Simpang Siurnya Data Pokok Pendidikan...


M.LATIEF/KOMPAS.COM
JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam beberapa tahun ini, pemerintah banyak melakukan terobosan di dunia pendidikan. Akan tetapi, semua inisiatif dilaksanakan sebelum data pokok pendidikan (dapodik) tersaji dengan mantap.


Pada pelaksanaannya, tak sedikit masalah yang muncul. Faktor pemicu terbesar adalah ketidaksiapan lapangan karena para "jugador-nya" seperti tak memiliki bekal data yang valid dan akurat, baik di tingkat daerah, maupun pusat.

Dimulai dengan program beasiswa biaya pendidikan mahasiswa berprestasi, atau sering dipendekkan menjadi bidik misi. Santunan istimewa ini pertama kali diberikan kepada 20 ribu mahasiswa di tahun 2010. Berdasarkan catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sampai triwulan pertama 2012, jumlah penerimanya telah mencapai 90 ribu mahasiswa.

Jumlah itu terus bertambah seiring dengan dimulainya tahun akademik baru. Karena rencana awalnya, plafon bidik misi di setiap tahun mencapai 20 ribu mahasiswa walau tak menutup kemungkinan ada penambahan di tengah perjalanan. Tentunya hanya untuk mereka para mahasiswa yang benar-benar miskin tapi mampu secara akademik untuk mengikuti perkuliahan.

Niat baik tentu perlu diapresiasi, akan tetapi ada hal serius yang perlu diperhatikan, yaitu kelemahan data sehingga memicu pemberian bidik misi yang salah sasaran. Mahasiswa yang mampu secara finansial juga ikut mendaftar sebagai calon penerima beasiswa tersebut. Realitanya, tak sedikit mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) yang tidak tergolong miskin akhirnya memperoleh beasiswa yang sejatinya bukan menjadi haknya.


Simpang siur


Kemendikbud selalu menjawab dengan dua hal untuk menampik lemahnya dapodik. Pertama, melemparkan masalah kepada daerah dengan alasan semua data berdasarkan pengolahan di daerah. Kedua, selalu berjanji akan terus memperkuat basis data baik dari segi jumlah siswa, jumlah guru, maupun kondisi sekolah di seluruh Indonesia. Diharapkan data tersebut dapat terinvetarisasi secara valid pada tahun 2012.

"Bukan salah sasaran, tetapi kita belum bisa menghimpun secara pasti, karena data yang kita gunakan data dari daerah. Ke depan kita akan miliki dapodik secara nasional," dikatakan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan, Musliar Kasim beberapa waktu lalu.

Contoh lain adalah mengenai Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi. Data yang dimiliki Kemendikbud berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS), lain pula dengan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Data Kemendikbud mengenai APK Dikti hanya 16 persen, sementara BPS dan Bappenas masing-masing melansir 18 persen dan 26,3 persen.

Belum lagi saat menggulirkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM), sasaran penerimanya juga tidak jelas. BPS melansir ada 40 juta jumlah masyarakat miskin, sedangkan dalam catatan Kemendikbud jumlah siswa miskin mencapai 70 juta jiwa.

Lemahnya dapodik berimbas pada amburadulnya layanan yang diberikan. Ada sebuah lelucon yang mengatakan, pembangunan pendidikan nasional tak akan optimal selama hanya melihat dari kacamata Jawa.

Tengok saja pelaksanaan Ujian Nasional (UN), dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Semua ketentuan diberlakukan sama, mulai dari bobot soal sampai pada standar kelulusannya masih belum adil, khususnya buat mereka, para peserta didik di timur Indonesia.

Seperti diketahui, UN dan SNMPTN dilaksanakan serba sama secara nasional, begitupun standar kelulusannya. Tidak akan terlalu masalah bagi siswa di kota besar yang kualitas pendidikannya dapat dan mungkin bisa melebihi rata-rata nasional. Tetapi bagaimana dengan siswa di daerah? Mereka menjerit, tapi tak terdengar.

Perbaiki validitas

Dalam sebuah pertemuan bersama Komisi X DPR, Ketua Indonesia Menggugat, Iwan Pranoto menyampaikan kritiknya pada pelaksanaan UN. Baginya, UN menjadi tidak logis dan tidak manusiawi saat hasilnya dijadikan penentu kelulusan. Pasalnya asupan pendidikan yang diterima para siswa masih berbeda berdasarkan kemampuan daerahnya.

"Akhirnya timbul kecurangan, itu karena pendidikan disuguhkan dengan cara yang kuno," ungkapnya.

Anggota Komisi X DPR, Dedi Gumelar menjadi salah satu anggota dewan yang paling sering menyoroti kelemahan dapodik. Baginya, kendala pembangunan pendidikan secara nasional lebih dikarenakan tiga hal, yakni data, data, dan data.

Dalam catatannya, ada kevakuman memperbarui dapodik selama lebih dari lima tahun. Itu mengapa dirinya selalu ragu akan validitas dapodik saat ini.

"Iya dong, data itu penting. Supaya kita memiliki peta untuk menyusun kebijakan semua program dan postur anggaran yang berdasarkan pada riset," kata Dedi kepada Kompas.com, Jumat (14/9/2012) pagi.

Itulah sepenggal potret mengenai kelemahan data pokok pendidikan. Belum ditambah dari sisi data tenaga pendidik yang kisruhnya masih tercium hingga saat ini. Terakhir adalah pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang data pesertanya terbukti karut marut. Padahal, dapodik merupakan hal terpenting yang harus dimiliki pemerintah sebagai acuan dasar untuk melaksanakan semua programnya.

Sumber
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar