Ramai-ramai Les Pelajaran
KOMPAS.com - Mayoritas siswa SMA menambah kegiatannya dengan les atau kursus. Herannya, les yang umumnya mereka lakukan itu adalah les mata pelajaran di sekolah, bukan les bermusik, menari, berolahraga, atau menggambar misalnya.
Lho sudah seharian belajar di sekolah, buat apa les lagi? Itu anehnya. Hasil survei Litbang Kompas pada November lalu antara lain menunjukkan, 87,8 persen dari 770 responden menyatakan pelajar perlu ikut bimbingan belajar atau bimbel di luar sekolah. Bimbel diperlukan terutama untuk menambah pemahaman mereka pada materi pelajaran.
Tujuan itu sesuai dengan alasan Yohana Christina Vidianasita dan Hasyim Rizky Isfandari, yang antara lain menyebut les untuk mendalami materi pelajaran.
”Ada guru yang kalau menjelaskan agak sulit kami mengerti, mau bertanya malas. Ya aku pilih mencari les saja,” kata Yohana, siswi kelas XII SMA Tarakanita, Citra Raya, Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten.
Ia memilih tempat les di dekat sekolah. Usai sekolah ia les setiap hari, kecuali Minggu, untuk belajar Matematika, Fisika, Kimia dan Bahasa Inggris, selama dua jam. Yohana tak sendiri, ada temannya yang juga les di tempat itu dengan biaya Rp 500.000 per bulan.
”Suasana belajar di tempat les lebih enak, gurunya menerangkan mata pelajaran dengan jelas. Kalau aku belum mengerti bisa bertanya sampai benar-benar paham,” lanjut cewek yang mengambil jurusan IPA itu.
Menjelang ujian nasional, ada tambahan pelajaran di sekolah. Namun bagi sebagian siswa, tambahan pelajaran selama 1, 5 jam itu pun masih kurang. ”Kebanyakan hanya teori, membahas soalnya jarang,” katanya.
Sementara Hasyim yang merasa kurang menguasai materi pelajaran, memilih bimbel. ”Sekalian saja, gue pengin dapat banyak latihan soal berikut pembahasannya untuk persiapan tes masuk perguruan tinggi negeri,” ujar siswa kelas XII IPS SMAN 28 Jakarta itu. Untuk bimbel selama sekitar 11 bulan, ia membayar sekitar Rp 6 juta, atau Rp 545.000 per bulan.
Kualitas guru
Lebih dari separuh responden mengaku bimbel diperlukan karena materi pelajaran yang diberikan di sekolah tak cukup dimengerti. Pemahaman anak yang kurang terhadap mata pelajaran tertentu, dikhawatirkan membuat nilainya tak mencapai standar. Kurangnya pemahaman itu terjadi antara lain karena kurangnya waktu belajar atau guru kurang berkompeten.
Soal kemampuan guru, sebagian responden (47,9 persen) menyatakan cukup memadai, 20,3 persen responden menilai kemampuan guru biasa saja, dan 29,3 persen responden bilang kemampuan guru kurang memadai.
Dalam polling itu, responden mengeluhkan kualitas guru dan kurikulum. Mereka menyatakan dua hal itu sebagai problem pendidikan nasional.
Satu dari lima responden mengatakan, kualitas pendidik masih bermasalah baik di tingkat pendidikan maupun cara mengajar. Teknik mengajar guru yang didominasi metode ceramah, membuat siswa kurang terstimulasi untuk mengembangkan pengetahuannya.
Kualitas guru yang diragukan responden juga tercermin dari pendapat mereka tentang kemampuan bimbel membantu siswa lulus ujian nasional. Separuh dari responden yakin, keikutsertaan di bimbel akan membuat siswa mampu menjawab soal ujian nasional dengan mudah.
Kesimpulan dari pendapat itu adalah ketidakmampuan guru di sekolah dalam memberi materi yang mudah dimengerti siswa. Responden lebih percaya pada pengajar bimbel.
Keraguan mereka atas kemampuan sebagian guru itu diakui J Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto, Yogyakarta. ”Banyak guru terperangkap pada materi pelajaran yang termuat dalam kurikulum. Materi pelajaran yang harus ia berikan kepada siswa banyak sekali,” tuturnya.
