Bangsa yang Terlambat Belajar
Bruce Lee pernah berujar, “Knowing is not enough. We must apply. Willing is not enough. We must do!”
Belajar,
itu kata kuncinya. Confucius menegaskan hal serupa, “Saya dengar, saya
lupa. Saya lihat, saya ingat. Saya lakukan, saya paham.”
Belajar,
proses sadar untuk memahami sesuatu yang esensial, berdampak pada
perubahan perilaku si pembelajar yang menjadi semakin baik dari waktu ke
waktu. Pertanyaan menyeruak dalam pikiran, apakah bangsa Indonesia
adalah bangsa pembelajar?
Sejak 1908 (Kebangkitan Nasional)
sampai sekarang, ternyata tahapan perubahan tatanan kehidupan berbangsa
mengikuti pola 20 tahunan (1908, 1928, 1945-48, 1965-68, 1968-78,
1998-…). Momentum perubahan kehidupan berbangsa ada di angka tahun
tersebut. Jelaslah ini adalah suatu proses belajar lambat.
Faktor
pendidikan, ikut urun rembug berkontribusi pada kenyataan ini. Padahal
di setiap tahapan waktu tersebut, semua kebijakan pendidikan—kurikulum,
pengelolaan sekolah, pemberdayaan guru, peningkatan anggaran pendidikan,
dsb, terus dikembangkan. Namun, hal itu seakan tak cukup membuat
kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih cerdas, beradab, mandiri,
dan sejahtera.
Hari ini, orang miskin masih sulit mengakses
pendidikan berkualitas. Kualitas guru masih memprihatinkan. Sekolah
menjadi institusi elit yang semakin mencerabut akar budaya masyarakat,
dan sistem pendidikan melahirkan orang-orang cerdas tak berkarakter.
Jangan
heran jika kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi jumud, terseret
arus globalisasi, miskin inovasi, dan tak pandai mengelola potensi diri.
Itu semua terjadi, karena sistem pendidikan kita belum berhasil
menciptakan sumber daya manusia yang kompeten dan berkarakter.
Ironisnya, praktik-praktik yang jauh dari kesan "mendidik", kerap masih
menjadi bagian dari penyelenggaraan pendidikan di tanah air.
Mari
sejenak kita berkaca pada negeri sakura. Jepang, satu dari sekian
bangsa yang cepat belajar. Banyak bangsa lain di dunia yang menilai,
kemajuan Jepang yang cepat dan pesat itu akibat kecerdasan intelektual
bangsa Jepang yang tinggi. Hal itu diperoleh lewat sistem pendidikan
yang bermutu.
Sutawi (2009) mencoba mengurai cerita, mengenai
proses pengembangan kecerdasan intelektual bangsa Jepang. Pada zaman
Restorasi Meiji (1852 – 1912), para samurai yang berpikiran maju
menghendaki Jepang jadi bangsa yang modern. Setelah selesainya era
Tokugawa yang penuh perang, Jepang mengalami masa damai selama 200
tahun.
Ketika memasuki era damai, para samurai mengabdikan diri
sebagai guru. Mereka mendidik anak-anak orang kaya, terutama kasta
pedagang, karena Jepang waktu itu masih mengenal kasta (samurai,
kesatria, pedagang, petani, dan beberapa kasta di bawahnya).
Para
samurai, contohnya, mereka memang tidak hanya bisa perang, tapi juga
melek sastra, tata negara, hukum. Bahkan lebih dari itu, mereka pun bisa
membaca huruf kanji yang memang terkenal susah. Itulah modal bangsa
Jepang untuk maju.
Hasil pendidikan para samurai terbukti manjur.
Mau bukti? Tingkat melek huruf orang Jepang di era Meiji mencapai 98%.
Padahal pada periode waktu yang sama, tingkat melek huruf bangsa Eropa
paling tinggi masih berkisar angka 60 – 70% (Prasetyawan, 2006).
