Pakar: RSBI membuat bahasa Indonesia kalah gengsi
Semarang (ANTARA News) - Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang lebih condong menggunakan bahasa Inggris turut membuat bahasa Indonesia kalah gengsi, kata pakar sosiolinguistik Prof Fathur Rokhman.
"Memang tidak semua. Namun, lihat saja papan nama untuk ruang-ruang di sekolah RSBI sekarang ini. Banyak yang memakai istilah bahasa Inggris, misalnya `library` (perpustakaan)," katanya, di Semarang, Rabu.
Hal itu diungkapkannya sebagai refleksi penggunaan bahasa Indonesia seiring momentum bulan bahasa yang ditetapkan setiap Oktober, seraya mengatakan bahasa Indonesia sebenarnya tidak kalah gengsi dengan bahasa lain.
Penggunaan bahasa Inggris semacam itu, kata dia, tidak sejalan dengan pengembangan kemampuan berbahasa Indonesia, dan semestinya mengapresiasi penggunaan dua bahasa dalam penamaan, baik Indonesia maupun Inggris.
Fathur yang juga Pembantu Rektor IV Universitas Negeri Semarang mengakui bukan berarti melarang seseorang untuk belajar bahasa asing, tetapi bahasa harus digunakan sesuai ranahnya masing-masing dengan tepat.
"RSBI memang memiliki visi bertaraf internasional. Namun, sebaiknya tetap mengapresiasi bahasa Indonesia. Memakai istilah Inggris boleh, tetapi harus ada Indonesianya, misalnya Library/Perpustakaan," katanya.
Secara sosiolinguistik, kata dia, sikap kebahasaan masyarakat Indonesia sekarang ini kian memprihatinkan dan mengalami pergeseran, sebab banyak orang lebih memilih menggunakan bahasa Inggris dibanding Indonesia.
"Praktik di masyarakat, misalnya, penjahit lebih memilih memakai istilah `Tailor`. Sebenarnya, artinya kan penjahit. Kenapa tidak memilih istilah `Penjahit`? Ini lebih karena gengsi memakai istilah asing," katanya.
Kecenderungan seperti itu, kata dia, mulai merambah instansi-instansi pemerintahan yang memilih menggunakan istilah asing dalam menggelar suatu kegiatan, padahal penamaan secara Indonesia bisa dilakukan.
"Parahnya, kecenderungan ini sudah sampai masyarakat tingkat bawah, misalnya pertemuan warga RT saja menggunakan istilah `gathering`. Kenapa tidak menggunakan istilah rapat, silaturahmi, dan sebagainya?," katanya.
Ia mengingatkan dulu sempat ada gerakan untuk mengubah papan-papan nama pertokoan dan sebagainya yang menggunakan istilah asing ke Indonesia, dan sekarang ini gerakan semacam itu perlu digalakkan kembali.
"Penggunaan bahasa memang berkaitan dengan loyalitas dan kecintaan terhadap tanah air. Ini memerlukan peran pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan untuk terus menggiatkan penanaman rasa nasionalisme," katanya.
"Memang tidak semua. Namun, lihat saja papan nama untuk ruang-ruang di sekolah RSBI sekarang ini. Banyak yang memakai istilah bahasa Inggris, misalnya `library` (perpustakaan)," katanya, di Semarang, Rabu.
Hal itu diungkapkannya sebagai refleksi penggunaan bahasa Indonesia seiring momentum bulan bahasa yang ditetapkan setiap Oktober, seraya mengatakan bahasa Indonesia sebenarnya tidak kalah gengsi dengan bahasa lain.
Penggunaan bahasa Inggris semacam itu, kata dia, tidak sejalan dengan pengembangan kemampuan berbahasa Indonesia, dan semestinya mengapresiasi penggunaan dua bahasa dalam penamaan, baik Indonesia maupun Inggris.
Fathur yang juga Pembantu Rektor IV Universitas Negeri Semarang mengakui bukan berarti melarang seseorang untuk belajar bahasa asing, tetapi bahasa harus digunakan sesuai ranahnya masing-masing dengan tepat.
"RSBI memang memiliki visi bertaraf internasional. Namun, sebaiknya tetap mengapresiasi bahasa Indonesia. Memakai istilah Inggris boleh, tetapi harus ada Indonesianya, misalnya Library/Perpustakaan," katanya.
Secara sosiolinguistik, kata dia, sikap kebahasaan masyarakat Indonesia sekarang ini kian memprihatinkan dan mengalami pergeseran, sebab banyak orang lebih memilih menggunakan bahasa Inggris dibanding Indonesia.
"Praktik di masyarakat, misalnya, penjahit lebih memilih memakai istilah `Tailor`. Sebenarnya, artinya kan penjahit. Kenapa tidak memilih istilah `Penjahit`? Ini lebih karena gengsi memakai istilah asing," katanya.
Kecenderungan seperti itu, kata dia, mulai merambah instansi-instansi pemerintahan yang memilih menggunakan istilah asing dalam menggelar suatu kegiatan, padahal penamaan secara Indonesia bisa dilakukan.
"Parahnya, kecenderungan ini sudah sampai masyarakat tingkat bawah, misalnya pertemuan warga RT saja menggunakan istilah `gathering`. Kenapa tidak menggunakan istilah rapat, silaturahmi, dan sebagainya?," katanya.
Ia mengingatkan dulu sempat ada gerakan untuk mengubah papan-papan nama pertokoan dan sebagainya yang menggunakan istilah asing ke Indonesia, dan sekarang ini gerakan semacam itu perlu digalakkan kembali.
"Penggunaan bahasa memang berkaitan dengan loyalitas dan kecintaan terhadap tanah air. Ini memerlukan peran pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan untuk terus menggiatkan penanaman rasa nasionalisme," katanya.
Sumber