Situasi tersebut ditambah metode atau gaya mengajar guru yang menyamaratakan kemampuan semua siswa, mengakibatkan siswa bosan.
Menurut Sumardianta, guru harus mengubah cara mengajar. Guru harus kreatif, inovatif, dan inspiratif bagi siswa sehingga siswa termotivasi mempelajari ilmu yang diajarkan. Sebagai pengajar Sosiologi, ia tak memakai teks buku mata pelajaran dari penerbit.
”Saya membuat modul Sosiologi untuk kelas X menjadi 21 lembar. Itu pun untuk dua semester, yang penting teori esensial masuk di modul,” kata guru yang sering menulis artikel di media massa itu.
Ia memberi tugas siswa mencari data berkait Sosiologi yang dipelajari lewat berbagai sumber, misalnya dari novel. Salah satu novel yang wajib dibaca siswanya berjudul The City of Joy karya Dominique Lapierre.
Siswa dibagi dalam kelompok. Mereka mendiskusikan isi buku dan mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Bahan itu juga diujikan untuk ulangan. ”Cara itu tak monoton dan membuat siswa ingin tahu, lalu paham esensi pelajaran saya,” katanya.
Mengenai fenomena siswa ikut bimbel, Sumardianta berpendapat bisa dipahami. Meski menurut dia, bimbel tak harus diikuti sampai setahun. ”Siswa kami juga ada yang ikut bimbel. Umumnya mereka lakukan itu untuk tes masuk perguruan tinggi negeri.”
Teman sebaya
Untuk mengatasi siswa yang kurang memahami mata pelajaran di sekolah, SMA Kolese de Britto menerapkan tutorial dengan teman sebaya. Siswa yang pintar dalam mata pelajaran terkait membantu teman yang kurang paham. Tutorial diadakan setelah pembelajaran guru selesai.
”Program tutorial teman sebaya sudah menjadi tradisi di sini. Mereka yang punya kelebihan, wajib membantu teman yang perlu bantuan dalam memahami pelajaran,” kata Sumardianta. Tutorial tak harus dilakukan di kelas, tetapi bisa di kantin atau gazebo sekolah. (PALUPI PANCA ASTUTI/Litbang Kompas/ SOELASTRI SOEKIRNO)
Sumber
Kompas Edukasi
Lho sudah seharian belajar di sekolah, buat apa les lagi? Itu anehnya. Hasil survei Litbang Kompas pada November lalu antara lain menunjukkan, 87,8 persen dari 770 responden menyatakan pelajar perlu ikut bimbingan belajar atau bimbel di luar sekolah. Bimbel diperlukan terutama untuk menambah pemahaman mereka pada materi pelajaran.
Tujuan itu sesuai dengan alasan Yohana Christina Vidianasita dan Hasyim Rizky Isfandari, yang antara lain menyebut les untuk mendalami materi pelajaran.
”Ada guru yang kalau menjelaskan agak sulit kami mengerti, mau bertanya malas. Ya aku pilih mencari les saja,” kata Yohana, siswi kelas XII SMA Tarakanita, Citra Raya, Cikupa, Kabupaten Tangerang, Banten.
Ia memilih tempat les di dekat sekolah. Usai sekolah ia les setiap hari, kecuali Minggu, untuk belajar Matematika, Fisika, Kimia dan Bahasa Inggris, selama dua jam. Yohana tak sendiri, ada temannya yang juga les di tempat itu dengan biaya Rp 500.000 per bulan.
”Suasana belajar di tempat les lebih enak, gurunya menerangkan mata pelajaran dengan jelas. Kalau aku belum mengerti bisa bertanya sampai benar-benar paham,” lanjut cewek yang mengambil jurusan IPA itu.
Menjelang ujian nasional, ada tambahan pelajaran di sekolah. Namun bagi sebagian siswa, tambahan pelajaran selama 1, 5 jam itu pun masih kurang. ”Kebanyakan hanya teori, membahas soalnya jarang,” katanya.
Sementara Hasyim yang merasa kurang menguasai materi pelajaran, memilih bimbel. ”Sekalian saja, gue pengin dapat banyak latihan soal berikut pembahasannya untuk persiapan tes masuk perguruan tinggi negeri,” ujar siswa kelas XII IPS SMAN 28 Jakarta itu. Untuk bimbel selama sekitar 11 bulan, ia membayar sekitar Rp 6 juta, atau Rp 545.000 per bulan.
