Pakar: pembelajaran kimia di Indonesia kurang mendasar
Yogyakarta (ANTARA News) - Pembelajaran kimia di Indonesia sering kurang mendasar, karena untuk menjelaskan suatu fenomena kadang-kadang tidak tepat, bahkan bisa salah konsep, kata pakar pendidikan dari Universitas Negeri Malang Effendi.
"Pembelajaran kimia baik di sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA) tidak luput dari kesalahan konsep. Misalnya pada bahan ajar di SMA dalam pembahasan penurunan tekanan uap," katanya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sabtu.
Selain itu, menurut dia pada seminar kimia yang diselenggarakan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UNY, pembelajaran kimia juga kurang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam tata nama.
"Hal itu disebabkan banyak buku memberikan rumus tetapi tidak ada nama. Guru yang mengajar rumus juga tidak memberikan nama sehingga siswa setelah selesai pembelajaran mengetahui rumus tetapi tidak mengetahui nama," katanya.
Sementara itu, Mahindra Drajat dari Departemen Proses dan Pengelolaan Energi PT Petrokimia Gresik mengatakan, industri kimia sebagai penyedia kebutuhan manusia ikut menyumbang dan menciptakan kerusakan lingkungan.
"Masalah lingkungan seperti pemanasan global serta pencemaran air dan tanah menjadi masalah serius yang harus segera ditangani," katanya.
Menurut dia, banyak anggapan yang menyatakan bahwa industri berbasis ramah lingkungan biaya operasinya sangat mahal. Namun, jika melihat dari sisi yang lain akan terlihat bahwa industri berbasis ramah lingkungan merupakan investasi untuk kegiatan industri itu sendiri.
"Adanya pengelolaan limbah yang baik merupakan implementasi bahwa perusahaan telah ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan yang telah di eksploitasinya," katanya.
Ia mengatakan terkait adanya "Green Industry" yang ramah lingkungan, berbagai teknologi proses telah dikembangkan oleh industri kimia untuk mengolah limbah yang pada asalnya tidak bernilai jual menjadi produk yang bernilai jual.
"Contohnya pabrik asam phosphat yang dimiliki PT Petrokimia Grasik menghasilkan beberapa hasil samping berupa slude yang sebelumnya tidak bermanfaat," katanya.
(B015*H010/M008)
"Pembelajaran kimia baik di sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA) tidak luput dari kesalahan konsep. Misalnya pada bahan ajar di SMA dalam pembahasan penurunan tekanan uap," katanya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sabtu.
Selain itu, menurut dia pada seminar kimia yang diselenggarakan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UNY, pembelajaran kimia juga kurang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam tata nama.
"Hal itu disebabkan banyak buku memberikan rumus tetapi tidak ada nama. Guru yang mengajar rumus juga tidak memberikan nama sehingga siswa setelah selesai pembelajaran mengetahui rumus tetapi tidak mengetahui nama," katanya.
Sementara itu, Mahindra Drajat dari Departemen Proses dan Pengelolaan Energi PT Petrokimia Gresik mengatakan, industri kimia sebagai penyedia kebutuhan manusia ikut menyumbang dan menciptakan kerusakan lingkungan.
"Masalah lingkungan seperti pemanasan global serta pencemaran air dan tanah menjadi masalah serius yang harus segera ditangani," katanya.
Menurut dia, banyak anggapan yang menyatakan bahwa industri berbasis ramah lingkungan biaya operasinya sangat mahal. Namun, jika melihat dari sisi yang lain akan terlihat bahwa industri berbasis ramah lingkungan merupakan investasi untuk kegiatan industri itu sendiri.
"Adanya pengelolaan limbah yang baik merupakan implementasi bahwa perusahaan telah ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan yang telah di eksploitasinya," katanya.
Ia mengatakan terkait adanya "Green Industry" yang ramah lingkungan, berbagai teknologi proses telah dikembangkan oleh industri kimia untuk mengolah limbah yang pada asalnya tidak bernilai jual menjadi produk yang bernilai jual.
"Contohnya pabrik asam phosphat yang dimiliki PT Petrokimia Grasik menghasilkan beberapa hasil samping berupa slude yang sebelumnya tidak bermanfaat," katanya.
(B015*H010/M008)
Sumber