Butet: Pembusukan Bangsa Terus Dilakukan
YOGYA (KRjogja.com)
- Seniman asal Yogya Butet Kartaredjasa mengungkapkan, saat ini proses
pembusukan terhadap Bangsa Indonesia terus dilakukan oleh para petinggi
bangsa. Ibarat panggung drama, adegan penipuan diri yang berjamaah dan
berlapis-lapis terus dimainkan, ditampilkan dalam bentuk pencitraan yang
mempesona.
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional 'Malunya Jadi Orang Indonesia', Senin (6/8) di kampus UKDW. Acara digelar dalam rangka peringatan 50 tahun universitas tersebut.
"Dan celakanya, para penonton itu mulai percaya bahwa yang sedang dihadapi adalah sebuah pementasan yang bagus. Ini sungguh mengerikan. Semua ramai-ramai menipu diri," tandasnya.
Menurutnya, aktor utama adegan penipuan berjamaah adalah para politisi. Mereka mendikte aktor lainnya, yakni penegak hukum. Mereka saling bermain siasat sana-sini, membuat improvisasi di luar naskah, untuk membuktikan bahwa mereka sudah bermain peran dengan benar.
"Maka sungguh tak mengherankan jika kitab sucipun dijadikan bahan penipuan itu. Jika kitab suci sudah tak dapat digunakan sebagai alat penipuan, entah apa lagi nanti yang akan dijadikan alat penipuan. Mungkin Gusti Allah pun akan di-lobby, dibujuk untuk terlibat dalam penipuan-penipuan berikutnya," ujar Butet disambut tawa hadirin.
Menurutnya hal ini adalah bentuk 'keajaiban' dan 'kejeniusan' bangsa, yakni memampuannya menciptakan ide cemerlang melanggengkan perangkap semu sebagai tujuan hidup. 'Kejeniusan' itupun berlangsung di semua lini kehidupan, termasuk di ranah kebudayaan.
"Ini termasuk akibat ulah Suharto yang selama 32 tahun menyeragamkan semua kebudayaan bangsa dengan budaya Jawa," imbuhnya.
Butet memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Samin (Komunitas Sedulur Sikep) di Pati Jawa Tengah yang saat ini bertarung dengan usaha kapitalis mendirikan pabrik semen. Mereka adalah kaum tani yang tidak bisa dibeli dengan uang, yang jauh lebih mulia dari para ulama dan budayawan yang sudah dijadikan bemper kapitalis pabrik semen.
"Saya ingin memberi inspirasi, bahwa masih ada kearifan luar biasa dari masyarakat Samin, yang harus kita jaga," lanjutnya.
Ia berpendapat, masyarakat dapat melakukan perlawanan terhadap proses pembusukan bangsa, dengan melakukan perubahan di satuan-satuan kecil. Perubahan ini dapat dilakukan di berbagai sektor, termasuk bidang seni. "Sekarang ini adalah zamannya kolaborasi dari satuan-satuan kecil itu. Dengan begitu sebuah upaya pembentukan identitas dan karakter jadi lebih mudah dilakukan," pungkasnya. (Den)
Sumber
KRJogja
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional 'Malunya Jadi Orang Indonesia', Senin (6/8) di kampus UKDW. Acara digelar dalam rangka peringatan 50 tahun universitas tersebut.
"Dan celakanya, para penonton itu mulai percaya bahwa yang sedang dihadapi adalah sebuah pementasan yang bagus. Ini sungguh mengerikan. Semua ramai-ramai menipu diri," tandasnya.
Menurutnya, aktor utama adegan penipuan berjamaah adalah para politisi. Mereka mendikte aktor lainnya, yakni penegak hukum. Mereka saling bermain siasat sana-sini, membuat improvisasi di luar naskah, untuk membuktikan bahwa mereka sudah bermain peran dengan benar.
"Maka sungguh tak mengherankan jika kitab sucipun dijadikan bahan penipuan itu. Jika kitab suci sudah tak dapat digunakan sebagai alat penipuan, entah apa lagi nanti yang akan dijadikan alat penipuan. Mungkin Gusti Allah pun akan di-lobby, dibujuk untuk terlibat dalam penipuan-penipuan berikutnya," ujar Butet disambut tawa hadirin.
Menurutnya hal ini adalah bentuk 'keajaiban' dan 'kejeniusan' bangsa, yakni memampuannya menciptakan ide cemerlang melanggengkan perangkap semu sebagai tujuan hidup. 'Kejeniusan' itupun berlangsung di semua lini kehidupan, termasuk di ranah kebudayaan.
"Ini termasuk akibat ulah Suharto yang selama 32 tahun menyeragamkan semua kebudayaan bangsa dengan budaya Jawa," imbuhnya.
Butet memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Samin (Komunitas Sedulur Sikep) di Pati Jawa Tengah yang saat ini bertarung dengan usaha kapitalis mendirikan pabrik semen. Mereka adalah kaum tani yang tidak bisa dibeli dengan uang, yang jauh lebih mulia dari para ulama dan budayawan yang sudah dijadikan bemper kapitalis pabrik semen.
"Saya ingin memberi inspirasi, bahwa masih ada kearifan luar biasa dari masyarakat Samin, yang harus kita jaga," lanjutnya.
Ia berpendapat, masyarakat dapat melakukan perlawanan terhadap proses pembusukan bangsa, dengan melakukan perubahan di satuan-satuan kecil. Perubahan ini dapat dilakukan di berbagai sektor, termasuk bidang seni. "Sekarang ini adalah zamannya kolaborasi dari satuan-satuan kecil itu. Dengan begitu sebuah upaya pembentukan identitas dan karakter jadi lebih mudah dilakukan," pungkasnya. (Den)
Sumber
KRJogja