Kemdikbud dan Kompetensi Ilmiah
Oleh Bs Mardiatmadja
KOMPAS.com - Berkali-kali Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (juga stafnya) tampak kurang memahami keberatan mereka yang mengkritik ”apa yang disebut Kurikulum 2013”. Kesenjangan itu sangat tampak setiap kali ’yang bersangkutan’ diwawancarai di televisi/media.
Berkali-kali ia katakan bahwa keberatan itu kebanyakan hanya mengenai implementasi; maka dapat diatasi. Andai kata keberatan-keberatan tersebut hanya tentang implementasi, tetap harus diperhatikan. Sebab, peristiwa UU Sistem Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa implementasi itu justru yang langsung berkaitan dengan praksis sekolah. Dan, sekolah bukan pertama-tama soal teori manajemen birokrasi dan sistem persekolahan, melainkan praksis mendidik di sekolah. Apalagi, pendidikan persekolahan dilaksanakan tidak di Senayan (Kantor Kementerian dan Kebudayaan/Kemdikbud) dan dalam ruang ”uji publik yang direkayasa”, tetapi dalam ”interaksi antara murid dengan guru di kelas”.
Selain itu, implementasi yang di-”entengkan” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu tidaklah sedemikian sepele. Hal ini terutama apabila mengingat bahwa penataran guru yang harus memadukan beberapa ilmu tidaklah cukup dengan beberapa minggu. Padahal, kita semua mafhum, sebentar lagi pemilihan umum akan segera disiapkan; sehingga tidak terbayangkan bagaimana para guru dan sekolah akan terombang-ambing dalam mewujudkan teori kurikulum yang dipaksakan itu ketika kementerian akan diperebutkan oleh partai-partai.
Lebih jauh lagi, implementasi yang dipandang rendah itu mencakup kemampuan guru dan manajemen kelas dan sekolah, yang sangat menentukan pelaksanaan praksis didik di kelas. Ini satu hal yang bagi orangtua murid dan para murid sendiri menjadi keprihatinan harian langsung (bukan yang diteropong dari jauh dari kantor Kemdikbud di Senayan).
Padahal, lebih mendalam lagi, kebanyakan orang yang mengkritik ”rencana pembaruan kurikulum” itu lebih menunjuk bukan sekadar implementasi dari ”apa yang disebut pemaduan mata-ajar”, tetapi pada pengertian dasar yang dipakai oleh Kemdikbud untuk memahami ”ilmu” dan ”pewarisan budaya” serta ”pendidikan budi pekerti atas dasar iman”. Ketiganya mencakup kredibilitas Mendikbud dan para pembantu terdekatnya, yang dalam rapat-rapat persiapan perubahan kurikulum tidak semua diikutsertakan.
Ilmu
Baik dalam rancangan kebijakan di sekolah dasar maupun di sekolah tinggi sangat menonjol bahwa Mendikbud dan pembantunya punya paham ilmu yang terbatas sekali. Pada awal rapat-rapat pembaruan kurikulum ditekankan bagaimana dicari struktur kurikulum yang mendorong keterpaduan bangsa. Dalam praktiknya, kurikulum ini menyerapkan IPA dan IPS dalam ilmu-ilmu lain, yang justru menyiapkan perpecahan.
Padahal, IPA dan IPS adalah ilmu-ilmu yang menegaskan bahwa dari sudut suku dan agama apa pun, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial menghendaki cara pandang sama. Mempelajari IPA dan IPS secara jernih dapat menguatkan persatuan lintas suku, lintas agama, dan lintas bangsa. Dengan demikian, murid-murid kita dipersiapkan untuk pergaulan dan persaingan internasional secara jernih.
Cara yang dipilih Mendikbud saat ini justru mengajarkan perpecahan bangsa sejak anak usia muda, di samping tidak sesuai dengan pengertian ilmu yang jernih. Menteri mempersiapkan sektarianisme sejak taman bermain/TK dan SD: hal itu akan menghancurkan kesatuan Indonesia. Di dalamnya, meremehkan perbedaan ilmu pasti, ilmu alam, dan ilmu sosial, yang biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikuasai; sekarang akan disuruh dikuasai guru hanya dalam beberapa minggu.
Kedangkalan pemahaman Mendikbud dan pembantunya yang terdekat ini tidak hanya kelihatan dari pencampuran IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia di pendidikan dasar, tetapi juga mencolok dalam kebijakan di tingkat tinggi. Mirip pengertian serupa, kementerian ini mempunyai paham ilmu yang mengecoh keilmuan jernih ketika mengumpulkan filsafat dan teologi dalam ”ilmu agama”. Tampak sekali bagaimana Mendikbud, dan pembantu terdekatnya yang tersangkut, mempersempit paham ilmu filsafat dan ilmu teologi menjadi sekadar alat untuk menjelaskan pokok-pokok dangkal agama. Itu pun kerap dipersempit hanya mengenai hal-hal sekitar ritus dan ritual.
Pemahaman tentang etika dan moral orang beriman dikudungi menjadi sekadar rangkaian rumus dan slogan, tanpa murid diajak mendalami argumentasinya yang mendalam. Padahal, baik filsafat maupun teologi—sudah sejak zaman Ibn Sina—tak mau berhenti pada praktik agama harian belaka, tetapi mau sampai ke sejumlah pengandaian dalam mengolah pemikiran dan pengertian bakti kepada Tuhan dengan diperkuat oleh argumentasi nonsektarian. Tujuannya justru agar para pemeluk agama, dari agama apa pun, dapat mempertanggungjawabkan keimanannya secara lintas budaya dan lintas agama.
Memenjarakan filsafat dan teologi dalam ilmu agama dan praktik ritual hanyalah aksi dari sementara orang yang mau mengerdilkan agama sebagai rangkaian pepatah-petitih yang harus dihafalkan sehingga menjadi keyakinan yang sulit dipertanggungjawabkan akal budi. Tentu saja agama berkaitan dengan perwahyuan yang harus diimani. Namun, iman melampaui akal budi, bukannya bertentangan dengan akal budi. Maka, hal itu tidaklah mau mengatakan bahwa agama tak dapat dipertanggungjawabkan oleh akal budi walau tak mau membatasi diri hanya pada akal budi belaka. Karena itu, murid perlu dibimbing untuk mampu mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya sebagai orang beriman. Hal itulah yang diolah dalam berfilsafat dan berteologi.
Dengan demikian, jelas, bahwa di balik usaha dalam pembaruan kurikulum SD ataupun dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 terdapat satu semangat yang sama, yakni ”sikap anti-akal budi” dalam diri orang beragama dan akan memecah-belah bangsa ini sejak usia dini.
Prinsip dasar pendidikan
Gagasan pembaruan Kurikulum 2013 ataupun UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi masih menunjukkan kekeliruan berpikir dari sudut ilmu mendidik. Apa yang disebut ”Kurikulum 2013” merebut dari tangan dan pangkuan umat dan orangtua: hak dan kewajiban mendidik kerohanian anaknya. Kalau sekolah mau tetap dalam kewajiban kenegaraan sejati, tidak tepatlah menugasi sekolah masuk dalam ranah religiositas dini.
Perlu diingat, pada usia dini sampai selesainya SD, murid butuh pendidikan holistik, yang memadukan religiositas dengan seluruh kehidupan pribadinya; baru kemudian segi akal budi dapat secara khusus dikembangkan; dan hal itu tidak mungkin dilakukan oleh guru di sekolah. Tidak tepatlah argumen ”bahwa orangtua tidak mampu mendidik agama anak-anaknya”: argumen itu melecehkan religiositas orangtua dan merebut dari lembaga keagamaan dari kewenangannya. Tidak seyogianya pemerintah dan kaki tangannya merebut hal itu. Selain itu, justru karena kita semua berpendapat bahwa pendidikan religius adalah penting, maka integrasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga mutlak perlu; tidak seyogianya direbut sekolah (apalagi oleh kementerian dan siapa pun).
Hal serupa dapat mencolok dalam UU No 12/2012 yang memisahkan teologi dari ilmu-ilmu sosial yang lebih luas. Sebab, dengan demikian, Kemdikbud memenjarakan teologi khususnya, dan filsafat agama pada umumnya, sebagai suatu kesibukan manusia yang tidak sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian, Kemdikbud ini telah melecehkan teologi (dan filsafat agama) sebagai kesibukan yang tidak sebanding dengan ilmu-ilmu lain. Kecuali itu, pembagian dalam UU No 12/2012 mengandaikan bahwa pelayanan keilmuan kementerian-kementerian dianggap sama saja. Dengan demikian, sebenarnya tidak dipedulikan kompetensi keilmuan dalam pelayanan kenegaraan. Namun, dengan begitu dapat kita nilai kredibilitas keilmuan sejumlah petugas dalam Kemdikbud, yang berpretensi mengawal proses didik dan pengilmuan masyarakat.
Kesimpulan
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, rencana pembaruan Kurikulum 2013 untuk SD tidak layak dan masih harus dipertimbangkan sekali lagi. Sementara UU No 12/2012 perlu ditinjau kembali sehingga layak menjadi pegangan gerak akademis yang jelas kompetensinya. Apabila tidak, Kemdikbud merosotkan perannya menjadi tak kompeten karena kesempitan paham ilmiahnya dan tidak cukup memiliki kredibilitas yang diperlukan untuk mengarahkan proses pengilmuan masyarakat.