Jadi,
ketika Jepang masuk proses industrialisasi, mereka sudah memiliki
kesiapan sumber daya manusia yang terampil dan terdidik. Pola pikir dan
pola sikap mereka sudah sangat adaptif dengan perubahan zaman yang
tengah terus terjadi.
Kaisar Meiji yang terkenal visioner,
menyadari kalau bangsa Jepang ingin maju. Maka, mereka harus berpikir
ala Eropa dan Amerika dengan tetap berpegang teguh pada budaya leluhur.
Gerakan
Bummeikaika dilakukan, dengan tujuan untuk menjadikan bangsa Jepang
sebagai bangsa yang beradab. Gerakan tersebut menginisiasi terjadinya
pembaharuan pendidikan, yang mendorong bangsa Jepang untuk meninggalkan
feodalisme dan mengedepankan logika. Sejak saat itu, generasi muda
Jepang disebar ke berbagai penjuru Eropa dan Amerika untuk satu tujuan
utama, belajar.
Restorasi Jepang berjalan sangat cepat dan
efisien mulai tahun 1953. Dalam kurun waktu 100 tahun sejak Restorasi
Meiji dimulai, Jepang nyatanya telah mampu menjadi negara dengan
kekuatan ekonomi dan militer yang patut diperhitungkan di kawasan Asia,
bahkan dunia (Sucahyo, 2003).
Pasca kekalahan di Perang Dunia
II, meski dengan anggaran belanja negara yang pas-pasan, Jepang mulai
menerapkan strategi pendidikan dari SD sampai Universitas yang
berstrategi. Mereka mengirim banyak orang-orang mudanya belajar ke
negara lain.
Saat itu, mereka membelanjakan sekitar 20 persen
uang negara pada bidang pendidikan dan sains, hingga mencetak banyak
master dan doktor. Dari situlah, mereka mulai membangun bangsa dengan
konsep masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge-based Society).
Semua
kebijakan negara mengacu pada data riset yang bersifat objektif, logis,
rasional, dan bebas dari kepentingan golongan-golongan tertentu.
Muaranya sangat jelas, demi memastikan terwujudnya masyarakat Jepang
yang sejahtera.
Di bidang penerbitan, karena masyarakat mereka
gemar membaca, sampai tahun 80-an mereka sudah mencetak 1,2 trilyun copy
buku. Puncaknya terjadi pada tahun 1997, di mana mereka mencetak sampai
1,5 trilyun copy.
Sirkulasi surat kabar di masyarakat Jepang
pada tahun 2002 mencapai 70,8 juta copy, dengan perbandingan 653 copy
per 1000 penduduk. Sekitar 70 juta dari 127 juta penduduk Jepang adalah
pengguna internet, bandingkan dengan masyarakat Indonesia yang hanya 2
persen saja (Humaniora, 2006).
Strategic thinking, ciri
utama kebijakan pendidikan bangsa Jepang. Komitmen, konsisten, dan
berorientasi masa depan, kunci sukses bangsa Jepang dalam menata sistem
pendidikan mereka.
Contoh nyata bangsa yang cepat belajar.
Belajar dari perjalanan sejarah masa lalu yang digunakan untuk merancang
masa depan yang lebih baik.
Indonesia, punya kesempatan yang
sama seperti bangsa Jepang. Buka mata dan telinga kita, belajarlah.
Sadarilah bahwa pendidikan itu investasi teramat penting bagi kemajuan
bangsa.
Mari kita tanya kepada para pemimpin negeri ini, apa
visi Indonesia serta visi pendidikan nasional 50 tahun mendatang? Jika
satu yang maha penting ini lupa, atau bahkan tak dirumuskan, maka bangsa
kita semakin menasbihkan diri jadi bangsa yang terlambat belajar atau
bahkan tak pernah belajar sama sekali. Menurut Anda, apa visi Indonesia
di masa depan?
Asep Sapa'at
Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa
Sumber