Akar Persoalan Tawuran Dari Juara Menjadi Tersangka

KOMPAS.com — Siapa yang menyangka, seorang juara di SMP kelak menjadi tersangka kasus pembunuhan di jenjang SMA. Kisah FR—yang dituduh membacok Alawy Yusianto Putra dalam tawuran antara SMA Negeri 6 dan SMAN 70 Bulungan, Jakarta, 24 September lalu—menunjukkan betapa rapuhnya kepribadian seorang remaja. 

FR yang berasal dari SMPN 12 Kebayoran Baru, Jakarta, semula dikenal sebagai anak pintar. Ia lulus dengan nilai evaluasi tahap akhir nasional (ebtanas) murni rata-rata 9 lebih sehingga masuk peringkat keempat di sekolahnya. Wajarlah jika ia kemudian bisa menembus SMAN 70 yang tergolong rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

”NEM saya 38,15. Matematika 90,25, IPA 100, Bahasa Inggris 90,5, dan Bahasa Indonesia 90,” kata FR, sebagaimana dikutip pengacaranya, Nazarudin Lubis, di Kepolisian Resor Jakarta Selatan, Selasa (16/10) siang lalu.

Salah seorang gurunya di SMPN 12, yang menolak disebut namanya, mengakui FR adalah anak yang taat beribadah. ”Ia sungguh-sungguh kalau mengikuti pelajaran agama,” katanya kepada Kompas, Rabu (17/10).

Pascaperistiwa pembunuhan Alawy dan Deni Yanuar, tersisa pertanyaan, apakah lingkungan sekolah telah ”mengubah” mereka?

Kalau menilik urutan kisah FR sebelum peristiwa tawuran, remaja berusia 19 tahun ini tak ubahnya seorang kakak yang berperhatian dan melindungi adik-adiknya. Hari itu, dengan mobil tua yang dimodifikasinya sendiri, dari rumahnya di kawasan Bintaro, FR mengantar seorang adik perempuan di kelas IX SMPN 12 dan adik perempuan lain di SMAN 6, sebelum ia sendiri mengikuti ujian tengah semester.

Sebagai anak ketiga dari enam bersaudara, FR memang diajarkan untuk bertanggung jawab mengurus adik-adiknya. Maklum, orangtuanya memiliki bisnis barang antik di Bali sehingga kadang kala tak bisa menemani anak-anak di Jakarta.

Namun, Nazarudin bersikukuh, keluarga FR adalah keluarga yang harmonis. ”Sebelum berangkat sekolah, FR dan adik-adiknya cium tangan,” kata mantan pengacara LBH Jakarta itu, yang juga menampik tuduhan bahwa FR dibesarkan tanpa bimbingan orangtua.

”Hari itu (Senin, 24/9, saat kejadian) saya tidak menjemput FR dan adiknya. Biasanya, setiap Jumat, saya selalu menjemput dan menjaganya karena tawuran selalu terjadi pada hari Jumat,” kata Yn saat mengunjungi FR di Polres Jakarta Selatan, Selasa, dan dikutip ulang oleh Nazarudin. Yn juga menegaskan, saat peristiwa tawuran tersebut terjadi, ia bersama suaminya berada di Jakarta.

Berubah emosional

Entah apa yang mengubah kepribadian FR sejak masuk bangku SMA. Yang jelas, catatan perilakunya menunjukkan ia pernah melukai siswa SMAN 6 saat terlibat tawuran dengan mereka, membuatnya bersama sejumlah teman sekolah ditahan dua pekan. Namun, perdamaian yang difasilitasi komite sekolah membuat laporan ke polisi ditarik kembali dan FR bisa bersekolah lagi.

FR juga pernah tidak naik kelas. Ia beralasan, kaki kirinya yang patah menghalanginya untuk bersekolah. Setahun kemudian, ia kembali tidak naik kelas.

Nazarudin mengakui, FR berubah menjadi pribadi yang keras dan mudah emosional jika ada rekannya yang diganggu, apalagi diserang siswa sekolah lain. ”Mungkin karena pengaruh aksi kekerasan (bullying) sejak kelas satu membuatnya seperti itu, selain tradisi seniornya,” kata Nazaruddin, mengutip FR yang sering mendapat hukuman atau ”ditindas” oleh kakak-kakak kelasnya.

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto. Dari hasil pemeriksaan terhadap FR dan rekan-rekannya, tawuran di SMAN 70 merupakan warisan dari para senior. SMAN 70 pada 1982 merupakan dua sekolah yang dijadikan satu, yaitu SMAN 9 dan SMAN 11. Kedua siswa sekolah yang bertetangga itu kerap berkelahi sehingga solusinya digabung menjadi satu menjadi SMAN 70.

”Sejak masuk ke SMAN 70, mereka ’dididik’ bahwa siswa SMAN 6 adalah musuhnya. Kami juga menemukan adanya dua geng warisan seniornya di SMAN 70, yaitu Balistik untuk kelas XI dan Gestapu untuk kelas XII,” ujar Rikwanto, dalam keterangan pers, awal Oktober lalu.

Intimidasi yang lemah

Menurut aktivis perdamaian yang mendirikan LSM Peace Generation, Irfan Amalee, bentuk-bentuk kekerasan dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah tak hanya terjadi di masyarakat, tetapi juga di sekolah. Itulah yang disebut bullying.

”Definisinya adalah penyalahgunaan kekuatan oleh seseorang atau kelompok untuk mengintimidasi yang lemah. Bully ini konsekuensi logis dari ketidakseimbangan sosial. Di setiap lingkungan, termasuk di sekolah, selalu ada siswa kuat, jagoan, lemah, dan pemalu. Jika kekuatan dan kelemahan ini tak diatur akan muncul penindas dan yang ditindas, dan juga penonton,” ujar Irfan, yang membuat modul perdamaian dan tengah mengambil master perdamaian di Boston, AS, Kamis (18/10).

Menurut dia, tiga kelompok —penindas, tertindas, dan penonton—itulah yang menjadi unsur utamabullying dan menjadi bibit kekerasan. ”Jumlah penonton biasanya lebih banyak daripada penindas dan yang ditindas. Akan tetapi, ketika penonton itu tak berbuat apa-apa, penindas akan terus menindas karena merasa mendapat persetujuan sosial. Yang ditindas akan terus ditindas,” katanya.

Namun, saat yang ditindas mendapat kesempatan menindas, mereka akan menjadi penindas baru. Sebagai alasan dendam, tradisi orientasi sekolah dengan kekerasan biasanya dilatarbelakangi motif ini.

Roby—sebut saja begitu—kini kelas XI SMAN 70, pernah dimaki-maki kakak kelasnya karena tidak potong rambut sampai dua sentimeter. Saat di kelas X, ia tak berani pergi ke Blok M, apalagi membawa sepeda motor.

Larangan itu diterapkan kakak kelasnya. Sekarang sebagai siswa kelas XI, ia wajib mencari dana untuk perpisahan kakak kelas XII. ”Minimal Rp 20 juta per kelas,” ujar Roby.

FR kini dituding sebagai pelaku tunggal tewasnya Alawy. Ia dibidik Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun. Belakangan, enam rekannya yang ikut tawuran juga dijadikan tersangka dengan merujuk Pasal 170 KUHP soal Pengeroyokan dan Pasal 351 soal Penganiayaan.

Apakah ancaman hukuman kurungan akan punya efek menjerakan? Tak ada yang bisa menjawab, karena tawuran di kalangan anak muda terdidik terus saja berulang. (doe)

Sumber
Kompas Edukasi 
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar