Opini Wapres dan Gagasan Kuliah "Online"
Oleh Budi Widianarko
KOMPAS.com - Dalam pembukaan Konvensi Kampus Ke-9 dan Temu Tahunan Ke-15 Forum Rektor Indonesia di Semarang, Januari lalu, Wakil Presiden Boediono mengangkat sebuah gagasan yang layak dikaji oleh kalangan pendidikan tinggi di negeri ini.
Demi meningkatkan mutu dan daya saing di ranah internasional, Wapres Boediono menyarankan agar perguruan tinggi Indonesia memanfaatkan mata kuliah online yang banyak tersedia saat ini. Menurut Wapres, ”Materi dan proses pengajaran itu umumnya disusun dan diolah oleh pendidik dan pengajar dari lembaga-lembaga pendidikan ternama di dunia di luar negeri. Oleh karena itu, standarnya dijamin memenuhi standar internasional.”
Gagasan Wapres terkesan menjanjikan. Alih-alih menunggu tersedianya dosen bermutu nan mumpuni di kampus-kampus seluruh Nusantara, mengapa kita tidak langsung saja ”mengudap” hasil ramuan para pengajar hebat dari kampus-kampus ternama di luar negeri.
Bisnis pendidikan tinggi
Wapres rupanya terpikat tawaran Massive Open Online Courses (MOOCs), sebuah wabah yang sedang melanda bisnis pendidikan tinggi internasional, terutama di Amerika Serikat. Apalagi, saat ini MOOCs umumnya tersedia secara prodeo. Para penyedia MOOCs, seperti Coursera, Audacity, EdX, MITx, dan Khan Institute, masih membebaskan bea bagi para pengguna jasa kuliah online mereka.
Pembebasan bea tadi tentu tak selamanya. Penyedia MOOCs sudah merancang langkah-langkah taktis untuk meraup penghasilan. Peter Lange, provost salah satu universitas mitra Coursera—Duke University—dengan optimistis menyatakan, ”Kami akan menghasilkan uang ketika Coursera menghasilkan uang. Saya pikir hal itu akan terjadi tidak lama lagi. Kita tak ingin mengulang kesalahan industri surat kabar yang menggratiskan produk online mereka terlalu lama.” (Jakarta Post, 8/1).
Coursera, yang dibangun dua profesor ilmu komputer di Stanford University, Daphne Koller dan Andrew Ng, telah menyiapkan strategi untuk mendapatkan aliran uang masuk. Coursera merancang penarikan biaya dari: (1) sertifikasi (sertifikat kelulusan peserta); (2) rekrutmen karyawan (akses terhadap data nilai dan prestasi peserta); (3) tutorial tatap muka dan penilaian; (4) sponsor; (5) uang kuliah; dan (6) penjualan platform MOOCs kepada lembaga penyelenggara kuliah. Butir yang terakhir rupanya telah punya pasar. Disadari atau tidak, solusi ala Wapres itulah yang justru ditunggu-tunggu para penyedia MOOCs.
Dengan keleluasaan finansial yang dimiliki, kiranya tidak sulit bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membeli platform MOOCs dan memberikan akses kepada perguruan tinggi. Namun, solusi yang disarankan Wapres harus dipertanyakan secara kritis. Perlu disadari, dalam pengembangan mutu pendidikan tinggi tidak ada resep yang instan dan mujarab.
Konsep MOOCs sendiri masih sarat kontroversi. Pada awal peluncurannya, portal MOOCs berhasil memikat begitu banyak peminat; melampaui sukses jejaring sosial Facebook dan Twitter. Hingga Desember 2012, pendaftar kuliah Coursera telah mencapai lebih dari dua juta. Setiap minggu, ada 70.000 pendaftar untuk 200 mata kuliah yang ditawarkan. Hanya dalam waktu empat bulan sejak diluncurkan, Coursera mampu menggandeng 33 universitas mitra dalam pengembangan bahan kuliah, dan mampu menarik modal ventura sebesar 16 juta dollar AS.
Istilah MOOCs diangkat pertama kali oleh Dave Cormier dan Bryan Alexander untuk menyebut perkuliahan online tentang ”Connectivism and Connective Knowledge” oleh George Siemens dan Stephen Downes di Universitas Manitoba, Kanada. Kuliah online dalam platform MOOCs adalah rekaman video perkuliahan biasa yang dipilah dalam segmen 15 menit.
Setiap minggu, peserta mendapat semacam ujian dengan soal pilihan ganda. Ujian ini dirancang untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah (algoritme), bukan penguasaan konsep. Setelah mengerjakan soal, peserta kuliah tak mendapatkan umpan balik apa pun kecuali nilai. Dalam telaahnya atas sejumlah institusi peserta Coursera, Amstrong (2012) menengarai kurangnya keterlibatan ahli pedagogi dalam pengembangan mata kuliah online yang mereka tawarkan.
Dalam konteks daya saing, praksis penggunaan MOOCs justru berpotensi mereduksi makna dan menurunkan mutu pendidikan tinggi, serta mengancam kebebasan akademik. Penggunaan MOOCs di kampus-kampus kita sejatinya mereduksi kegiatan pengajaran jadi sekadar usaha waralaba. Kampus hanya jadi pembeli lisensi paket pengajaran dari pihak pengembang MOOCs. Kalaupun nanti tersedia MOOCs versi Indonesia dan gratis, risiko yang mengadang sama saja.
Anjuran penggunaan MOOCs sebenarnya berisiko menggerus kebebasan akademik. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan kebebasan akademik ”Merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma” (ayat 2).
Dalam kebebasan akademik melekat otonomi keilmuan, yaitu ”..Otonomi sivitas akademika pada suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik” (ayat 3). Jadi, setiap dosen justru harus mengembangkan bahan perkuliahannya sendiri, bukan hanya mengasongkan paket perkuliahan yang disusun dan dikemas dosen lain.
Tentu saja dalam mengembangkannya sang dosen selayaknya didorong memanfaatkan kekayaan sumber ilmu, baik konvensional maupun online, termasuk melongok isi MOOCs. Namun, sekali lagi, bukan sekadar mencomot dan menggunakan modul yang sudah tersedia.
Sekadar ”sopir tembak”
Dalam ranah praktis, penggunaan MOOCs justru dapat menjerumuskan para dosen jadi sekadar ”sopir tembak”. Hal ini tentu saja bertabrakan langsung dengan rumusan tugas dosen dalam Pasal 12 UU No 12/2012.
Dua ayat pertama dalam pasal itu menegaskan bahwa dosen (1) sebagai anggota sivitas akademika bertugas mentransformasikan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang dikuasainya kepada mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran sehingga mahasiswa aktif mengembangkan potensinya, dan (2) sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya.
Artinya, para dosen harus berupaya keras dan terus mengembangkan ilmu dan menularkannya kepada mahasiswa melalui proses belajar-mengajar yang interaktif dalam rumah universitas magistrorum et scholarium. Jalan terjal masih harus dilalui untuk mengatasi keterbatasan sumber daya dosen kompeten dan mumpuni yang banyak diidap perguruan tinggi kita saat ini. Dalam dunia pendidikan, jalan pintas memang tidak pernah ada.
Budi Widianarko Rektor Unika Soegijapranata
Sumber
Kompas Edukasi
KOMPAS.com - Dalam pembukaan Konvensi Kampus Ke-9 dan Temu Tahunan Ke-15 Forum Rektor Indonesia di Semarang, Januari lalu, Wakil Presiden Boediono mengangkat sebuah gagasan yang layak dikaji oleh kalangan pendidikan tinggi di negeri ini.
Demi meningkatkan mutu dan daya saing di ranah internasional, Wapres Boediono menyarankan agar perguruan tinggi Indonesia memanfaatkan mata kuliah online yang banyak tersedia saat ini. Menurut Wapres, ”Materi dan proses pengajaran itu umumnya disusun dan diolah oleh pendidik dan pengajar dari lembaga-lembaga pendidikan ternama di dunia di luar negeri. Oleh karena itu, standarnya dijamin memenuhi standar internasional.”
Gagasan Wapres terkesan menjanjikan. Alih-alih menunggu tersedianya dosen bermutu nan mumpuni di kampus-kampus seluruh Nusantara, mengapa kita tidak langsung saja ”mengudap” hasil ramuan para pengajar hebat dari kampus-kampus ternama di luar negeri.
Bisnis pendidikan tinggi
Wapres rupanya terpikat tawaran Massive Open Online Courses (MOOCs), sebuah wabah yang sedang melanda bisnis pendidikan tinggi internasional, terutama di Amerika Serikat. Apalagi, saat ini MOOCs umumnya tersedia secara prodeo. Para penyedia MOOCs, seperti Coursera, Audacity, EdX, MITx, dan Khan Institute, masih membebaskan bea bagi para pengguna jasa kuliah online mereka.
Pembebasan bea tadi tentu tak selamanya. Penyedia MOOCs sudah merancang langkah-langkah taktis untuk meraup penghasilan. Peter Lange, provost salah satu universitas mitra Coursera—Duke University—dengan optimistis menyatakan, ”Kami akan menghasilkan uang ketika Coursera menghasilkan uang. Saya pikir hal itu akan terjadi tidak lama lagi. Kita tak ingin mengulang kesalahan industri surat kabar yang menggratiskan produk online mereka terlalu lama.” (Jakarta Post, 8/1).
