Tersebab oleh UN
KOMPAS.com — Siapakah
sesungguhnya pemegang kendali pembelajaran dalam sistem pendidikan di
negeri ini? Guru di sekolah, kurikulum pendidikan, ataukah para penentu
kebijakan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Buku-buku
teks yang memuat berbagai teori didaktik-metodik, yang tentu didukung
pengalaman empirik di berbagai belahan dunia, selalu menempatkan guru
sebagai simpul awal sekaligus akhir dari keberhasilan pencapaian tujuan
pendidikan. Kurikulum dan infrastruktur pendidikan memang penting,
tetapi ia hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Adapun penentu kebijakan
lebih dimaksudkan sebagai fasilitator untuk mendinamisasikan arah yang
ingin dituju.
Masalahnya, di negeri ini fungsi dan peran hakiki
guru sebagai pendidik sudah bergeser jauh. Di tengah rezim pendidikan
yang lebih mendewa hasil daripada proses, ditandai penyelenggaraan ujian
nasional (UN) sebagai penentu kelulusan, proses pembelajaran tak lagi
tertuju pada upaya pemahaman dan penguasaan materi ajar yang aplikatif
untuk menatap kehidupan di luar kelas. Apa yang disebut proses
belajar-mengajar kini lebih terfokus pada upaya bagaimana bisa keluar
sebagai pemenang, menaklukkan seperangkat model soal pilihan berganda
yang akan menjadi penentu kelanjutan masa depan persekolahan peserta
didik ke level berikutnya.
Fungsi guru sudah direduksi sedemikain
rupa dan lebih diposisikan sekadar sebagai pengajar. Model dan strategi
belajar pun penuh siasat, bagaikan sekompi pasukan tempur yang terjun
ke medan perang untuk menaklukkan musuh bersama bernama UN.
Latihan-latihan menyiasati model-model soal sudah jamak dilakukan.
Proses pengerdilan pun terjadi. Bahkan, di banyak tempat, sejumlah guru
menipu diri sendiri dengan ikut berbuat curang hanya agar anak didiknya
lolos dari jerat UN.
Hak dan tanggung jawab mereka sebagai
pendidik sudah tergerus kepentingan jangka pendek. Proses pembelajaran
tak lagi diorientasikan untuk mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan
anak. Ketika imajinasi disumbat, pendidikan pun kehilangan maknanya
sebagai bagian dari proses pembudayaan.
Dalam diskusi panel Kompas bersama
Lingkar Muda Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, 5 September 2012,
kegundahan itu kian meruyak. Sekolah diakui bukan lagi tempat yang
menggairahkan untuk berkreasi. Seorang guru peserta diskusi sampai pada
tahap ”putus asa” untuk terus berwacana, mengkritik, dan mengingatkan
para pengambil kebijakan bahwa ada yang tidak beres dengan pengelolaan
pendidikan saat ini. Terlebih menyangkut kebijakan UN, yang secara masif
sudah mengubah orientasi pembelajaran di sekolah.
”Anehnya,
ketika sekolah dikelompokkan jadi tiga kategori, ujian akhirnya hanya
satu, yakni UN. Apakah ini masuk akal untuk orang sehat?” kata peserta
lainnya. Tiga kategori dimaksud adalah sekolah reguler, sekolah standar
nasional (SSN), serta sekolah bertaraf internasional/rintisan sekolah
bertaraf internasional (SBI/RSBI).
UN yang membelenggu
Sudah
begitu banyak kata pengingat diucapkan, masukan disampaikan, bahkan
gugatan melalui pengadilan pun sudah dilayangkan. Namun, semua itu tak
didengar.
Putusan pengadilan yang memenangkan gugatan citizen lawsuit
oleh 58 warga negara terhadap keberadaan UN, yang antara lain
memerintahkan para tergugat—Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan
Nasional (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), serta Ketua
Badan Standardisasi Nasional Pendidikan—agar terlebih dahulu
”…meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah,
akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum
mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut… dan
meninjau kembali sistem pendidikan nasional”, juga tak digubris.
”Kalau
sistem pendidikan kita masih terus seperti ini, apakah mungkin kita
bisa membangun pendidikan yang memerdekakan? Menurut saya kita tak perlu
terlalu banyak lagi berwacana. Kita desak saja Menteri Pendidikan
supaya kembali ke jalan yang benar,” kata seorang guru peserta diskusi.
Guru
yang seharusnya jadi pemegang kendali pembelajaran di sekolah kini tak
lebih hanya alat dari rezim pendidikan yang mendewakan hasil ketimbang
pendidikan sebagai proses. Ketika keberhasilan anak diukur dari capaian
angka-angka; ketika proses pembelajaran sekadar instrumen untuk
memperoleh nilai tinggi; dan ketika kelulusan itu sendiri jadi penentu
masa depan peserta didik, maka kecederungan umum mengorientasikan
kegiatan belajar-mengajar pada pencapaian UN tak terelakkan.
Proses
pembelajaran yang seharusnya memberi tekanan pada aspek kreativitas,
pemecahan masalah, berdiskusi, presentasi dan riset—atau apa pun
istilahnya—terbatas, akhirnya terpinggirkan. Alih-alih melahirkan kerja
keras untuk menguasai materi ajar dalam rangka membangun pemahaman dan
pengaplikasian ilmu untuk kehidupan, yang terjadi justru mereka bekerja
keras terkait bagaimana menyelesaikan latihan-latihan soal. Kini UN
sudah jadi belenggu dalam sistem pendidikan di negeri ini, terutama
dalam upaya pengembangan potensi anak.
Persentase kelulusan
tinggi dengan nilai-nilai yang bagus, yang oleh pemegang kebijakan
serta-merta diklaim sebagai bukti mutu pendidikan kita meningkat berkat
UN, adalah kesimpulan yang naif. Fakta empirik justru menampakkan gejala
sebaliknya.
Masalah rutin
Lihatlah
pencapaian siswa Indonesia dalam Programme for International Student
Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh the Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD). Tes yang tak sekadar
mengukur kemampuan anak memahami mata pelajaran di sekolah, tetapi juga
bagaimana mereka mengaplikasikan pengetahuan itu untuk menyelesaikan
masalah-masalah di dunia nyata, menempatkan anak-anak Indonesia di
posisi ke-54-59 dari 65 negara pada 2006 . Pada 2009, tes kemampuan di
bidang membaca, sains, dan matematika itu tetap tak beranjak. ”Kalau
tidak di posisi ke-6, ya, paling tinggi ke-9 dari bawah di antara 65
negara,” kata salah seorang panelis.
Mengutip hasil kajian
Profesor Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika dari Institut Teknologi
Bandung, ternyata penyebab rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia
menyelesaikan soal- soal yang diberikan dalam PISA terkait erat dengan
pelaksanaan model pembelajaran kita di sekolah yang sangat dipengaruhi
target-target pencapaian UN. Tersebab oleh UN, proses pembelajaran pun
difokuskan pada kemampuan berpikir rutin, suatu kemampuan berpikir
tingkat rendah. Ini ditandai kecenderungan kuat pada peningkatan
intensitas belajar-mengajar lewat pembiasaan penyelesaian
latihan-latihan soal UN, di mana soal yang satu dengan yang lain
memiliki banyak kemiripan.
Hasilnya? Anak-anak Indonesia tidak
diajar bagaimana menyelesaikan masalah dengan kreativitas mereka. Jika
pembelajaran semacam ini terus berlanjut, anak-anak Indonesia tak akan
siap menghadapi tantangan abad ke-21 yang butuh dasar-dasar kemampuan
berpikir tingkat tinggi untuk memecahkan berbagai persoalan dunia nyata.
Sumber