

Kak Seto mengatakan, orangtua bisa menekan kemungkinan dampak anak menjadi enggan bersekolah atau school-phobia. Kenali kebutuhan anak Anda dan carilah sekolah yang membuat anak bisa belajar dengan menyenangkan dan tidak stres. Anak pun perlu dilibatkan dalam mencari sekolah.

Selain itu, jangan paksakan anak bersekolah bila belum cukup umur. Seperti dikatakan psikolog anak, Roslina Verauli, pertimbangkan usia dalam memutuskan anak sudah perlu pendidikan formal atau belum. 

Anda mungkin melihat anak sudah lebih cerdas daripada anak seusianya sehingga merasa perlu menyekolahkannya. Namun, bisa jadi itu bukan pertimbangan yang baik untuk masa depannya.

Simak seri tulisan dalam topik “Pilih-pilih Sekolah untuk Anak” di Kompas Edukasi. Kita mulai dengan apa saja kriteria sekolah yang perlu masuk dalam pertimbangan Anda. 

Sumber
Kompas Edukasi

DPR: Kurikulum Baru tapi Kok Masih Disebut KTSP?

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketidakpastian mengenai nama yang sesuai untuk kurikulum baru membuat DPR bertanya-tanya. Pasalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) masih menganggap kurikulum baru sebagai bagian pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan memberi kebebasan untuk menyebut kurikulum yang akan mulai diterapkan pada Juli mendatang. 

Anggota Panitia Kerja (Panja) Kurikulum, Zul Fadli, meminta agar pemerintah langsung menentukan saja nama kurikulum baru ini dengan nama Kurikulum 2013. Menurutnya, penentuan ini penting agar masyarakat tak lagi bertanya-tanya tentang pengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

"Sudah namakan saja kurikulum 2013. Kalau kemarin ada usulan sebagai Kurikulum Pengembangan KTSP ini tidak bisa. Karena secara mendasar ini beda jauh dengan KTSP," kata Zul saat Rapat Dengar Pendapat di Ruang Rapat Komisi X, DPR RI, Jakarta, Rabu (16/1/2013).

"Tapi saya tidak tahu kenapa dalam dokumen resmi ini masih disebut KTSP padahal ini konsepnya berbeda kalau dilihat," imbuh Zul.

Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim mengatakan bahwa kurikulum baru ini tetap berbasis pada sekolah atau satuan pendidikan. Meski pemerintah membuat struktur kurikulum, tiap satuan pendidikan tetap berwenang untuk menambah materi atau mata pelajaran.

"Ini yang kami sediakan hanya desain minimal saja. Jika mau ditambah sebanyak-banyaknya dan sesuai kemampuan sekolah ya tidak ada masalah," jelas Musliar.

"Memang substansinya kami yang buat. Tapi pengelolaannya tetap pada satuan pendidikan seperti KTSP," imbuhnya.

Sumber
Kompas Edukasi

PGRI Dukung Organisasi Guru Tumbuh

JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi guru Persatuan Guru Republik Indonesai (PGRI) tidak mengingingkan organisasi guru yang tumbuh sejak lahirnya UU Guru dan Dosen Tahun 2005 diberangus. Pemerintah justru harus membantu semua organisasi guru untuk berkembang dan dapat memenuhi syarat yang berlaku.
Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo di Jakarta, Rabu (16/1/2013), menolak tudingan bahwa PGRI berupaya untuk mendorong pemerintah memberangus organisasi guru lain. "Kami justru ingin organisasi profesi guru tumbuh untuk mendukung peningkatan mutu guru. Pemerintah harus mendukung. Tetapi syarat-syarat soal pendirian organisasi profesi guru jangan diturunkan supaya organisasi guru tidak ecek-ecek," kata Sulistiyo.
Sulistiyo menegaskan,  untuk organisasi guru yang belum memenuhi syarat pendirian organisasi profesi guru yang tertuang dalam rencana revisi PP No 74/2008 Tentang Guru harus dibantu untuk dapat memenuuhinya. "Bukan justru diberangus," kata Sulistiyo.
Sejumlah organisasi guru seperti Federasi Serikat Guru Indonesia, Federasi Guru Independen Indonesia, dan Ikatan Guru Indonesia, melaporkan dugaan upaya pemerintah soal organisasi guru kritis kepadan Dewan Pertimbangan Presiden. Aturan baru soal pendirian organisasi guru tersebut dinilai akan memberangus organisasi guru di luar PGRI.

