"Guru Reflektif, Guru Pemimpin" Cerita Bapak dan Ibu Guru yang Terus Belajar
PASURUAN, KOMPAS.com — Inspirasi bisa datang dari keberhasilan dan juga kegagalan orang lain. Cita-cita ini mendorong 33 guru terpilih untuk berbagi cerita pengalaman mereka melalui tulisan.
Tulisan mereka lalu dirangkum dalam satu buku berjudul Guru Reflektif, Guru Pemimpin yang diluncurkan hari Selasa (18/12/2012) di Kota Pasuruan. Buku setebal 300 halaman ini merangkum kisah perjalanan dan pengalaman para pendidik di Pasuruan, Surabaya, dan Karawang dalam mengikuti Program Pengembangan Guru dan Kepala Sekolah, yaitu program yang menjadi bagian dari program Teacher Learning Centre (TLC) yang dikembangkan pemerintah kabupaten dan kota bersama Putera Sampoerna Foundation dan tiga universitas, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Universitas Negeri Malang (UNM).
Di dalam buku ini, para guru berbagi tentang proses mereka belajar memimpin di kelas, di sekolah, dan di komunitasnya yang disebut professional learning centre. Di sana, mereka belajar untuk introspeksi melalui kacamata rekan sejawat hingga mampu meningkatkan kompetensi profesional karena rajin berefleksi.
Salah satu contohnya Chrisdiyanto. Guru mata pelajaran Fisika SMK Negeri 2 Pasuruan ini menulis pengalamannya saat memfasilitasi guru-guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) untuk tingkat SMP se-Pasuruan dalam mengembangkan metode pembelajaran berbasis informasi teknologi. Dalam tulisan berjudul "Menyederhanakan Konsep", pentingnya visualisasi dalam mengajar mata pelajaran IPA dengan didukung teknologi menjadi pesan sederhana yang mau disampaikan oleh Chrisdiyanto dalam tulisannya.
Chrisdiyanto mengatakan, biasanya para guru IPA menjelaskan suatu konsep sains dengan bahasa verbal. Hasilnya, para siswa mampu menghafalnya, tetapi banyak yang kurang memahaminya. Oleh karena itu, para guru diajari menyuguhkan suatu media pembelajaran berbasis teknologi informasi dengan visualisasi berupa video pembelajaran yang dilengkapi dengan lembar eksperimen.
“Hasilnya, siswa itu paham dengan banyak hal. Intinya menyederhanakan suatu konsep. Misalnya, guru Fisika menjelaskan konsep, bila air ditekan, tekanannya akan diteruskan ke segala arah. Itu kan bahasa verbal. Tapi dengan visualisasi, anak-anak bisa menarik kesimpulan sendiri. Jadi, anak-anak lebih mengerti,” tuturnya kepada Kompas.com.
Selain itu, dalam tulisannya, Chrisdiyanto juga memaparkan bahwa para guru mata pelajaran yang berbeda-beda bisa menghubungkan konsep mata pelajarannya dengan mata pelajaran lainnya. Dengan demikian, kemampuan analisis anak-anak bisa diasah.
“Guru Biologi dan guru Matematika misalnya bisa menghubungkan konsep Fisika dengan mata pelajaran mereka, misalnya melihat hubungan fisis antara tekanan zat cair, gaya, dan luas permukaan. Dia bisa menghubungkan konsep-konsep dengan melihat visualisasi itu. Jadi, kemampuan kognitif anak-anak lebih tinggi lagi, mereka jadi menganalisis,” paparnya.
Tulisan guru yang terlibat dalam program TLC di Pasuruan ini memberikan inspirasi untuk memperhatikan aspek visualisasi dalam pembelajaran. Begitu juga tulisan guru lainnya, antara lain "Belajar Memimpin Pembelajaran" karya Titik Sudarti (SMPN 6 Surabaya), "Seven Steps Seven Times" karya Nurhayati (guru SMAN 1 Gondang Wetan Pasuruan), dan "Kala Surat Dinas Menjadi Bermasalah" karya Dwi Ariani (guru SMPN Klari).
Menariknya, nilai gotong royong sangat kental. Untuk meningkatkan kompetensinya, guru tak bisa hanya sekadar rajin ikut pelatihan dan seminar atau mengikuti evaluasi oleh kepala sekolah. Guru perlu berdiskusi dan guru perlu dievaluasi oleh rekan sejawatnya. Fokusnya, bukan kritik pedas, melainkan pada siswa-siswa yang dididiknya di kelas.
Hal ini seperti yang disampaikan Manajer Program PSF School Development Outreach, Wendy Arimunando, bahwa buku napak tilas perjalanan program bersama pemerintah daerah dan PSF ini memunculkan inspirasi bagi para guru di seluruh Nusantara.
Sumber
Kompas Edukasi
Tulisan mereka lalu dirangkum dalam satu buku berjudul Guru Reflektif, Guru Pemimpin yang diluncurkan hari Selasa (18/12/2012) di Kota Pasuruan. Buku setebal 300 halaman ini merangkum kisah perjalanan dan pengalaman para pendidik di Pasuruan, Surabaya, dan Karawang dalam mengikuti Program Pengembangan Guru dan Kepala Sekolah, yaitu program yang menjadi bagian dari program Teacher Learning Centre (TLC) yang dikembangkan pemerintah kabupaten dan kota bersama Putera Sampoerna Foundation dan tiga universitas, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Universitas Negeri Malang (UNM).
Di dalam buku ini, para guru berbagi tentang proses mereka belajar memimpin di kelas, di sekolah, dan di komunitasnya yang disebut professional learning centre. Di sana, mereka belajar untuk introspeksi melalui kacamata rekan sejawat hingga mampu meningkatkan kompetensi profesional karena rajin berefleksi.
Salah satu contohnya Chrisdiyanto. Guru mata pelajaran Fisika SMK Negeri 2 Pasuruan ini menulis pengalamannya saat memfasilitasi guru-guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) untuk tingkat SMP se-Pasuruan dalam mengembangkan metode pembelajaran berbasis informasi teknologi. Dalam tulisan berjudul "Menyederhanakan Konsep", pentingnya visualisasi dalam mengajar mata pelajaran IPA dengan didukung teknologi menjadi pesan sederhana yang mau disampaikan oleh Chrisdiyanto dalam tulisannya.
Chrisdiyanto mengatakan, biasanya para guru IPA menjelaskan suatu konsep sains dengan bahasa verbal. Hasilnya, para siswa mampu menghafalnya, tetapi banyak yang kurang memahaminya. Oleh karena itu, para guru diajari menyuguhkan suatu media pembelajaran berbasis teknologi informasi dengan visualisasi berupa video pembelajaran yang dilengkapi dengan lembar eksperimen.
“Hasilnya, siswa itu paham dengan banyak hal. Intinya menyederhanakan suatu konsep. Misalnya, guru Fisika menjelaskan konsep, bila air ditekan, tekanannya akan diteruskan ke segala arah. Itu kan bahasa verbal. Tapi dengan visualisasi, anak-anak bisa menarik kesimpulan sendiri. Jadi, anak-anak lebih mengerti,” tuturnya kepada Kompas.com.
Selain itu, dalam tulisannya, Chrisdiyanto juga memaparkan bahwa para guru mata pelajaran yang berbeda-beda bisa menghubungkan konsep mata pelajarannya dengan mata pelajaran lainnya. Dengan demikian, kemampuan analisis anak-anak bisa diasah.
“Guru Biologi dan guru Matematika misalnya bisa menghubungkan konsep Fisika dengan mata pelajaran mereka, misalnya melihat hubungan fisis antara tekanan zat cair, gaya, dan luas permukaan. Dia bisa menghubungkan konsep-konsep dengan melihat visualisasi itu. Jadi, kemampuan kognitif anak-anak lebih tinggi lagi, mereka jadi menganalisis,” paparnya.
Tulisan guru yang terlibat dalam program TLC di Pasuruan ini memberikan inspirasi untuk memperhatikan aspek visualisasi dalam pembelajaran. Begitu juga tulisan guru lainnya, antara lain "Belajar Memimpin Pembelajaran" karya Titik Sudarti (SMPN 6 Surabaya), "Seven Steps Seven Times" karya Nurhayati (guru SMAN 1 Gondang Wetan Pasuruan), dan "Kala Surat Dinas Menjadi Bermasalah" karya Dwi Ariani (guru SMPN Klari).
Menariknya, nilai gotong royong sangat kental. Untuk meningkatkan kompetensinya, guru tak bisa hanya sekadar rajin ikut pelatihan dan seminar atau mengikuti evaluasi oleh kepala sekolah. Guru perlu berdiskusi dan guru perlu dievaluasi oleh rekan sejawatnya. Fokusnya, bukan kritik pedas, melainkan pada siswa-siswa yang dididiknya di kelas.
Hal ini seperti yang disampaikan Manajer Program PSF School Development Outreach, Wendy Arimunando, bahwa buku napak tilas perjalanan program bersama pemerintah daerah dan PSF ini memunculkan inspirasi bagi para guru di seluruh Nusantara.
Sumber
Kompas Edukasi