Cara Menyenangkan Belajar Sejarah


REPUBLIKA.CO.ID, Suatu ketika, saat pelajaran Sejarah tengah berlangsung di sebuah kelas, ada seorang guru bertanya kepada muridnya, “Kapan Perang Diponegoro terjadi?” tanyanya. Beberapa siswa sontak mengacungkan tangan. Sang guru kemudian menunjuk salah satunya. Dengan lantang, siswa yang ditunjuk tersebut menyahut, “Habis Maghrib, Pak!”
Di waktu yang berbeda, masih terkait Perang Diponegoro, sang guru bertanya, “Setelah melakukan gerilya dengan pasukannya, Diponegoro kemudian melarikan diri ke ...?” Jawaban yang terlontar dari siswa pun di luar perkiraan. Dengan suara lantang, keluarlah jawaban, “Ketakutan.”
Kontan saja, kelas riuh dengan gelak tawa. Guru yang bertanya pun bengong sesaat. Kemudian, dia menenangkan siswanya dengan nada membentak. Ini bukan sekadar anekdot. Cerita ini disampaikan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi.
Menurutnya, saat ini generasi muda sangat kreatif, berpikiran lebih bebas, dan terbuka. Karenanya, metode pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa agar lebih menyenangkan, tidak membosankan. Tentu saja, agar jawaban serupa “habis Maghrib” dan “ketakutan” itu tidak muncul lagi.
Cara Menyenangkan Belajar SejarahJawaban spontan dari siswa, seperti kisah di atas, bukan mengartikan bahwa mereka tak tahu jawabannya. Justru karena jawaban yang sudah ada itu cenderung membuat siswa jenuh dan mencari cara lain agar lebih enjoy.  “Mereka tahu, Perang Diponegoro terjadi pada 1825-1830. Tapi, saking detilnya, muncullah jawaban sehabis Maghrib tadi,” ujar Susanto sambil  tertawa. Pelajaran Sejarah yang berisi banyak hafalan dan menyediakan jawaban tampaknya memang perlu disikapi dengan lebih bijak agar materinya bisa lebih mudah terekam oleh siswa.
Susanto yang juga staf ahli Menteri Pertahanan itu tidak sepakat dengan pernyataan bahwa pelajaran Sejarah bukan hal yang menarik. Sebaliknya, Susanto menilai, pelajaran Sejarah justru pelajaran yang penuh pesona. Menurutnya, masa lalu selalu menarik. “Kita saja yang tidak bisa mengemasnya.”
Belajar tentang masa lalu, kata Susanto, bisa menarik bila dimasukkan unsur makna dari peristiwa-peristiwa tersebut. Dia mengatakan, ada tiga sebab mengapa orang berkepentingan dengan sejarah. Pertama, orang memang ingin tahu sejarah yang penuh misteri dan memesona. Syaratnya, dia harus penasaran karena harus selalu bertanya.
Kedua, orang belajar sejarah untuk tahu pengalaman orang lain. Orang bijak tidak akan belajar dari pengalamannya sendiri, tapi dari pengalaman orang lain. Ketiga, sejarah menciptakan kelompok komunitas, kelompok kemanusiaan, dan menggugah rasa nasionalisme. Ini karena sejarah menjadikan satu kesatuan pengalaman. “Jadi, secara individu maupun kelompok, sejarah itu menarik,” kata Susanto.
Salah satu cara untuk menjadikan pelajaran Sejarah menarik dan tidak membosankan adalah dengan kegiatan Lawatan Sejarah Nasioanal (Lasenas) X. Acara ini merupakan program tahunan Kemendikbud yang diselenggarakan oleh Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah, dan Nilai Budaya. Menurut Susanto, Lasenas adalah cara belajar sejarah yang menyenangkan. Kemasan pendidikan Sejarah dengan berkunjung langsung ke tempat-tempat bersejarah patut diapresiasi. Lasenas, kata Susanto, bisa memperkuat ingatan politik dan sejarah generasi muda dengan cara yang disukai mereka.
Susanto mencontohkan, beberapa tahun lalu ada seorang pelajar dari Amerika yang berkujung ke Morotai. Untuk apa? Ternyata, anak tersebut ingin melihat langsung jejak peninggalan kakeknya sewaktu berperang melawan Jepang. “Karena jejak peninggalannya ada di Morotai, ribuan kilometer pun harus dia tempuh. Ini karena instruksi sejarah, ada perintah masa lalu,” ujarnya.

Sumber
Republika

Bahasa Inggris Dinilai Membantu Perkembangan Anak SD

Bahasa Inggris Dinilai Membantu Perkembangan Anak SDREPUBLIKA.CO.ID, WATES -- Salah satu alasan rencana penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris dari kurikulum sekolah dasar adalah agar anak didik fokus mempelajari bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Inggris dinilai banyak membantu anak didik.

Kepala Sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) SD Wates IV, Teguh Riyanto menyayangkan rencana tersebut. Sebab menurut Teguh mata pelajaran bahasa Inggris sangat membantu siswa dalam mata pelajaran bilingual atau dua bahasa.

SD yang terletak di Wates, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu sudah menjadi RSBI sejak tahun 2008/2009. Selama ini, kata Teguh, ada dua mata pelajaran yang menggunakan bilingual yaitu Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Matematika.

"Selama ini mata pelajaran Bahasa Inggris sangat membantu anak-anak," kata Teguh kepada ROL di Wates, Kamis (18/10). 

Teguh belum tahu langkah yang akan dilakukan bila penghapusan itu benar-benar dilakukan pemerintah. "Saya ikut saja dari dinas, apa yang dilakukan setelah dihapus," kata Teguh menandaskan.

Sumber

Sastra Dinilai Masih Jadi Pelajaran 'Kelas Dua'

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Pardi Suratno menilai, pembelajaran sastra di sekolah selama ini masih menjadi pelajaran "kelas dua", setelah pembelajaran bahasa Indonesia.
Sastra Dinilai Masih Jadi Pelajaran 'Kelas Dua'"Pembelajaran sastra Indonesia, termasuk puisi di sekolah-sekolah seharusnya lebih ditingkatkan," katanya setelah pergelaran Lomba Cipta Puisi Indonesia dan Jawa bertema "Aku Cinta Jawa Tengah", di Semarang, Ahad (22/10).
Menurut dia, pembelajaran sastra Indonesia harus menjadi perhatian seluruh kalangan pendidikan, mulai jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, sebab melalui sastra bisa meningkatkan martabat bangsa.
Selama ini, kata dia, baru perguruan tinggi yang memberikan porsi cukup dalam pembelajaran sastra di jurusan tertentu.
Ia mengharapkan, pada masa mendatang sekolah-sekolah mengikuti langkah perguruan tinggi itu dengan memberikan perhatian cukup besar kepada sastra.
Ia menjelaskan, pola pembelajaran sastra di sekolah-sekolah yang selama ini cenderung menghafalkan isi karya sastra juga harus diubah, sebab perlu pola pembelajaran yang lebih apresiatif terhadap karya sastra.
"Kalau dulu sekadar menghafal isi karya sastra, sekarang harus diubah lebih apresiatif. Misalnya, bagaimana membaca karya sastra, kemudian apa manfaat dari karya sastra itu. Selama ini kan belum ada," katanya.
Pada kesempatan itu ia mengingatkan bahwa Oktober ditetapkan sebagai bulan bahasa sehingga harus dijadikan momentum oleh seluruh kalangan terkait menanamkan kecintaan masyarakat terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
Balai Bahasa Jateng hingga saat ini berupaya mengenalkan dan mengakrabkan sastra kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan, termasuk lomba cipta puisi yang mengangkat tema kecintaan terhadap Jateng.
"Lomba cipta puisi ini menjadi bagian dari program Gemar Membaca dan Rajin Menulis (Gema Rame). Setelah Kota Semarang, rencananya lomba serupa akan dilanjutkan ke Kabupaten Purworejo dan Jepara," kata Pardi.
Sumber


Akar Persoalan Tawuran Dari Juara Menjadi Tersangka

KOMPAS.com — Siapa yang menyangka, seorang juara di SMP kelak menjadi tersangka kasus pembunuhan di jenjang SMA. Kisah FR—yang dituduh membacok Alawy Yusianto Putra dalam tawuran antara SMA Negeri 6 dan SMAN 70 Bulungan, Jakarta, 24 September lalu—menunjukkan betapa rapuhnya kepribadian seorang remaja. 

FR yang berasal dari SMPN 12 Kebayoran Baru, Jakarta, semula dikenal sebagai anak pintar. Ia lulus dengan nilai evaluasi tahap akhir nasional (ebtanas) murni rata-rata 9 lebih sehingga masuk peringkat keempat di sekolahnya. Wajarlah jika ia kemudian bisa menembus SMAN 70 yang tergolong rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

”NEM saya 38,15. Matematika 90,25, IPA 100, Bahasa Inggris 90,5, dan Bahasa Indonesia 90,” kata FR, sebagaimana dikutip pengacaranya, Nazarudin Lubis, di Kepolisian Resor Jakarta Selatan, Selasa (16/10) siang lalu.

Salah seorang gurunya di SMPN 12, yang menolak disebut namanya, mengakui FR adalah anak yang taat beribadah. ”Ia sungguh-sungguh kalau mengikuti pelajaran agama,” katanya kepada Kompas, Rabu (17/10).

Pascaperistiwa pembunuhan Alawy dan Deni Yanuar, tersisa pertanyaan, apakah lingkungan sekolah telah ”mengubah” mereka?

Kalau menilik urutan kisah FR sebelum peristiwa tawuran, remaja berusia 19 tahun ini tak ubahnya seorang kakak yang berperhatian dan melindungi adik-adiknya. Hari itu, dengan mobil tua yang dimodifikasinya sendiri, dari rumahnya di kawasan Bintaro, FR mengantar seorang adik perempuan di kelas IX SMPN 12 dan adik perempuan lain di SMAN 6, sebelum ia sendiri mengikuti ujian tengah semester.

Sebagai anak ketiga dari enam bersaudara, FR memang diajarkan untuk bertanggung jawab mengurus adik-adiknya. Maklum, orangtuanya memiliki bisnis barang antik di Bali sehingga kadang kala tak bisa menemani anak-anak di Jakarta.

Namun, Nazarudin bersikukuh, keluarga FR adalah keluarga yang harmonis. ”Sebelum berangkat sekolah, FR dan adik-adiknya cium tangan,” kata mantan pengacara LBH Jakarta itu, yang juga menampik tuduhan bahwa FR dibesarkan tanpa bimbingan orangtua.

”Hari itu (Senin, 24/9, saat kejadian) saya tidak menjemput FR dan adiknya. Biasanya, setiap Jumat, saya selalu menjemput dan menjaganya karena tawuran selalu terjadi pada hari Jumat,” kata Yn saat mengunjungi FR di Polres Jakarta Selatan, Selasa, dan dikutip ulang oleh Nazarudin. Yn juga menegaskan, saat peristiwa tawuran tersebut terjadi, ia bersama suaminya berada di Jakarta.

Berubah emosional

Entah apa yang mengubah kepribadian FR sejak masuk bangku SMA. Yang jelas, catatan perilakunya menunjukkan ia pernah melukai siswa SMAN 6 saat terlibat tawuran dengan mereka, membuatnya bersama sejumlah teman sekolah ditahan dua pekan. Namun, perdamaian yang difasilitasi komite sekolah membuat laporan ke polisi ditarik kembali dan FR bisa bersekolah lagi.

FR juga pernah tidak naik kelas. Ia beralasan, kaki kirinya yang patah menghalanginya untuk bersekolah. Setahun kemudian, ia kembali tidak naik kelas.

Nazarudin mengakui, FR berubah menjadi pribadi yang keras dan mudah emosional jika ada rekannya yang diganggu, apalagi diserang siswa sekolah lain. ”Mungkin karena pengaruh aksi kekerasan (bullying) sejak kelas satu membuatnya seperti itu, selain tradisi seniornya,” kata Nazaruddin, mengutip FR yang sering mendapat hukuman atau ”ditindas” oleh kakak-kakak kelasnya.

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto. Dari hasil pemeriksaan terhadap FR dan rekan-rekannya, tawuran di SMAN 70 merupakan warisan dari para senior. SMAN 70 pada 1982 merupakan dua sekolah yang dijadikan satu, yaitu SMAN 9 dan SMAN 11. Kedua siswa sekolah yang bertetangga itu kerap berkelahi sehingga solusinya digabung menjadi satu menjadi SMAN 70.

”Sejak masuk ke SMAN 70, mereka ’dididik’ bahwa siswa SMAN 6 adalah musuhnya. Kami juga menemukan adanya dua geng warisan seniornya di SMAN 70, yaitu Balistik untuk kelas XI dan Gestapu untuk kelas XII,” ujar Rikwanto, dalam keterangan pers, awal Oktober lalu.

Intimidasi yang lemah

Menurut aktivis perdamaian yang mendirikan LSM Peace Generation, Irfan Amalee, bentuk-bentuk kekerasan dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah tak hanya terjadi di masyarakat, tetapi juga di sekolah. Itulah yang disebut bullying.

”Definisinya adalah penyalahgunaan kekuatan oleh seseorang atau kelompok untuk mengintimidasi yang lemah. Bully ini konsekuensi logis dari ketidakseimbangan sosial. Di setiap lingkungan, termasuk di sekolah, selalu ada siswa kuat, jagoan, lemah, dan pemalu. Jika kekuatan dan kelemahan ini tak diatur akan muncul penindas dan yang ditindas, dan juga penonton,” ujar Irfan, yang membuat modul perdamaian dan tengah mengambil master perdamaian di Boston, AS, Kamis (18/10).

Menurut dia, tiga kelompok —penindas, tertindas, dan penonton—itulah yang menjadi unsur utamabullying dan menjadi bibit kekerasan. ”Jumlah penonton biasanya lebih banyak daripada penindas dan yang ditindas. Akan tetapi, ketika penonton itu tak berbuat apa-apa, penindas akan terus menindas karena merasa mendapat persetujuan sosial. Yang ditindas akan terus ditindas,” katanya.

Namun, saat yang ditindas mendapat kesempatan menindas, mereka akan menjadi penindas baru. Sebagai alasan dendam, tradisi orientasi sekolah dengan kekerasan biasanya dilatarbelakangi motif ini.

Roby—sebut saja begitu—kini kelas XI SMAN 70, pernah dimaki-maki kakak kelasnya karena tidak potong rambut sampai dua sentimeter. Saat di kelas X, ia tak berani pergi ke Blok M, apalagi membawa sepeda motor.

Larangan itu diterapkan kakak kelasnya. Sekarang sebagai siswa kelas XI, ia wajib mencari dana untuk perpisahan kakak kelas XII. ”Minimal Rp 20 juta per kelas,” ujar Roby.

FR kini dituding sebagai pelaku tunggal tewasnya Alawy. Ia dibidik Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun. Belakangan, enam rekannya yang ikut tawuran juga dijadikan tersangka dengan merujuk Pasal 170 KUHP soal Pengeroyokan dan Pasal 351 soal Penganiayaan.

Apakah ancaman hukuman kurungan akan punya efek menjerakan? Tak ada yang bisa menjawab, karena tawuran di kalangan anak muda terdidik terus saja berulang. (doe)

Sumber
Kompas Edukasi 

Kekerasan di Dunia Pendidikan Sekolah Ramah Anak Atasi Tawuran



KOMPAS.com - Tawuran antarpelajar atau antarmahasiswa sekarang ini semakin menjadi-jadi dan mengerikan. Tawuran di dunia pendidikan itu telah menyebabkan pelajar ataupun mahasiswa tewas sia-sia. Dalam satu bulan terakhir, secara beruntun terjadi tawuran yang menewaskan enam orang siswa dan mahasiswa. 

Tewasnya siswa SMA Negeri 6 Mahakam, Alawy Yusianto Putra (15), akibat sabetan celurit yang diayunkan siswa SMAN 70, FR (19), akhir September lalu, menambah daftar panjang siswa yang tewas dalam satu dekade.

Siswa kelas X yang hobi main band itu terkapar tak jauh dari pintu gerbang sekolahnya di SMA 6. Padahal, lokasi sekolah korban dan pelaku bertetangga dan berada di kawasan strategis di Jakarta Selatan.

Sebulan sebelumnya, Jasuli (16), siswa kelas IX SMP 6, tewas disambar commuter line di Stasiun Buaran, Klender, Jakarta Timur. Ia tewas ditabrak kereta saat dikejar sekelompok pelajar lain. Jasuli yang saat itu berseragam pramuka berlari sendirian.

Dua hari setelah kematian Alawy, menyusul Deny Yanuar (17) alias Yadut, siswa SMK Yayasan Karya 66 (Yake). Ia juga tewas disabet celurit AD alias Djarot (15) dibantu rekannya, EK dan GAL. Yadut tergeletak tak jauh dari sekolahnya di Jalan Minangkabau, Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan. Ia tewas mengenaskan setelah dikeroyok pelajar SMK Kartika Zeni, Matraman, Jakarta Pusat.

Kasus kematian Alawy dan Denny masih diusut, pecah lagi tawuran di bundaran Pancoran, Jakarta Selatan. Kali ini pelakunya siswa SMK Bakti, Cawang, Jakarta Timur, dengan SMK 29 Penerbangan, Jakarta Selatan, Kamis (11/10).

Meski tak ada yang tewas, namun, Rizki Alfian (15) alias Pepen dan Jalal Muhammad Akbar (16)—keduanya siswa SMK Bakti Jakarta—luka berat. Polisi kemudian menetapkan enam tersangka dari siswa SMK 29. Lima hari berselang, 80 siswa SMK Bakti ingin membalas dendam kepada siswa-siswa SMK. Mereka membawa bom molotov, celurit, golok, gir, dan lainnya.

Rencana para siswa itu tercium petugas dan guru sehingga mereka digiring ke halaman Polres Jakarta Selatan. Dari 80 siswa, polisi kemudian menetapkan 12 siswa sebagai tersangka.

Di Bogor, juga terjadi tawuran yang menyebabkan tewasnya seorang pelajar, Agung (17). Polisi membekuk Ga (15), siswa SMP yang diduga terlibat penganiayaan dengan celurit hingga menyebabkan korban tewas.

Tawuran juga terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM), Sulawesi Selatan, Kamis (11/10) lalu. Buntut dari tawuran itu, dua orang mahasiswa UNM tewas. Kepolisian Resor Kota Besar Makassar menetapkan MAB (20) dan kakaknya, MA (21), sebagai tersangka. Korban tewas adalah Rizky Munandar, mahasiswa UNM, dan Haryanto, mantan mahasiswa UNM.

Perubahan kurikulum

Makin maraknya tawuran di dunia pendidikan ini tentu menambah berat beban kerja polisi yang sudah menggunung. Bagi aparat terdepan penegak hukum ini, fenomena tawuran pelajar yang makin deras juga membuat korps polisi ekstra hati-hati jangan sampai dijadikan kambing hitam dan dinilai tidak mampu menangani. Sementara itu, banyak sekali kasus lain yang juga harus mendapat prioritas.

Hal itu ditegaskan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S Radjab, Rabu lalu. ”Jangan hanya menyerahkan kepada polisi saja jika sudah terjadi tawuran. Tetapi, bagaimana pencegahannya dan pembinaannya justru di rumah dan di sekolah. Polisi sudah menangani. Ada teknik dan aturan hukum yang diterapkan terhadap siapa pun pelakunya. Namun, ada pertimbangan dan kebijakan lain, karena ini menyangkut anak di bawah umur,” papar Untung.

Sementara bagi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim, kasus tawuran sekarang ini menjadi momentum menata kembali kurikulum satuan pendidikan yang kini tengah dilakukan pemerintah. Penataan dilakukan dengan menyeimbangkan mata pelajaran pengetahuan, kemampuan, dan karakter atau sikap. ”Uji publiknya pada Februari 2013. Sekarang masih dikerjakan,” ujar Musliar saat ditanya Kompas di sela-sela pelatihan ESQ di Menara 165, Jakarta, pekan lalu.

Musliar mengakui, kurikulum yang berbasis kompetensi sekarang ini menyebabkan mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik dinilai sangat berlebihan. Akibatnya, siswa didik terbebani untuk belajar.

Selain itu, tambah Musliar, dengan penataan kurikulum, pelajaran akan ditekankan kembali pada pelajaran mengenai sikap dan budi pekerja, selain juga kemampuan dan pengetahuan.

Kepala Dinas Pendidikan DKI Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, untuk mencegah terjadinya tawuran, pihaknya tengah membangun simpul-simpul hubungan antarsekolah. Memang tak mudah, tapi tidak boleh bosan untuk membangun hal itu.

Terkait sanksi, Taufik menyatakan, sanksi yang pertama diarahkan kepada sekolah karena memiliki kewenangan dan otonomi. ”Jika terulang lagi, sekolah akan kami beri sanksi. Persoalannya, selama ini standar sekolah berbeda-beda menangani tawuran. Ini yang akan disamakan. Dari sanksi yang sudah dijalankan berupa teguran lisan, selanjutnya bisa menyangkut akreditasi sekolah.”

