PR Kita, Sekolah dan Kota yang Ramah Anak
JAKARTA, KOMPAS.com - Stop tawuran. Stop kekerasan di dunia pendidikan. Seruan ini sudah didengung-dengungkan dua pekan lamanya sejak tawuran antarpelajar kembali pecah di kawasan Bulungan, 24 September lalu. Yang terbaru, salah satu siswa SMP di Depok yang menjadi korban penculikan dan perkosaan malah mendapat sindiran keras dari pihak sekolah. Namun, seruan saja tak akan mampu memutus mata rantai kekerasan di sekolah tanpa ada upaya-upaya mendasar dalam pendidikan intelektual dan dan mental generasi muda.
Di luar tanggung jawab utama yang dimiliki oleh institusi keluarga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, mengatakan sekolah dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sekolah yang ramah anak dan kota layak anak.
Sekolah, tentu saja terdiri dari kepala sekolah, guru, pegawai sekolah dan para siswa, sementara masyarakat adalah lingkungan di luar rumah dan sekolah, termasuk pemerintah daerah dan aparat setempat.
"Perlindungan anak tetap dikedepankan, kita buat kota layak anak, semua pihak mulai dari keluarga RT, RW, Kabupaten kota, termasuk dengan sekolah ramah anak," ungkapnya ketika mengikuti upacara di SMA Negeri 6 Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sekolah bisa menjadi ramah bagi anak bila mampu menyediakan ruang bagi siswa untuk berkreasi dan menciptakan suasana yang kondusif bagi anak untuk belajar. Sama dengan pendidikan di rumah, nilai-nilai kasih sayang dalam penegakan disiplin harus tetap dijunjung.
"Harus ada kemauan dari kita semua. Di sekolah sudah harus punya sistem penegakan hukum yang benar ditegakkan. Tentu bukan dengan sistem algojo, tapi dengan kasih sayang, komunikasi yang terbuka, mengarahkan minat, dan tetap memberi panutan baik bagi anak-anak," tambahnya kemudian.
Sementara itu, sesuai program kementerian, sebuah kota bisa dikatakan layak untuk anak bila memenuhi lima aspek, yaitu disediakannya forum anak, adanya peraturan daerah yang menjamin perlindungan hak anak, serta ada kelembagaan, anggaran dan gugus tugas khusus untuk agenda ini.
Hormat sesama, cinta tanah air
Dengan sinergi antara orangtua, sekolah dan masyarakat, Linda yakin munculnya kekerasan pada anak dan remaja dapat berkurang. Akan makin efektif, jika ketiga elemen itu mengajarkan nilai mengasihi dan menghormati sesama serta rasa cinta tanah air.
Linda menilai, salah satu faktor utama yang menyebabkan generasi muda tidak lagi malu melakukan kekerasan dan ikut terlibat dalam tawuran adalah tipisnya rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air.
"Nomor satu itu itu cinta tanah air, semangat merah putih, sayang. Sudah itu aja. Kalau sudah cinta, kita semua akan malu kalau berbuat yang tidak baik untuk diri kita sendiri, sekolah, orangtua, dan bangsa ini," ujarnya.
Pemahaman akan makna upacara bendera, pembacaan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dan ikrar pelajar seharusnya bisa mengingatkan para pelajar akan semangat perjuangan kemerdekaan para pahlawan untuk mengaplikasikan semangat yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu upaya yang juga bisa ditempuh adalah berkunjung ke makam pahlawan.
Para pelajar juga didorong untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit dan fokus untuk meraihnya. Dengan demikian, tak akan ada tempat untuk kekerasan di sekolah.
Sumber