BS Mardiatmadja Pendidik dan Rohaniwan
Sumber
Kompas Edukasi
KOMPAS.com - Berkali-kali Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (juga stafnya) tampak kurang memahami keberatan mereka yang mengkritik ”apa yang disebut Kurikulum 2013”. Kesenjangan itu sangat tampak setiap kali ’yang bersangkutan’ diwawancarai di televisi/media.
Berkali-kali ia katakan bahwa keberatan itu kebanyakan hanya mengenai implementasi; maka dapat diatasi. Andai kata keberatan-keberatan tersebut hanya tentang implementasi, tetap harus diperhatikan. Sebab, peristiwa UU Sistem Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa implementasi itu justru yang langsung berkaitan dengan praksis sekolah. Dan, sekolah bukan pertama-tama soal teori manajemen birokrasi dan sistem persekolahan, melainkan praksis mendidik di sekolah. Apalagi, pendidikan persekolahan dilaksanakan tidak di Senayan (Kantor Kementerian dan Kebudayaan/Kemdikbud) dan dalam ruang ”uji publik yang direkayasa”, tetapi dalam ”interaksi antara murid dengan guru di kelas”.
Selain itu, implementasi yang di-”entengkan” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu tidaklah sedemikian sepele. Hal ini terutama apabila mengingat bahwa penataran guru yang harus memadukan beberapa ilmu tidaklah cukup dengan beberapa minggu. Padahal, kita semua mafhum, sebentar lagi pemilihan umum akan segera disiapkan; sehingga tidak terbayangkan bagaimana para guru dan sekolah akan terombang-ambing dalam mewujudkan teori kurikulum yang dipaksakan itu ketika kementerian akan diperebutkan oleh partai-partai.
Lebih jauh lagi, implementasi yang dipandang rendah itu mencakup kemampuan guru dan manajemen kelas dan sekolah, yang sangat menentukan pelaksanaan praksis didik di kelas. Ini satu hal yang bagi orangtua murid dan para murid sendiri menjadi keprihatinan harian langsung (bukan yang diteropong dari jauh dari kantor Kemdikbud di Senayan).
Padahal, lebih mendalam lagi, kebanyakan orang yang mengkritik ”rencana pembaruan kurikulum” itu lebih menunjuk bukan sekadar implementasi dari ”apa yang disebut pemaduan mata-ajar”, tetapi pada pengertian dasar yang dipakai oleh Kemdikbud untuk memahami ”ilmu” dan ”pewarisan budaya” serta ”pendidikan budi pekerti atas dasar iman”. Ketiganya mencakup kredibilitas Mendikbud dan para pembantu terdekatnya, yang dalam rapat-rapat persiapan perubahan kurikulum tidak semua diikutsertakan.
Ilmu
Baik dalam rancangan kebijakan di sekolah dasar maupun di sekolah tinggi sangat menonjol bahwa Mendikbud dan pembantunya punya paham ilmu yang terbatas sekali. Pada awal rapat-rapat pembaruan kurikulum ditekankan bagaimana dicari struktur kurikulum yang mendorong keterpaduan bangsa. Dalam praktiknya, kurikulum ini menyerapkan IPA dan IPS dalam ilmu-ilmu lain, yang justru menyiapkan perpecahan.
Padahal, IPA dan IPS adalah ilmu-ilmu yang menegaskan bahwa dari sudut suku dan agama apa pun, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial menghendaki cara pandang sama. Mempelajari IPA dan IPS secara jernih dapat menguatkan persatuan lintas suku, lintas agama, dan lintas bangsa. Dengan demikian, murid-murid kita dipersiapkan untuk pergaulan dan persaingan internasional secara jernih.
Cara yang dipilih Mendikbud saat ini justru mengajarkan perpecahan bangsa sejak anak usia muda, di samping tidak sesuai dengan pengertian ilmu yang jernih. Menteri mempersiapkan sektarianisme sejak taman bermain/TK dan SD: hal itu akan menghancurkan kesatuan Indonesia. Di dalamnya, meremehkan perbedaan ilmu pasti, ilmu alam, dan ilmu sosial, yang biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikuasai; sekarang akan disuruh dikuasai guru hanya dalam beberapa minggu.
Kedangkalan pemahaman Mendikbud dan pembantunya yang terdekat ini tidak hanya kelihatan dari pencampuran IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia di pendidikan dasar, tetapi juga mencolok dalam kebijakan di tingkat tinggi. Mirip pengertian serupa, kementerian ini mempunyai paham ilmu yang mengecoh keilmuan jernih ketika mengumpulkan filsafat dan teologi dalam ”ilmu agama”. Tampak sekali bagaimana Mendikbud, dan pembantu terdekatnya yang tersangkut, mempersempit paham ilmu filsafat dan ilmu teologi menjadi sekadar alat untuk menjelaskan pokok-pokok dangkal agama. Itu pun kerap dipersempit hanya mengenai hal-hal sekitar ritus dan ritual.
