ICW Minta MK Percepat Putusan RSBI
JAKARTA, KOMPAS.com — Setelah pernah meminta kejelasan terkait kasus sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), Indonesia Corruption Watch (ICW) akhirnya mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan percepatan putusan kasus RSBI. Pasalnya, perkara RSBI ini telah berjalan selama setahun sejak diajukan.
Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri, mengatakan bahwa pihaknya telah mengajukan masalah RSBI ini sejak Desember 2011. Sementara itu, pembacaan kesimpulan dari proses sidang yang telah berjalan sudah dilakukan pada Juni lalu. Namun, keputusan dihapuskan atau keberadaan RSBI ini tidak kunjung ada.
"Padahal, banyak perkara yang diajukan pada saat yang sama, dan keputusannya telah dikeluarkan oleh MK," kata Febri saat dijumpai di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (30/10/2012).
Dalam kesempatan ini, ia mengutip paragraf ketujuh penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang dijalankan MK harus dijalankan dengan sederhana dan cepat. Hal ini jelas mengharuskan MK cepat dalam menjalankan proses dan memutuskan kasus.
"MK harus segera memutus perkara ini. Jika MK tidak memenuhinya, maka kami akan mengajukan sengketa pada Komisi Informasi Pusat," ungkap Febri.
Uniknya, ICW membawa surat raksasa yang berisi permohonan percepatan putusan masalah RSBI yang kemudian kali ini diserahkan kepada MK. Selain itu, ICW juga membawa surat dengan isi serupa yang berasal dari Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI).
"Sengaja kami berikan yang besar agar terlihat. Untuk putusan, kami hormati apa pun itu. Tapi jika tidak kabulkan, langkah selanjutnya kami masih belum tahu," ujar Febri.
Seperti diketahui, materi yang digugat adalah Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini telah menjadi dasar hukum penyelenggaraan 1300-an sekolah berlabel RSBI. Keberadaan RSBI ini dinilai telah mendiskriminasi warga negara miskin dan tidak sesuai dengan UUD 1945. Jika pembatalan pasal ini dikabulkan, maka status RSBI harus dihapus dan penyelenggaraan satuan pendidikan berkurikulum internasional juga dilarang.
Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri, mengatakan bahwa pihaknya telah mengajukan masalah RSBI ini sejak Desember 2011. Sementara itu, pembacaan kesimpulan dari proses sidang yang telah berjalan sudah dilakukan pada Juni lalu. Namun, keputusan dihapuskan atau keberadaan RSBI ini tidak kunjung ada.
"Padahal, banyak perkara yang diajukan pada saat yang sama, dan keputusannya telah dikeluarkan oleh MK," kata Febri saat dijumpai di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (30/10/2012).
Dalam kesempatan ini, ia mengutip paragraf ketujuh penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang dijalankan MK harus dijalankan dengan sederhana dan cepat. Hal ini jelas mengharuskan MK cepat dalam menjalankan proses dan memutuskan kasus.
"MK harus segera memutus perkara ini. Jika MK tidak memenuhinya, maka kami akan mengajukan sengketa pada Komisi Informasi Pusat," ungkap Febri.
Uniknya, ICW membawa surat raksasa yang berisi permohonan percepatan putusan masalah RSBI yang kemudian kali ini diserahkan kepada MK. Selain itu, ICW juga membawa surat dengan isi serupa yang berasal dari Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI).
"Sengaja kami berikan yang besar agar terlihat. Untuk putusan, kami hormati apa pun itu. Tapi jika tidak kabulkan, langkah selanjutnya kami masih belum tahu," ujar Febri.
Seperti diketahui, materi yang digugat adalah Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini telah menjadi dasar hukum penyelenggaraan 1300-an sekolah berlabel RSBI. Keberadaan RSBI ini dinilai telah mendiskriminasi warga negara miskin dan tidak sesuai dengan UUD 1945. Jika pembatalan pasal ini dikabulkan, maka status RSBI harus dihapus dan penyelenggaraan satuan pendidikan berkurikulum internasional juga dilarang.
Sumber