Sumber
Kompas Edukasi

Ke Luar Negeri dan Tetap Cinta Indonesia

KOMPAS.com - Libur akhir tahun baru usai. Bolehlah kita saling berbagi cerita mengenai pengalaman liburan lalu. Pasti setiap orang punya pilihan sebagai tempat berlibur, baik di dalam maupun luar negeri.

egeri kita memiliki lebih dari 6.000 pulau, ratusan pantai, dan banyak gunung. Kondisi itu membuat Tanah Air menjadi tempat rekreasi yang punya pemandangan indah, baik di laut, gunung, bahkan sampai kawasan pedesaannya. Wisata kuliner dan aneka budayanya pun unik.

Banyak pilihan tujuan wisata di dalam negeri, sebut beberapa di antaranya Bandung, Yogyakarta, sampai Parapat, di tepi Danau Toba, Sumatera Utara.

Namun, ada pula sebagian dari kita yang lebih memilih berlibur ke luar negeri.

Ketika tujuan wisata di dalam negeri begitu melimpah, lalu apa yang mereka cari di luar negeri? Clara Margaretha Fitriani (19), yang baru menyelesaikan pendidikan tata rias artis di LaSalle College International, Jakarta, salah satu anak muda yang lebih memilih liburan ke luar negeri.

Namun, pilihannya itu bukan lantas berarti karena dia tak tahu tempat menarik di Tanah Air atau dia tak suka berlibur di dalam negeri. ”Aku pernah liburan sama keluarga keliling Jawa sampai Bali,” katanya.

Ia bahkan belajar membatik secara serius di Yogyakarta dan melihat berbagai museum. Retha, panggilannya, mengaku suka mempelajari hal-hal baru, seperti belajar membatik.

Akhir tahun lalu ia merayakan Natal di Vatikan bersama keluarga, lalu pergi ke beberapa negara di Eropa. Setelah lulus dari SMA Negeri 3 Jakarta, ia pernah belajar tentang tata rias artis di London, Inggris.

Pilihan Retha berlibur ke luar negeri berkait dengan hasratnya di dunia fashion. ”Aku tertarik fashion dan sejarah. Mungkin karena itu, aku jadi suka ke kota-kota di Eropa seperti London yang peran kerajaannya masih kuat. Kota-kota di Eropa umumnya punya banyak gedung bersejarah,” kata Retha yang suka melihat warga di berbagai negeri empat musim itu berjalan-jalan dengan memakai mantel dan sepatu bot.

Sementara buat Muna Fuadan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, liburan merupakan salah satu kebutuhan primer bagi seseorang yang selama beberapa waktu ”terpasung” dengan rutinitas pekerjaan atau tugas, termasuk mahasiswa.

”Liburan itu ibarat charger. Setelah otak kita digunakan terus-menerus dalam kurun waktu lama, ia kehabisan baterai (jenuh),” ujar Muna.

Namun, mengingat ia masih mahasiswa, Muna pun tahu diri untuk memilih rekreasi sesuai dengan isi dompet dan anggaran yang terbatas.

”Bagi mereka yang punya dompet tebal, enggak apa-apa

berlibur ke luar negeri. Tetapi buat kita yang punya anggaran sedang-sedang, ya liburan di sini (dalam negeri) saja,” katanya.

Bahkan, kata Muna, dia tetap bisa menikmati meskipun hanya menghabiskan waktu liburan di rumah. ”Ini kesempatan saya membuat puisi dan menulis novel.”

Tidak rugi

Soal pilihan tempat berlibur, pembawa acara petualangan di televisi, Ramon Yusuf Tungka, memilih berlibur di dalam negeri.

”Negeri kita luar biasa kaya, dari keindahan alam, budaya, sampai bahasanya. Pokoknya semua hal itu bisa dibilang ada di Indonesia,” kata Ramon, yang berpendapat menjelajahi negeri sendiri akan menambah rasa cinta kita terhadap Indonesia.

Pemuda yang suka bertualang itu sudah sekitar enam tahun terakhir ini suka menjelajahi pelosok Nusantara. Ia memperkirakan 70 persen dari wilayah Indonesia pernah didatanginya. Meski begitu, dia tak jua merasa jemu.

”Selalu ada hal baru ketika kita datang ke suatu wilayah,” katanya. Ia menyebut bahasa dengan dialek yang berbeda antarkampung misalnya.

Saking kesengsem keindahan negeri sendiri, ia memutuskan tak akan berlibur ke luar negeri sebelum tuntas menjelajahi Nusantara. ”Dari dulu, kalau punya uang, aku selalu gunakan untuk berlibur di dalam negeri. Banyak biro jasa penyedia layanan liburan di dalam negeri, kita tinggal cari di internet,” katanya.

Ia tahu, faktor biaya perjalanan mahal, jalan yang rusak, dan sarana-prasarana kurang memadai acapkali membuat orang segan berwisata di dalam negeri. Namun, menurut Ramon, biaya perjalanan menuju tempat wisata yang mahal, terutama di wilayah Indonesia timur, sebenarnya impas dengan kepuasan yang kita dapat saat berlibur.

”Katakanlah kita ke Raja Ampat, Papua, memang mahal sehingga banyak orang lebih suka ke Thailand yang lebih murah biayanya. Tetapi percayalah, tak akan rugi kita keluar duit banyak untuk ke Raja Ampat atau Pulau Komodo,” katanya.

Promosi Indonesia

Sementara, Yogi Fitra Firdaus (22) rela meninggalkan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung demi melanglang buana ke luar negeri.

”Selain karena keenakan lihat negara lain, aku merasa kurang cocok belajar di fakultas psikologi. Aku ingin kuliah lagi, tetapi mungkin mau memilih fakultas ekonomi,” katanya sambil tertawa.

Belum banyak negara yang dikunjungi Yogi. Ia baru ke beberapa negara di Asia, seperti Thailand, Kamboja, Singapura, Malaysia, dan China. Namun, ia senang berlama-lama di setiap negara tersebut. Alasannya, ia membutuhkan waktu untuk mengetahui banyak hal tentang bangsa itu. Saat ke China, misalnya, ia menghabiskan waktu sebulan di enam kota.

Bagi Yogi, pergi ke luar negeri bukan sekadar berjalan-jalan, melainkan juga kesempatan untuk belajar banyak hal. Dari yang ”kecil”, misalnya soal disiplin dalam antre, sampai membuang sampah dan menyeberang pada tempatnya. Kebiasaan itu kemudian dia terapkan ketika kembali ke Indonesia.

Yogi, yang akan menerbitkan buku tentang liburan ke China itu, selalu membawa brosur berisi tempat-tempat wisata di Indonesia dalam perjalanannya ke luar negeri.

”Aku membawa brosur tujuan wisata Indonesia. Saat jalan ke luar negeri, aku ceritakan tentang Indonesia sambil memberi brosur itu kepada warga setempat. Aku juga sekalian mengundang mereka berwisata ke Indonesia,” kata Yogi sekaligus membantah anggapan bahwa mereka yang suka bepergian ke luar negeri tak cinta Tanah Air.

(SOELASTRI SOEKIRNO)

Sumber
Kompas Edukasi

Kurikulum 2013 Peleburan IPA-IPS untuk SD Didebat DPR


JAKARTA, KOMPAS.com — Perubahan kurikulum yang mulai akan diberlakukan pada Juli mendatang ternyata dianggap oleh anggota legislatif tidak memiliki landasan yuridis yang kuat. Hal ini termasuk pada penghilangan mata pelajaran IPA dan IPS untuk jenjang sekolah dasar (SD) yang dinilai tidak sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37.

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar, Ferdiansyah, mengatakan dalam pasal tersebut tertuang bahwa dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah harus memuat pelajaran IPA dan IPS. Untuk itu, ia meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menelaah lebih lanjut masalah ini.

"Itu jelas ada undang-undangnya. Kalau kita ditanya ada matpel (mata pelajaran) yang hilang bagaimana? Dalam undang-undang itu padahal sudah jelas sebutkan semua mata pelajaran," kata Ferdiansyah saat rapat dengar pendapat di ruang rapat Komisi X, DPR RI, Jakarta, Selasa (15/1/2013).

"Ini pemahamannya bagaimana kalau terjadi pengutangan yang tidak sesuai dengan Pasal 37. Harus ada penjelasan dan tetap pada dasar hukum sebaiknya," ujar Ferdiansyah.

Menanggap hal ini, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim mengatakan bahwa tidak ada perundang-undangan yang dilanggar dalam perubahan kurikulum ini. Bahkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, kurikulum ini harus dikembangkan.

"Tidak ada yang dilanggar. Dalam Pasal 37, Undang-Undang Sisdiknas memang disebutkan kurikulum harus memuat Bahasa Indonesia, PPKn, IPA, dan IPS, tapi tidak serta-merta dalam bentuk mata pelajaran," ujar Musliar.

"Jadi, walaupun tidak disebut sebagai mata pelajaran, IPA dan IPS tetap dimuat kontennya dalam tematik integratif untuk SD," imbuhnya.

Seperti diketahui, pada Pasal 37 Ayat 1 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.

Sumber
Kompas Edukasi

DPR: Kurikulum Baru tapi Kok Masih Disebut KTSP?

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketidakpastian mengenai nama yang sesuai untuk kurikulum baru membuat DPR bertanya-tanya. Pasalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) masih menganggap kurikulum baru sebagai bagian pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan memberi kebebasan untuk menyebut kurikulum yang akan mulai diterapkan pada Juli mendatang. 

Anggota Panitia Kerja (Panja) Kurikulum, Zul Fadli, meminta agar pemerintah langsung menentukan saja nama kurikulum baru ini dengan nama Kurikulum 2013. Menurutnya, penentuan ini penting agar masyarakat tak lagi bertanya-tanya tentang pengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

"Sudah namakan saja kurikulum 2013. Kalau kemarin ada usulan sebagai Kurikulum Pengembangan KTSP ini tidak bisa. Karena secara mendasar ini beda jauh dengan KTSP," kata Zul saat Rapat Dengar Pendapat di Ruang Rapat Komisi X, DPR RI, Jakarta, Rabu (16/1/2013).

"Tapi saya tidak tahu kenapa dalam dokumen resmi ini masih disebut KTSP padahal ini konsepnya berbeda kalau dilihat," imbuh Zul.

Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim mengatakan bahwa kurikulum baru ini tetap berbasis pada sekolah atau satuan pendidikan. Meski pemerintah membuat struktur kurikulum, tiap satuan pendidikan tetap berwenang untuk menambah materi atau mata pelajaran.

"Ini yang kami sediakan hanya desain minimal saja. Jika mau ditambah sebanyak-banyaknya dan sesuai kemampuan sekolah ya tidak ada masalah," jelas Musliar.

"Memang substansinya kami yang buat. Tapi pengelolaannya tetap pada satuan pendidikan seperti KTSP," imbuhnya.

Sumber
Kompas Edukasi

ICW Desak BPK Audit Aliran Dana RSBI


JAKARTA, KOMPAS.com - Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI untuk melakukan audit terhadap seluruh dana APBN, APBD, dan dana masyarakat yang telah dialokasikan untuk penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional.

Peneliti ICW, Febri Hendri, mengatakan bahwa anggaran yang berkaitan dengan RSBI-SBI semestinya telah dihentikan oleh pemerintah setelah MK mengetok palu mengabulkan judicial review Pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menaungi keberadaan RSBI-SBI selama ini.

"Harusnya sudah dihentikan. Baik dari APBN, APBD maupun dana yang asalnya dari masyarakat untuk RSBI atau SBI," kata Febri di Kantor BPK RI, Jakarta, Rabu (16/1/2013).

Selama ini, pengelolaan dana pada sekolah yang menyandang status RSBI ini dinilai tidak transparan dan partisipatif. Bahkan orang tua murid banyak yang mengeluhkan tingginya uang bulanan yang harus dibayarkan pada sekolah. Umumnya uang bulanan ini berkisar dari Rp 250.000-Rp 750.000 masing-masing anak.

Padahal selama ini, pemerintah sudah memberikan anggaran yang besar bagi sekolah berlabel RSBI ini. Setiap tahunnya, untuk SD mendapatkan dana atau block grant hingga Rp. 200 juta, untuk SMP mencapai Rp. 300 juta, dan SMA/SMK mencapai Rp. 600 juta dari APBN. Belum lagi aliran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang juga tetap diperoleh oleh sekolah RSBI.

"Melihat ini, kami minta agar BPK mau melakukan audit supaya ada transparansi keuangan pada publik," jelas Febri.

Ia juga menambahkan bahwa permintaan audit merupakan bentuk evaluasi dan pertanggungjawaban pemerintah atas program internasional yang dikembangkan pada setiap satuan pendidikan. Permintaan audit kepada BPK ini juga sesuai dengan Undang-Undang BPK No. 15 tahun 2006, Pasal 6 ayat (1) bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.

Sumber
Kompas Edukasi

Penerapan Kurikulum 2013 PGRI Minta Pemerintah Tidak Tergesa-gesa


JAKARTA, KOMPAS.com - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menuntut pemerintah tidak memaksakan pelaksanaan kurikulum 2013 tahun ini, jika persiapannya belum matang. Penerapan kurikulum memerlukan persiapan yang matang, mengingat keragaman dan wilayah Indonesia yang sangat luas.

"Kami sudah menyampaikan surat resmi supaya pemerintah jangan tergesa-gesa, antara lain kepada Wakil Presiden. Kami meng- aprepresiasi perubahan kurikulum, untuk memajukan pendidikan nasional. Asal untuk implementasinya disipakan dengan matang," kata Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Sulistiyo, di Jakarta, Rabu (16/1/2013).

Menurut Sulistiyo, organisasi guru pesimistis menyambut pelaksanaan Kurikulum 2013 di SD, SMP, dan SMA/SMK. Meskipun pemerintah menyatakan siap, kesiapan tersebut dinilai tergesa-gesa.

Sulistiyo mengatakan, pemerintah hendaknya benar-benar mempertimbangkan berbagai masukan dari masyarakat dan melakukan penyempurnaan draf kurikulum sesuai dengan usul-usul konstruktif dari masyarakat. "Diharapkan pemerintah tidak memaksakan kehendak berdasarkan pemikiran dan kepentingannya sendiri," kata Sulistiyo.

Masyarakat, kata Sulistiyo, perlu mewaspadai adanya berbagai kepentingan koruptif, dalam proyek-proyek yang terkait perubahan kurikululum 2013 seperti pengadaan buku teks, pelatihan guru, dan lain-lain. "Jangan terlalu ambisius soal kurikulum," kata Sulistiyo.

Sumber
Kompas Edukasi

Soal Nama Pengganti RSBI, Mendikbud Serahkan ke Daerah

TANGERANG (KRjogja.com) - Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pendidikan Dasar Suyanto mempersilahkan pemerintah daerah untuk memberi nama baru sebagai pengganti Sekolah Rintisan Berstandar Internasional (RSBI).

Suyanto, Sabtu (12/1/2013) mencontohkan beberapa daerah ada yang menggunakan istilah 'sekolah unggulan' sehingga mampu menjaga citra dan kualitasnya. Bahkan, Kemdikbud tidak akan mempermasalahkan istilah baru yang akan digunakan.

"Apa nama yang akan diambil semua diserahkan ke pemerintah daerah. Yang menjadi inti putusan MK dalah soal besarnya biaya pendidikan di sekolah eks RSBI yang ditanggung masyarakat. Karena itu, Pemda dan pengelola sekolah tidak menjadikan istilah baru itu sebagai dasar untuk melegalkan pungutan biaya pendidikan Sekolah bekas RSBI," katanya di Banten.

Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh meminta semua RSBI/SBI untuk meneruskan kegiatan belajar dan mengajar (KBM). Bahkan, Surat Edaran sudah dikirimkan kepada seluruh sekolah di tanah air. (Ati)

Sumber