Pemahaman tentang etika dan moral orang beriman dikudungi menjadi sekadar rangkaian rumus dan slogan, tanpa murid diajak mendalami argumentasinya yang mendalam. Padahal, baik filsafat maupun teologi—sudah sejak zaman Ibn Sina—tak mau berhenti pada praktik agama harian belaka, tetapi mau sampai ke sejumlah pengandaian dalam mengolah pemikiran dan pengertian bakti kepada Tuhan dengan diperkuat oleh argumentasi nonsektarian. Tujuannya justru agar para pemeluk agama, dari agama apa pun, dapat mempertanggungjawabkan keimanannya secara lintas budaya dan lintas agama.
Memenjarakan filsafat dan teologi dalam ilmu agama dan praktik ritual hanyalah aksi dari sementara orang yang mau mengerdilkan agama sebagai rangkaian pepatah-petitih yang harus dihafalkan sehingga menjadi keyakinan yang sulit dipertanggungjawabkan akal budi. Tentu saja agama berkaitan dengan perwahyuan yang harus diimani. Namun, iman melampaui akal budi, bukannya bertentangan dengan akal budi. Maka, hal itu tidaklah mau mengatakan bahwa agama tak dapat dipertanggungjawabkan oleh akal budi walau tak mau membatasi diri hanya pada akal budi belaka. Karena itu, murid perlu dibimbing untuk mampu mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya sebagai orang beriman. Hal itulah yang diolah dalam berfilsafat dan berteologi.
Dengan demikian, jelas, bahwa di balik usaha dalam pembaruan kurikulum SD ataupun dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 terdapat satu semangat yang sama, yakni ”sikap anti-akal budi” dalam diri orang beragama dan akan memecah-belah bangsa ini sejak usia dini.
Prinsip dasar pendidikan
Gagasan pembaruan Kurikulum 2013 ataupun UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi masih menunjukkan kekeliruan berpikir dari sudut ilmu mendidik. Apa yang disebut ”Kurikulum 2013” merebut dari tangan dan pangkuan umat dan orangtua: hak dan kewajiban mendidik kerohanian anaknya. Kalau sekolah mau tetap dalam kewajiban kenegaraan sejati, tidak tepatlah menugasi sekolah masuk dalam ranah religiositas dini.
Perlu diingat, pada usia dini sampai selesainya SD, murid butuh pendidikan holistik, yang memadukan religiositas dengan seluruh kehidupan pribadinya; baru kemudian segi akal budi dapat secara khusus dikembangkan; dan hal itu tidak mungkin dilakukan oleh guru di sekolah. Tidak tepatlah argumen ”bahwa orangtua tidak mampu mendidik agama anak-anaknya”: argumen itu melecehkan religiositas orangtua dan merebut dari lembaga keagamaan dari kewenangannya. Tidak seyogianya pemerintah dan kaki tangannya merebut hal itu. Selain itu, justru karena kita semua berpendapat bahwa pendidikan religius adalah penting, maka integrasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga mutlak perlu; tidak seyogianya direbut sekolah (apalagi oleh kementerian dan siapa pun).
Hal serupa dapat mencolok dalam UU No 12/2012 yang memisahkan teologi dari ilmu-ilmu sosial yang lebih luas. Sebab, dengan demikian, Kemdikbud memenjarakan teologi khususnya, dan filsafat agama pada umumnya, sebagai suatu kesibukan manusia yang tidak sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian, Kemdikbud ini telah melecehkan teologi (dan filsafat agama) sebagai kesibukan yang tidak sebanding dengan ilmu-ilmu lain. Kecuali itu, pembagian dalam UU No 12/2012 mengandaikan bahwa pelayanan keilmuan kementerian-kementerian dianggap sama saja. Dengan demikian, sebenarnya tidak dipedulikan kompetensi keilmuan dalam pelayanan kenegaraan. Namun, dengan begitu dapat kita nilai kredibilitas keilmuan sejumlah petugas dalam Kemdikbud, yang berpretensi mengawal proses didik dan pengilmuan masyarakat.
Kesimpulan
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, rencana pembaruan Kurikulum 2013 untuk SD tidak layak dan masih harus dipertimbangkan sekali lagi. Sementara UU No 12/2012 perlu ditinjau kembali sehingga layak menjadi pegangan gerak akademis yang jelas kompetensinya. Apabila tidak, Kemdikbud merosotkan perannya menjadi tak kompeten karena kesempitan paham ilmiahnya dan tidak cukup memiliki kredibilitas yang diperlukan untuk mengarahkan proses pengilmuan masyarakat.
BS Mardiatmadja Pendidik dan Rohaniwan
Sumber
Kompas Edukasi