ICW Desak BPK Audit Aliran Dana RSBI
JAKARTA, KOMPAS.com - Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI untuk melakukan audit terhadap seluruh dana APBN, APBD, dan dana masyarakat yang telah dialokasikan untuk penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional.
Peneliti ICW, Febri Hendri, mengatakan bahwa anggaran yang berkaitan dengan RSBI-SBI semestinya telah dihentikan oleh pemerintah setelah MK mengetok palu mengabulkan judicial review Pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menaungi keberadaan RSBI-SBI selama ini.
"Harusnya sudah dihentikan. Baik dari APBN, APBD maupun dana yang asalnya dari masyarakat untuk RSBI atau SBI," kata Febri di Kantor BPK RI, Jakarta, Rabu (16/1/2013).
Selama ini, pengelolaan dana pada sekolah yang menyandang status RSBI ini dinilai tidak transparan dan partisipatif. Bahkan orang tua murid banyak yang mengeluhkan tingginya uang bulanan yang harus dibayarkan pada sekolah. Umumnya uang bulanan ini berkisar dari Rp 250.000-Rp 750.000 masing-masing anak.
Padahal selama ini, pemerintah sudah memberikan anggaran yang besar bagi sekolah berlabel RSBI ini. Setiap tahunnya, untuk SD mendapatkan dana atau block grant hingga Rp. 200 juta, untuk SMP mencapai Rp. 300 juta, dan SMA/SMK mencapai Rp. 600 juta dari APBN. Belum lagi aliran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang juga tetap diperoleh oleh sekolah RSBI.
"Melihat ini, kami minta agar BPK mau melakukan audit supaya ada transparansi keuangan pada publik," jelas Febri.
Ia juga menambahkan bahwa permintaan audit merupakan bentuk evaluasi dan pertanggungjawaban pemerintah atas program internasional yang dikembangkan pada setiap satuan pendidikan. Permintaan audit kepada BPK ini juga sesuai dengan Undang-Undang BPK No. 15 tahun 2006, Pasal 6 ayat (1) bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Sumber
Kompas Edukasi
Peneliti ICW, Febri Hendri, mengatakan bahwa anggaran yang berkaitan dengan RSBI-SBI semestinya telah dihentikan oleh pemerintah setelah MK mengetok palu mengabulkan judicial review Pasal 50 ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menaungi keberadaan RSBI-SBI selama ini.
"Harusnya sudah dihentikan. Baik dari APBN, APBD maupun dana yang asalnya dari masyarakat untuk RSBI atau SBI," kata Febri di Kantor BPK RI, Jakarta, Rabu (16/1/2013).
Selama ini, pengelolaan dana pada sekolah yang menyandang status RSBI ini dinilai tidak transparan dan partisipatif. Bahkan orang tua murid banyak yang mengeluhkan tingginya uang bulanan yang harus dibayarkan pada sekolah. Umumnya uang bulanan ini berkisar dari Rp 250.000-Rp 750.000 masing-masing anak.
Padahal selama ini, pemerintah sudah memberikan anggaran yang besar bagi sekolah berlabel RSBI ini. Setiap tahunnya, untuk SD mendapatkan dana atau block grant hingga Rp. 200 juta, untuk SMP mencapai Rp. 300 juta, dan SMA/SMK mencapai Rp. 600 juta dari APBN. Belum lagi aliran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang juga tetap diperoleh oleh sekolah RSBI.
"Melihat ini, kami minta agar BPK mau melakukan audit supaya ada transparansi keuangan pada publik," jelas Febri.
Ia juga menambahkan bahwa permintaan audit merupakan bentuk evaluasi dan pertanggungjawaban pemerintah atas program internasional yang dikembangkan pada setiap satuan pendidikan. Permintaan audit kepada BPK ini juga sesuai dengan Undang-Undang BPK No. 15 tahun 2006, Pasal 6 ayat (1) bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Sumber
Kompas Edukasi