Konflik Bayangi Penghapusan Ujian Tulis SNMPTN
JAKARTA (KRjogja.com) - Mulai 2013, jalur tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) diubah menjadi jalur undangan. Nilai rapor dan Ujian Nasional (UN) menjadi kunci utama penilaian calon mahasiswa yang mengikuti jalur tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Pembantu Rektor I Universitas Brawijaya (UB) Malang Bambang Suharto menilai, sistem tersebut rawan konflik. "Sistem yang baru ini rawan menimbulkan konflik antara sekolah dan orangtua. Bisa saja ada orangtua yang menekan pihak sekolah agar memperbaiki nilai anaknya," ujar Bambang, seperti dilansir dari laman resmi UB, Prasetya Online.
Namun, kata Bambang, sistem tersebut juga memiliki nilai positif. Sebab, Ditjen Dikti Kemendikbud memiliki database laporan sekolah yang tersimpan di Pangkalan Data Siswa Sekolah (PPDS). Menghadapi perubahan tersebut, Bambang mengaku, UB sudah siap. Pasalnya, setiap tahun UB melaksanakan evaluasi terhadap sekolah asal mahasiswa, di antaranya mengenai prestasi siswa tersebut. Karena belum tentu SMA yang berada di daerah lebih jelek dibanding yang di pusat kota.
Bambang menyebutkan, perubahan ini bukan berarti menghapus ujian tulis untuk seleksi masuk Perguruan Tinggi. Sebab, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri yang terdiri dari 61 PTN akan melaksanakan SMPTN secara bersama-sama.
Kuota untuk SMPTN, tambahnya, minimal 10 persen dari jumlah total kuota penerimaan mahasiswa baru di PTN tersebut. Sisa kuota digunakan untuk jalur seleksi mandiri yang dilaksanakan masing-masing PTN.
Dia menambahkan, jalur mandiri sangat vital untuk PTN-PTN yang ada di luar Jawa karena penting untuk pemerataan. Oleh karena itu, di SNMPTN 2013, calon mahasiswa harus memilih satu jurusan di PTN asal daerahnya di antara dua pilihan untuk IPA/IPS dan tiga pilihan untuk IPC. Kecuali, untuk provinsi Sulawesi Barat karena belum ada PTN di daerah tersebut. "Kalau tidak ada jalur mandiri banyak yang minta merdeka," ujar dosen Fakultas Pertanian ini.
Bambang menyebutkan, sosialisasi pilihan PTN wajib dari asal daerah calon mahasiswa tersebut masih sangat minim. "Informasi ini banyak yang belum tahu," imbuhnya.(Okz/Git)
Menanggapi hal tersebut, Pembantu Rektor I Universitas Brawijaya (UB) Malang Bambang Suharto menilai, sistem tersebut rawan konflik. "Sistem yang baru ini rawan menimbulkan konflik antara sekolah dan orangtua. Bisa saja ada orangtua yang menekan pihak sekolah agar memperbaiki nilai anaknya," ujar Bambang, seperti dilansir dari laman resmi UB, Prasetya Online.
Namun, kata Bambang, sistem tersebut juga memiliki nilai positif. Sebab, Ditjen Dikti Kemendikbud memiliki database laporan sekolah yang tersimpan di Pangkalan Data Siswa Sekolah (PPDS). Menghadapi perubahan tersebut, Bambang mengaku, UB sudah siap. Pasalnya, setiap tahun UB melaksanakan evaluasi terhadap sekolah asal mahasiswa, di antaranya mengenai prestasi siswa tersebut. Karena belum tentu SMA yang berada di daerah lebih jelek dibanding yang di pusat kota.
Bambang menyebutkan, perubahan ini bukan berarti menghapus ujian tulis untuk seleksi masuk Perguruan Tinggi. Sebab, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri yang terdiri dari 61 PTN akan melaksanakan SMPTN secara bersama-sama.
Kuota untuk SMPTN, tambahnya, minimal 10 persen dari jumlah total kuota penerimaan mahasiswa baru di PTN tersebut. Sisa kuota digunakan untuk jalur seleksi mandiri yang dilaksanakan masing-masing PTN.
Dia menambahkan, jalur mandiri sangat vital untuk PTN-PTN yang ada di luar Jawa karena penting untuk pemerataan. Oleh karena itu, di SNMPTN 2013, calon mahasiswa harus memilih satu jurusan di PTN asal daerahnya di antara dua pilihan untuk IPA/IPS dan tiga pilihan untuk IPC. Kecuali, untuk provinsi Sulawesi Barat karena belum ada PTN di daerah tersebut. "Kalau tidak ada jalur mandiri banyak yang minta merdeka," ujar dosen Fakultas Pertanian ini.
Bambang menyebutkan, sosialisasi pilihan PTN wajib dari asal daerah calon mahasiswa tersebut masih sangat minim. "Informasi ini banyak yang belum tahu," imbuhnya.(Okz/Git)
Sumber