Kualitas guru
Lebih dari separuh responden mengaku bimbel diperlukan karena materi pelajaran yang diberikan di sekolah tak cukup dimengerti. Pemahaman anak yang kurang terhadap mata pelajaran tertentu, dikhawatirkan membuat nilainya tak mencapai standar. Kurangnya pemahaman itu terjadi antara lain karena kurangnya waktu belajar atau guru kurang berkompeten.
Soal kemampuan guru, sebagian responden (47,9 persen) menyatakan cukup memadai, 20,3 persen responden menilai kemampuan guru biasa saja, dan 29,3 persen responden bilang kemampuan guru kurang memadai.
Dalam polling itu, responden mengeluhkan kualitas guru dan kurikulum. Mereka menyatakan dua hal itu sebagai problem pendidikan nasional.
Satu dari lima responden mengatakan, kualitas pendidik masih bermasalah baik di tingkat pendidikan maupun cara mengajar. Teknik mengajar guru yang didominasi metode ceramah, membuat siswa kurang terstimulasi untuk mengembangkan pengetahuannya.
Kualitas guru yang diragukan responden juga tercermin dari pendapat mereka tentang kemampuan bimbel membantu siswa lulus ujian nasional. Separuh dari responden yakin, keikutsertaan di bimbel akan membuat siswa mampu menjawab soal ujian nasional dengan mudah.
Kesimpulan dari pendapat itu adalah ketidakmampuan guru di sekolah dalam memberi materi yang mudah dimengerti siswa. Responden lebih percaya pada pengajar bimbel.
Keraguan mereka atas kemampuan sebagian guru itu diakui J Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto, Yogyakarta. ”Banyak guru terperangkap pada materi pelajaran yang termuat dalam kurikulum. Materi pelajaran yang harus ia berikan kepada siswa banyak sekali,” tuturnya.
Situasi tersebut ditambah metode atau gaya mengajar guru yang menyamaratakan kemampuan semua siswa, mengakibatkan siswa bosan.
Menurut Sumardianta, guru harus mengubah cara mengajar. Guru harus kreatif, inovatif, dan inspiratif bagi siswa sehingga siswa termotivasi mempelajari ilmu yang diajarkan. Sebagai pengajar Sosiologi, ia tak memakai teks buku mata pelajaran dari penerbit.
”Saya membuat modul Sosiologi untuk kelas X menjadi 21 lembar. Itu pun untuk dua semester, yang penting teori esensial masuk di modul,” kata guru yang sering menulis artikel di media massa itu.
Ia memberi tugas siswa mencari data berkait Sosiologi yang dipelajari lewat berbagai sumber, misalnya dari novel. Salah satu novel yang wajib dibaca siswanya berjudul The City of Joy karya Dominique Lapierre.
Siswa dibagi dalam kelompok. Mereka mendiskusikan isi buku dan mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Bahan itu juga diujikan untuk ulangan. ”Cara itu tak monoton dan membuat siswa ingin tahu, lalu paham esensi pelajaran saya,” katanya.
Mengenai fenomena siswa ikut bimbel, Sumardianta berpendapat bisa dipahami. Meski menurut dia, bimbel tak harus diikuti sampai setahun. ”Siswa kami juga ada yang ikut bimbel. Umumnya mereka lakukan itu untuk tes masuk perguruan tinggi negeri.”
Teman sebaya
Untuk mengatasi siswa yang kurang memahami mata pelajaran di sekolah, SMA Kolese de Britto menerapkan tutorial dengan teman sebaya. Siswa yang pintar dalam mata pelajaran terkait membantu teman yang kurang paham. Tutorial diadakan setelah pembelajaran guru selesai.
”Program tutorial teman sebaya sudah menjadi tradisi di sini. Mereka yang punya kelebihan, wajib membantu teman yang perlu bantuan dalam memahami pelajaran,” kata Sumardianta. Tutorial tak harus dilakukan di kelas, tetapi bisa di kantin atau gazebo sekolah. (PALUPI PANCA ASTUTI/Litbang Kompas/ SOELASTRI SOEKIRNO)
Sumber
Kompas Edukasi