Opini Petisi untuk Wapres
Oleh Acep Iwan Saidi
KOMPAS.com - Selamat pagi, Pak Wakil Presiden. Ketika tahun lalu Anda menulis esai bertajuk ”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27 Agustus 2012), harapan mengenai perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik membuncah di benak saya.
Bukan semata-mata karena gagasan Anda yang brilian pada tulisan itu, melainkan yang utama dan pertama adalah kebesaran hati Anda untuk berkenan menyapa publik, rakyat yang Anda pimpin. Sudah terlalu lama kita tidak mendengar ”suara intelektual” seorang pemimpin di ruang publik melalui sebuah tulisan.
Anda pun ternyata bukan sekadar menulis, melainkan juga mengambil tanggung jawab untuk merealisasikan gagasan tersebut dengan membentuk Tim Kurikulum 2013, tentu saja melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sungguh pekerjaan yang mulia. Kurikulum adalah kompas bagi dunia pendidikan. Jika kita yakin pendidikan merupakan fondasi kehidupan, jelas kurikulum adalah petunjuk arah ke mana bangsa ini akan melangkah.
Kita semua tahu belaka hasil kerja Tim Kurikulum itu menuai banyak masalah. Pro dan kontra terjadi. Sebagian pihak memang menganggap itu hal biasa ketika kita mau mengadakan perubahan. Namun, saya tidak sepakat. Sekecil apa pun derau hendaknya disikapi. Ini bukan soal politik. Jangan sampai keputusan pemberlakuan kurikulum berdasar pada perbandingan jumlah yang pro dan kontra, sebagaimana sinyalnya telah dikirim Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah beberapa waktu lalu. Bahwa, kurikulum akan tetap dijalankan sebab jumlah yang mendukung lebih banyak daripada yang menolak (Kompas, 14/2).
Pak Wakil Presiden, bagi saya soalnya bukan pada pro dan kontra sedemikian, tetapi pada sebatas mana kurikulum tersebut dapat dijelaskan ”secara rasional” kepada publik. Saya melihat Mendikbud tidak bekerja dalam nalar demikian, tetapi cenderung memilih mekanisme defensif dalam kebersikukuhan kuasa. Ia memang melakukan uji publik, tapi tampak istilah ini hanya nama lain dari sosialisasi.
Sebagai sebuah sosialisasi, kurikulum tetap akan dijalankan. Apa pun tanggapan publik. Dengan kata lain, uji publik hanya sebuah alibi untuk legitimasi politik bahwa kurikulum telah mendapat persetujuan publik.
Simplifikasi
Faktanya, Kurikulum 2013 memang layak dipertanyakan. Berikut saya tunjukkan beberapa bagian pada bidang yang sesuai dengan konsentrasi studi saya, yakni pelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang sekolah dasar, yang secara lebih jauh ditinjau dalam perspektif kebudayaan. Saya berharap hal ini bisa menjadi perhatian Pak Wapres.
Pada bagian Kompetensi Inti (KI) bidang studi Bahasa Indonesia tertulis empat KI, yakni: ”(1) Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya; (2) Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru; (3) Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah; dan (4) Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia”.
Empat KI ini sama untuk seluruh kelas (I-VI). Dalam dunia tulis-menulis, kita biasa mengatakan kasus semacam ini dengan istilah tempel-salin (copy-paste).
Empat KI yang sama tiap kelas tersebut dikembangkan menjadi beberapa kompetensi dasar (KD) yang sangat formalistik. Untuk KI pertama terdapat dua KD; KI kedua sampai keempat masing-masing lima KD. Itu untuk kelas I-V. Untuk kelas VI, KI pertama dua KD; KI kedua sampai keempat masing-masing empat KD.
Sekilas perumusan itu mungkin tak bermasalah. Namun, ditelaah lebih jauh tampak bagaimana pola pikir positivisme menjadi basis dan membelenggu kurikulum ini. Soal kemanusiaan (bahasa) direduksi atau disimplifikasi dengan penyeragaman pada lapis permukaan. Jadi, apa bedanya Kurikulum 2013 dengan kurikulum lama jika dasar ontologi dan efistemologinya sama. Tentu yang berbeda hanyalah kemasannya. Di samping itu, pola tersebut juga menjadi kontradiktif dengan semangat yang sering digemborkan, yakni menciptakan siswa kreatif dan berkarakter.