Coursera, yang dibangun dua profesor ilmu komputer di Stanford University, Daphne Koller dan Andrew Ng, telah menyiapkan strategi untuk mendapatkan aliran uang masuk. Coursera merancang penarikan biaya dari: (1) sertifikasi (sertifikat kelulusan peserta); (2) rekrutmen karyawan (akses terhadap data nilai dan prestasi peserta); (3) tutorial tatap muka dan penilaian; (4) sponsor; (5) uang kuliah; dan (6) penjualan platform MOOCs kepada lembaga penyelenggara kuliah. Butir yang terakhir rupanya telah punya pasar. Disadari atau tidak, solusi ala Wapres itulah yang justru ditunggu-tunggu para penyedia MOOCs.
Dengan keleluasaan finansial yang dimiliki, kiranya tidak sulit bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membeli platform MOOCs dan memberikan akses kepada perguruan tinggi. Namun, solusi yang disarankan Wapres harus dipertanyakan secara kritis. Perlu disadari, dalam pengembangan mutu pendidikan tinggi tidak ada resep yang instan dan mujarab.
Konsep MOOCs sendiri masih sarat kontroversi. Pada awal peluncurannya, portal MOOCs berhasil memikat begitu banyak peminat; melampaui sukses jejaring sosial Facebook dan Twitter. Hingga Desember 2012, pendaftar kuliah Coursera telah mencapai lebih dari dua juta. Setiap minggu, ada 70.000 pendaftar untuk 200 mata kuliah yang ditawarkan. Hanya dalam waktu empat bulan sejak diluncurkan, Coursera mampu menggandeng 33 universitas mitra dalam pengembangan bahan kuliah, dan mampu menarik modal ventura sebesar 16 juta dollar AS.
Istilah MOOCs diangkat pertama kali oleh Dave Cormier dan Bryan Alexander untuk menyebut perkuliahan online tentang ”Connectivism and Connective Knowledge” oleh George Siemens dan Stephen Downes di Universitas Manitoba, Kanada. Kuliah online dalam platform MOOCs adalah rekaman video perkuliahan biasa yang dipilah dalam segmen 15 menit.
Setiap minggu, peserta mendapat semacam ujian dengan soal pilihan ganda. Ujian ini dirancang untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah (algoritme), bukan penguasaan konsep. Setelah mengerjakan soal, peserta kuliah tak mendapatkan umpan balik apa pun kecuali nilai. Dalam telaahnya atas sejumlah institusi peserta Coursera, Amstrong (2012) menengarai kurangnya keterlibatan ahli pedagogi dalam pengembangan mata kuliah online yang mereka tawarkan.
Dalam konteks daya saing, praksis penggunaan MOOCs justru berpotensi mereduksi makna dan menurunkan mutu pendidikan tinggi, serta mengancam kebebasan akademik. Penggunaan MOOCs di kampus-kampus kita sejatinya mereduksi kegiatan pengajaran jadi sekadar usaha waralaba. Kampus hanya jadi pembeli lisensi paket pengajaran dari pihak pengembang MOOCs. Kalaupun nanti tersedia MOOCs versi Indonesia dan gratis, risiko yang mengadang sama saja.
Anjuran penggunaan MOOCs sebenarnya berisiko menggerus kebebasan akademik. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan kebebasan akademik ”Merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma” (ayat 2).
Dalam kebebasan akademik melekat otonomi keilmuan, yaitu ”..Otonomi sivitas akademika pada suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi dalam menemukan, mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik” (ayat 3). Jadi, setiap dosen justru harus mengembangkan bahan perkuliahannya sendiri, bukan hanya mengasongkan paket perkuliahan yang disusun dan dikemas dosen lain.
Tentu saja dalam mengembangkannya sang dosen selayaknya didorong memanfaatkan kekayaan sumber ilmu, baik konvensional maupun online, termasuk melongok isi MOOCs. Namun, sekali lagi, bukan sekadar mencomot dan menggunakan modul yang sudah tersedia.
Sekadar ”sopir tembak”
Dalam ranah praktis, penggunaan MOOCs justru dapat menjerumuskan para dosen jadi sekadar ”sopir tembak”. Hal ini tentu saja bertabrakan langsung dengan rumusan tugas dosen dalam Pasal 12 UU No 12/2012.
Dua ayat pertama dalam pasal itu menegaskan bahwa dosen (1) sebagai anggota sivitas akademika bertugas mentransformasikan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang dikuasainya kepada mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran sehingga mahasiswa aktif mengembangkan potensinya, dan (2) sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya.
Artinya, para dosen harus berupaya keras dan terus mengembangkan ilmu dan menularkannya kepada mahasiswa melalui proses belajar-mengajar yang interaktif dalam rumah universitas magistrorum et scholarium. Jalan terjal masih harus dilalui untuk mengatasi keterbatasan sumber daya dosen kompeten dan mumpuni yang banyak diidap perguruan tinggi kita saat ini. Dalam dunia pendidikan, jalan pintas memang tidak pernah ada.
Budi Widianarko Rektor Unika Soegijapranata
Sumber
Kompas Edukasi