Sistem Pembelajaran SKS Belum Berkembang di Sekolah
JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana penerapan pembelajaran dengan sistem kredit semester (SKS), terutama di jenjang SMA sederajat, muncul dengan diberlakukannya Kurikulum 2013.
Namun, penerapan sistem kredit semester dinilai masih sulit dilakukan sekolah-sekolah. Padahal pedoman pelaksanaan SKS sudah dibuat Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sejak beberapa tahun lalu. Namun, masih sedikit sekolah yang menerapkan SKS.
Yurizal, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN 79 Jakarta, Senin (4/3/2013), mengatakan secara idealnya, penerapan pembelajaran SKS membutuhkan ruang kelas yang lebih banyak. Seharusnya, tiap ruangan sesuai mata pelajaran tersebut juga dilengkapi fasilitas pendukung sesuai mata pelajaran, bukan sekadar ruangan kelas kosong.
"Anggapan bahwa SKS itu harus moving class yang membuat penerapan SKS yang sudah diperkenalkan ke SMA tidak berjalan baik," kata Yurizal.
SMAN 79 Jakarta, termasuk salah satu sekolah yang berhasil menerapkan SKS. Sekolah ini hanya memiliki 18 ruangan kelas. Idealnya untuk menerapkan SKS butuh 48 ruangan kelas. Dari pengalaman SMAN 79 Jakarta, implementasi SKS tetap bisa diberlakukan.
Sejak kelas X siswa pun sudah langsung memilih jurusan IPA dan IPS, dan beban SKS paket 28 SKS. Maman Suwarman, guru SMKN 79 Jakarta, mengatakan dengan kondisi ruangan kelas di sekolah yang tidak ideal, penerapan SKS dengan kelas berpindah ternyata tidak efektif. Waktu siswa setidaknya terbuang sekitar 10 menit karena harus berpindah kelas.
Menurut Maman, tanpa kelas berpindah, sistem SKS bisa dilaksanakan. Siswa tetap bisa lebih cepat selesai jika mampu mencapai nilai yang tinggi.
"Di semester ke-5 nanti biasanya siswa akan ketahuan mana yang bisa tuntas atau tidak. Ada yang harus mengulang, ada yang sudah bisa tuntas," kata Maman.
Penerapan SKS di jenjang SMP/SMA sederajat sebenarnya sudah ada pedoman dari BSNP. Beban belajar yang harus ditempuh siswa SMP/MTs yaitu minimal 102 SKS dan maksimal 114 SKS selama enam semester.
Untuk siswa SMA, beban belajar minimal 114 SKS dan maksimal 126 SKS pada program IPA, IPS, Bahasa, dan Keagamaan. Pada semester pertama, siswa mengikuti paket SKS yang sudah ada. Selanjutnya, siswa dapat mengambil sejumlah mata pelajaran dengan jumlah SKS berdasarkan indeks prestasi yang diraih.
Sekolah juga dapat melaksanakan semester pendek selama libur. Namun, siswa hanya boleh mengikuti semester pendek itu untuk mengulang mata pelajaran yang gagal. Basyarudin, Kepala SMA Plus PGRI Cibinong, mengatakan penggunaan SKS tetap diyakini harus menggunakan kelas berpindah.
"Itu menuntut ruang kelas yang banyak. Apakah semua sekolah sudah punya ruangan kelas yang cukup? Ini yang membuat implementasi SKS masih terkendala," kata Basyarudin.
Selain itu, jika siswa bisa menyelesaikakan pembelajaran dalam 2,5 tahun atau 5 semester, siswa terkendala ikut ujian nasional (UN). Sebab, UN ada di semeseter genap. Hal senada disampaikan Yurizal. Penerapakan SKS bisa sekaligus mengimplementasikan akselerasi atau percepatan dengan alami, tidak secara eksklusif.
Siswa yang nilainya tinggi bisa menyelesaikan pendidikan selama empat semester atau dua tahun. "Tapi yang kesulitan yang selesai 5 semester. Tetap saja dihitung lulus 6 semester karena UN ada di semester genap. Seharusnya kalau SKS diterapkan, pelaksanaan UN bisa dua kali setahun," kata Yurizal.
Sumber