Kurikulum 2013 Dinilai Belum Hargai Otonomi
Darmin mengatakan, dari hasil kajian uji publik Kurikulum 2013, yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 29 November 2012 lalu, Kurikulum 2013 dinilai terlalu sentralistik. Padahal, reformasi mengedepankan desentralisasi, termasuk desentralisasi pengelolaan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Sekolah seharusnya diberi kewenangan ikut mengelola kurikulum, baik dalam penyusunan silabus maupun pelaksanaannya. Sementara, kurikulum 2013, dari perencanaan, penyusunan silabus, penyusunan dan penerbitan buku pelajaran ditentukan dan dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketentuan ini, lanjut Darmin, menyebabkan deprofesionalisasi guru, dan mengabaikan konteks sosial budaya dari komunitas lokal, yang sebelumnya sangat ditekankan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum dengan model KTSP, dikembangkan sesuai pedoman dan rambu-rambu Badan Standar Nasional Pendidikan. Model ini menghargai otonomi guru dan sekolah, keanerakagaman budaya, dan konteks setempat. Kurikulum ini juga memberi peluang dan pedoman bagi guru menyusun silabus sesuai dengan kondisi sekolah, dan potensi daerah masing-masing. Ini menunjukkan pembuatan Kurikulum 2013, tidak didasarkan riset pada kurikulum sebelumnya. “Belum ada riset dan evaluasi yang mendalam dan sungguh-sungguh tentang KTSP, baik berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi maupun Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan,” kata Darmin.
Dalam Kurikulum 2013, jumlah mata pelajaran dikurangi untuk mengurangi beban belajar siswa. Namun, muatan mata pelajaran, dan jumlah jam pelajaran perminggu ditambah, karena mengikuti alur pikiran kompetensi inti. Hubungan antara kompetensi inti dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran tidak koheren sehingga berdampak meningkatnya kepadatan kompetensi dan materi pada tiap mata pelajaran. “Dampaknya adalah beban belajar siswa semakin berlipat ganda,” kata kelapa sekolah salah satu sekolah swasta di Jakarta ini.
Digabungkannya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ke dalam mata-mata pelajaran lain, kata Darmin, mengaburkan kekhasan karakter setiap mata pelajaran. “IPA diintegrasikan ke mata pelajaran Bahasa Indonesia, padahal guru Bahasa Indonesia belum tentu memahami IPA, akan dikemanakan juga guru-guru IPA dan IPS yang sudah ada,” kata Darmin yang juga rohaniawan ini.
Pihaknya juga tidak setuju dengan dihapuskannya mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), tidak dimasukkannya pelajaran bahasa Inggris sebagai kurikulum wajib di SD, dan tidak ditekankannya kewirausahaan di jenjang SD, SMP, dan SMA. Hal lain, guru-guru, belum disiapkan untuk perubahan kurikulum ini.
FKPPRI menilai, sosialisasi atau uji publik Kurikulum 2013, dilakukan hanya pada kalangan terbatas dan tergesa-gesa. Pasalnya, uji publik tidak disertai dokumen kurikulum yang dirancang dan hanya berbentuk file powerpoint. Masyarakat seolah tidak diberi ruang dengar pendapat. “Masyarakat bingung seolah-olah dipaksa "membeli kucing dalam karung", yang belum jelas alasan, tujuan, bentuk, dan isinya,” ujar Darmin.
Sumber