Menurut Taufik, setelah tahapan sanksi teguran, administratif, dan pidana berjalan, peninjauan akreditasi sekolah akan dilakukan.

Peran negara

Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, salah satu penyebab utama tawuran adalah adanya identitas dan tradisi turun-temurun. Ini terlihat dari pola tawuran yang biasa terjadi di antara dua atau lebih sekolah yang memendam ketegangan lama.

”Perselisihan yang menahun atau bahkan bertahan puluhan tahun itu terwariskan ke generasi selanjutnya dengan pewarisan sense of identity,” ujarnya.

Sebagai contoh, di salah satu sekolah yang sering tawuran di Jakarta, nyaris semua anaknya mengenal bagaimana cara menggunakan gesper sebagai senjata untuk menyerang lawannya. Jadi, ada tradisi kekerasan yang terwariskan dengan kuat secara turun-temurun.

”Di sekolah lain, saya pernah menemukan para alumninya membanggakan sekolahnya dulu berani menyerang sekolah-sekolah lainnya dan disegani karena ketangguhan fisiknya. Ini menunjukkan bahwa kekerasan menjadi cara membuktikan diri dan identitas,” ujar Devie.

Inilah yang menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi, sudah melebih batas-batas toleransi. Maka, kasus tawuran sungguh menyedihkan dan memprihatinkan semua pihak. Padahal, negara belum memiliki sistem untuk menangani tawuran yang terus-menerus terjadi dan meminta korban jiwa.

”Bukan hanya soal tewasnya siswa dan mahasiswa, tetapi juga tawuran yang terjadi di dunia pendidikan yang seharusnya mengedepankan kecerdasan dan intelektual. Oleh sebab itu, sekolah ramah anak harus menjadi solusi bagi penyelesaian kasus tawuran. Sekolah harus menjadi rumah besar di mana anak didik dan guru serta orangtua bersentuhan dan tak ada kekerasan apalagi diskriminasi. Sekolah yang menumbuh kembangkan dan mendengarkan pendapat anak,” kata Badriyah, Kamis (18/10).

Hal senada diperkuat Wakil Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh. Negara harus hadir untuk menghentikan kasus tawuran yang sudah keterlaluan itu. ”Hanya dengan sekolah ramah anak, kita harapkan tawuran diminimalisasi,” harapnya. (doe/ndy)

Sumber
Kompas Edukasi

Kurikulum Pendidikan Baru Tuntas Akhir 2012





BANDUNG, KOMPAS.com — Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Musliar Kasim menyebutkan, pembahasan dan penyusunan kurikulum pendidikan yang baru telah mencapai 25 persen dan dijadwalkan tuntas pada akhir 2012.
"Proses penyusunan kurikulum terus dilakukan, saat ini sudah mencapai 25 persen. Akhir 2012 dipastikan sudah rampung," kata Wamendikbud di sela-sela pembukaan TOT Pembentukan Karakter pada Guru dan Kepala Sekolah di Bandung, Minggu (21/10/2012).
Tahun depan sudah ada buku dan penataan di beberapa sektor sehingga bisa digulirkan pada tahun ajaran baru 2013.
Meski demikian, dalam prosesnya masih terus menyerap aspirasi dan masukan dari masyarakat, pakar, dan juga dari beberapa stakeholderpendidikan di Indonesia.
Salah satunya yang mendapat respons dari masyarakat adalah terkait penyederhanaan kurikulum, termasuk melakukan pemadatan pada mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
"Penyederhanaan kurikulum menjadi salah satu yang mendapat respons cukup signifikan, termasuk adanya pengurangan mata pelajaran seperti di tingkat SD," katanya.
Hal itu untuk merespons adanya pendapat yang menyebutkan bahwa anak dijejali banyak pelajaran sehingga dilakukan penyesuaian dalam kurikulum baru.
Musliar mencontohkan, dalam kurikulum baru untuk tingkat SD diwacanakan hanya ada enam mata pelajaran, yakni Agama, PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.
"IPA tidak ada, dalam kurikulum baru ilmu pengetahuan akan diintegrasikan dengan pelajaran lain, termasuk salah satunya ilmu bahasa dikemas dalam konteks yang lebih menarik," katanya.
Penjaskes juga diintegrasikan dengan penerapan nilai dan karakter, mendorong kerja keras dan cinta Tanah Air.
"Ini kesempatan menata kurikulum, jangan sampai ada istilah siswa terbebani. Mereka bersekolah, tetapi tetap bisa menikmati masa kanak-kanak," kata Musliar.
Dalam kurikulum baru, kata dia, peserta didik didorong untuk mengenali lingkungan sekitarnya dan potensi masing-masing.
Di sisi lain, kata Wamendikbud, model implementasinya juga masih akan dibahas kembali.
"Implementasinya belum disepakati, untuk tingkatan SD hingga perguruan tinggi, apakah ploting-nya di sekolah kabupaten atau provinsi. Masih akan disusun dan disepakati. Saya sendiri tidak sabar menunggu 2013, seperti apa sekolah-sekolah menerapkan kurikulum baru itu," kata Wamendikbud.

Sumber
Kompas Edukasi

Dikti Proses Penerima Bidik Misi PTS

SOLO (KRjogja.com) - Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih memproses penerima beasiswa bidik misi bagi mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS). Dari jatah 2000 mahasiswa yang akan mendapat bidik misi, sekarang baru ada 1600 nama. Jadi masih kurang 400 mahasiswa.

Hal tersebut dikatakan Direktur Pembelajaran & Kemahasiswaan Ditjen Dikti Dr Ir Illah Sailah MS. Menurutnya Dikti masih menunggu 165 perguruan tinggi yang tengah memproses nama mahasiswa yang akan mendapatkan bidik misi. Mahasiswa yang berhak menerima bidik misi yang kekurangan ekonomi, tapi memiliki prestasi akademik.

"Bantuan sosial akan langsung diserahkan mahasiswa penerima. Terdiri biaya hidup dan biaya pendidikan. Biaya hidup Rp 600 ribu setiap bulan, biaya pendidikan maksimum Rp 2,4 juta dikelola PT," jelas Dr Ir Illah Sailah MS.

Bidik misi PTS diperuntukkan bagi mahasiswa S1 dan D3. Untuk wilayah Jawa harus memiliki akreditasi A, sedangkan luar Jawa B. Program studi yang dipilih diprioritaskan yang dibutuhkan pembangunan nasional yakni keteknikan, kesehatan, pertanian, sain dan yang terkait dengan ekonomi.

"Sekarang kami masih menunggu data dari PTS. Karena bisa saja ada PTS yang tidak siap. PTS bisa saja nggak sanggup, kalau SPP di atas Rp 2,4 juta. Karena harus memberikan subsidi," jelasnya.

Dr Ir Illah Sailah MS mengatakan di atas seusai membuka Lokakarya Kurikulum dan Pameran DKV Indonesia Ekreaprener di Kusuma Sahid Hotel Solo, Sabtu. Dalam kesempatan itu ia mendorong agar para dosen program studi Desain Komunikasi Visual (DKV) harus bisa menjadi contoh sekaligus teladan bagi mahasiswanya. 

"Kalau mereka akan mendorong mahasiswa punya kreativitas yang bisa memberikan nilai tambah, para dosen DKV harus lebih dulu menunjukan," tambahnya. (Qom)
 
Sumber

Gita Wirjawan Minta M Nuh Tak Hapus Matematika

JAKARTA (KRjogja.com) - Menteri Perdagangan, Gita Wiryawan meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh untuk tidak menghapuskan mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris pada jenjang Sekolah Dasar (SD). Permintaan Gita tersebut disampaikan langsung di depan Mohammad Nuh saat kongres alumni Teknik Elektro ITS di Jakarta Sabtu (20/10).
Menurut Gita, dua mata pelajaran tadi penting untuk mendukung pencetakan generasi Indonesia yang siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain. “Mumpung belum diputuskan, saya berharap dua mata pelajaran tadi dipertahankan, terutama Matematika,” tegasnya.
Selain meminta Kemendikbud mempertimbangkan untuk tidak menghapus dua mata pelajaran tadi, Gita juga prihatin dengan sedikitnya SDM Indonesia yang lulus S3. Padahal bangsa ini menurutnya butuh 200 ribu lulusan S3 untuk mengembangkan informasi, komunikasi dan teknologi guna bersaing di dunia internasional ke depannya.
“Saat ini lulusan S3 hanya sekitar 20 ribu orang, jumlah tersebut jauh tertinggal dari beberapa negara di kawasan Asia Seperti China yaitu sekitar 100 ribu orang. Kita butuh saintis, ini perlu taktik total football, kita harus bisa bekerjasama semua," kata Gita.(Ati)
Sumber

Pemerhati Pendidikan: Potensi Kecerdasan Anak Itu Sama

MANADO, KOMPAS.com — Pemerhati pendidikan anak serta praktisi finger print analysis dan metode Glenn Doman, E Esthywati, mengatakan, pada dasarnya potensi kecerdasan anak adalah sama.
"Ada kecerdasan anak yang memang diturunkan dari faktor DNA. Tetapi, proses ibu mengandung dalam keadaan stres juga akan memengaruhi potensi kecerdasannya," kata Esthywati pada seminar "How to Be Smart Parents", di Manado, Minggu (21/10/2012).
Pada seminar yang menggali lebih dalam bagaimana mengoptimalkan potensi anak melalui metode Glenn Doman serta mengembangkan bakat anak melalui analisis sidik jari, dia mengatakan, untuk mengembangkan potensi pada anak maka harus ada stimulus untuk mengeluarkannya, seperti memberikan bahan ajar dengan metode tertentu.
Menurut dia, sifat-sifat dasar manusia ditampilkan dalam beragam tipe, di antaranya personal, keseimbangan, skill atau keahlian, serta emosional. Selain itu, kata dia, sifat dasar manusia juga dapat dilihat dari tanda khusus pada setiap jari manusia.
Jari kelingking, misalkan, berkaitan dengan kemampuan dalam melakukan adaptasi, sedangkan jari telunjuk berhubungan dengan kemampuan berpikir, mengeluarkan ide-ide, pemimpin, serta imajinatif. Sementara ibu jari berkaitan dengan kemampuan membangun hubungan dengan orang lain.
Sementara itu, ditambahkan Managing Director PT Glenn Doman Indonesia, Salord Sagala, anak berpotensi memiliki potensi luar biasa dan bisa melebihi Leonardo Da Vinci, sang pelukis Monalisa dan perancang dasar tank tempur, parasut, pesawat terbang, helikopter, serta temuan lainnya.
"Berpotensi erat kaitannya dengan upaya yang harus dilakukan sehingga potensi atau kecerdasan anak keluar atau muncul," ungkapnya.
Bahkan, menurut dia, semua anak adalah jenius, tetapi orang tua yang membuat anak tidak jenius pada enam tahun pertama.
"Sikap kita kadang kala membuat potensi anak tidak bisa tumbuh. Di antaranya kurang memberi perhatian. Ada kalanya orang tua marah atau bersikap keras. Keras boleh," kata Salord.
Sikap keras orang tua, menurut dia, boleh saja, tetapi lebih bijaksana apabila bersikap lembut dan memberi pengertian tentang segala sesuatu.

Sumber

Forkom Komite Sekolah Dibentuk

YOGYA (KRjogja.com) -  Ketua komite Sekolah SMP, baik negeri maupun swasta se Kota Yogyakarta yang difasilitasi Dewan Pendidikan Kota Yogyakarta, Jumat (28/9) lalu di SMP N 4 Yogyakarta secara bersama telah membentuk ‘Forum Komunikasi (Forkom) Komite Sekolah SMP Kota Yogyakarta’. 

Secara aklamasi juga telah terbentuk susunan pengurus dengan Drs Sumono Wibowo (Komite SMP N 4 Yogya) sebagai Ketua Umum, Drs Arry Soekowathy SH MHum MPar (Komite SMP N 14 Yogya) sebagai Ketua I serta MasharSyamsyudin Dipl Prod Eng (Komite SMP IT Masjid Syuhada Yogya) sebagai Ketua II.

Menurut Sumono, ada pandangan selama ini Komite Sekolah masih memakai pola stigmatis yang diwarisi BP3 atau POMG. Pandangan negatif tersebut timbul karena kebijakan, program dan kegiatan operasional Komite Sekolah belum mencerminkan dan memerankan fungsi Komite Sekolah sesungguhnya.

"Untuk itu forum ini terbentuk. Forum ini akan memberi dukungan pada sekolah dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Kami juga akan mewadahi, menyalurkan aspirasi masyarakat, meningkatkan tanggungjawab, serta
menciptakan suasana dan kondisi transparansi, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan,” pungkas Sumono,kemarin.(*)
 
Sumber