Kurikulum Membentuk Siswa "Patuh"
BANDUNG, KOMPAS.com — Guru Besar Ilmu Matematika Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto, menyebut kurikulum adalah dokumen negara serta naskah budaya bangsa. Alasannya, kurikulum berisi proyeksi tentang manusia di masa mendatang yang bakal dibentuk melalui pendidikan.
Sayangnya, ujar Iwan, yang bisa ditangkap dari Kurikulum 2013 adalah siswa yang patuh, bukan siswa yang mampu berpikir inovatif. Itulah kesimpulan yang didapatkan sewaktu memeriksa dokumen Kurikulum 2013 yang beredar saat ini.
Dia menunjukkan matrik berisi kompetensi dasar dari pelajaran matematika untuk kelas I hingga VI. Semuanya diawali dengan kalimat "Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam..." yang berarti perintah agar siswa patuh.
"Padahal, bukan seperti itu matematika. Biarkan mereka mencari sendiri cara yang terbaik untuk menjawab persoalan," kata Iwan.
Dia mengisahkan Sam Ratulangi, pahlawan nasional yang dikenal sebagai tokoh multidimensional. Menurut Iwan, Sam Ratulangi memiliki cara tersendiri dalam penjumlahan, yakni mendahulukan bilangan yang besar kemudian diikuti yang kecil. Meski tidak sama dengan cara penjumlahan yang diajarkan saat itu, cara berpikir Sam Ratulangi harusnya ditiru oleh siswa, bukan malah dikekang.
Dia pun membandingkan Kurikulum 2013 itu dengan di Massachusetts, Amerika Serikat, yang menggunakan pilihan kata, yakni mendorong pelajar untuk mengembangkan strategi dalam penjumlahan dan pengurangan. Begitu pula dari kurikulum di Qatar yakni "memilih, menggunakan, dan menjelaskan metode penjumlahan dan pengurangan..."
Pada kelas 12, lanjut Iwan, siswa bahkan diajak untuk membuat dugaan dengan kalimat kemungkinan seperti "bagaimana jika..." dan "bagaimana jika tidak..."
"Dari sini bisa terlihat, manusia seperti apakah yang ingin dibentuk melalui Kurikulum 2013," tutur Iwan.
Kembali lagi ke Indonesia, Iwan justru melihat Kurikulum 2004 justru lebih membebaskan peserta didiknya. Misalnya, penjelasan yang menggunakan bahasa "merancang dan melakukan proses penyelesaian masalah dengan memilih atau menggunakan suatu strategi."
Bila ada nilai moral yang diselipkan, bahasanya lebih universal seperti "menunjukkan sikap gigih dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah"
Terkait nilai moral, Iwan mengkhawatirkan bahasa yang digunakan dalam Kurikulum 2013 ini seperti ditemui pada pelajaran ekonomi kelas XI, yakni penjelasan kompetensi dasar 1 berbunyi "melakukan kegiatan akuntansi berdasarkan ajaran agama yang dianut."
Sumber
Kompas Edukasi
Sayangnya, ujar Iwan, yang bisa ditangkap dari Kurikulum 2013 adalah siswa yang patuh, bukan siswa yang mampu berpikir inovatif. Itulah kesimpulan yang didapatkan sewaktu memeriksa dokumen Kurikulum 2013 yang beredar saat ini.
Dia menunjukkan matrik berisi kompetensi dasar dari pelajaran matematika untuk kelas I hingga VI. Semuanya diawali dengan kalimat "Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam..." yang berarti perintah agar siswa patuh.
"Padahal, bukan seperti itu matematika. Biarkan mereka mencari sendiri cara yang terbaik untuk menjawab persoalan," kata Iwan.
Dia mengisahkan Sam Ratulangi, pahlawan nasional yang dikenal sebagai tokoh multidimensional. Menurut Iwan, Sam Ratulangi memiliki cara tersendiri dalam penjumlahan, yakni mendahulukan bilangan yang besar kemudian diikuti yang kecil. Meski tidak sama dengan cara penjumlahan yang diajarkan saat itu, cara berpikir Sam Ratulangi harusnya ditiru oleh siswa, bukan malah dikekang.
Dia pun membandingkan Kurikulum 2013 itu dengan di Massachusetts, Amerika Serikat, yang menggunakan pilihan kata, yakni mendorong pelajar untuk mengembangkan strategi dalam penjumlahan dan pengurangan. Begitu pula dari kurikulum di Qatar yakni "memilih, menggunakan, dan menjelaskan metode penjumlahan dan pengurangan..."
Pada kelas 12, lanjut Iwan, siswa bahkan diajak untuk membuat dugaan dengan kalimat kemungkinan seperti "bagaimana jika..." dan "bagaimana jika tidak..."
"Dari sini bisa terlihat, manusia seperti apakah yang ingin dibentuk melalui Kurikulum 2013," tutur Iwan.
Kembali lagi ke Indonesia, Iwan justru melihat Kurikulum 2004 justru lebih membebaskan peserta didiknya. Misalnya, penjelasan yang menggunakan bahasa "merancang dan melakukan proses penyelesaian masalah dengan memilih atau menggunakan suatu strategi."
Bila ada nilai moral yang diselipkan, bahasanya lebih universal seperti "menunjukkan sikap gigih dan percaya diri dalam menyelesaikan masalah"
Terkait nilai moral, Iwan mengkhawatirkan bahasa yang digunakan dalam Kurikulum 2013 ini seperti ditemui pada pelajaran ekonomi kelas XI, yakni penjelasan kompetensi dasar 1 berbunyi "melakukan kegiatan akuntansi berdasarkan ajaran agama yang dianut."
Sumber
Kompas Edukasi