Petisi
Baiklah, Pak Wapres, meskipun rumusan KI dan KD tersebut tetap harus diperdebatkan, saya tidak ingin memperpanjangnya. Sekarang tolong perhatikan dengan saksama isi dari tiap KI yang dikutip di atas. Saya pikir, ”barang siapa” yang berpikir dengan jernih pasti tidak akan pernah mengerti, bagaimana mungkin sebuah bidang studi yang dinamai Bahasa Indonesia, di dalam KI-nya tidak sedikit pun bicara inti pelajaran Bahasa Indonesia. Demikian halnya dalam KD-nya (silakan Bapak periksa sebab tidak mungkin dikutip di sini).
Jika dipersingkat, studi saya atas kurikulum bidang pelajaran Bahasa Indonesia sampai pada kesimpulan bahwa secara substansial sebenarnya bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Bahasa Indonesia hanya disikapi sebagai alat dalam sebuah bidang studi yang dinamai Pelajaran Bahasa Indonesia. Perhatikan, misalnya, salah satu KD untuk kelas VI adalah ”memiliki kepedulian dan tanggung jawab tentang ciri khusus makhluk hidup dan lingkungan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia”.
Saya mengerti Kurikulum 2013 bersifat integratif sehingga dalam KD di atas pengetahuan alam diintegrasikan ke dalam bidang studi Bahasa Indonesia (meskipun terkesan mengada- ada). Namun, nama sebuah bidang studi adalah pusat dari berbagai disiplin yang diintegrasikan pada bidang bersangkutan. Jadi, untuk pelajaran Bahasa Indonesia, pokok kalimat KI dan KD-nya harus bahasa Indonesia. Pada kasus KD tadi, memiliki kepedulian dan tanggung jawab melalui pemanfaatan bahasa jelas berbeda dengan memahami bahasa untuk memiliki kepedulian dan tanggung jawab. Yang terakhir itulah yang mestinya menjadi KD bidang studi Bahasa Indonesia.
Baiklah, Pak Wapres, ruang ini terlalu sempit untuk mengurut berbagai kekacauan pada kurikulum tersebut. Sebagai penutup, mewakili semua pihak yang mempertanyakan kurikulum ini, dengan tegas saya menyatakan menolak. Esai ini adalah sebuah petisi. Demi masa depan bangsa, mohon kiranya Bapak mempertimbangkan kembali pemberlakuan kurikulum ini. Masih banyak waktu. Saya kira kita sepakat bahwa tergesa-gesa justru sering mengurangi kecepatan.
Acep Iwan Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
Sumber
Kompas Edukasi
KOMPAS.com - Selamat pagi, Pak Wakil Presiden. Ketika tahun lalu Anda menulis esai bertajuk ”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27 Agustus 2012), harapan mengenai perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik membuncah di benak saya.
Bukan semata-mata karena gagasan Anda yang brilian pada tulisan itu, melainkan yang utama dan pertama adalah kebesaran hati Anda untuk berkenan menyapa publik, rakyat yang Anda pimpin. Sudah terlalu lama kita tidak mendengar ”suara intelektual” seorang pemimpin di ruang publik melalui sebuah tulisan.
Anda pun ternyata bukan sekadar menulis, melainkan juga mengambil tanggung jawab untuk merealisasikan gagasan tersebut dengan membentuk Tim Kurikulum 2013, tentu saja melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sungguh pekerjaan yang mulia. Kurikulum adalah kompas bagi dunia pendidikan. Jika kita yakin pendidikan merupakan fondasi kehidupan, jelas kurikulum adalah petunjuk arah ke mana bangsa ini akan melangkah.
Kita semua tahu belaka hasil kerja Tim Kurikulum itu menuai banyak masalah. Pro dan kontra terjadi. Sebagian pihak memang menganggap itu hal biasa ketika kita mau mengadakan perubahan. Namun, saya tidak sepakat. Sekecil apa pun derau hendaknya disikapi. Ini bukan soal politik. Jangan sampai keputusan pemberlakuan kurikulum berdasar pada perbandingan jumlah yang pro dan kontra, sebagaimana sinyalnya telah dikirim Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah beberapa waktu lalu. Bahwa, kurikulum akan tetap dijalankan sebab jumlah yang mendukung lebih banyak daripada yang menolak (Kompas, 14/2).
Pak Wakil Presiden, bagi saya soalnya bukan pada pro dan kontra sedemikian, tetapi pada sebatas mana kurikulum tersebut dapat dijelaskan ”secara rasional” kepada publik. Saya melihat Mendikbud tidak bekerja dalam nalar demikian, tetapi cenderung memilih mekanisme defensif dalam kebersikukuhan kuasa. Ia memang melakukan uji publik, tapi tampak istilah ini hanya nama lain dari sosialisasi.
Sebagai sebuah sosialisasi, kurikulum tetap akan dijalankan. Apa pun tanggapan publik. Dengan kata lain, uji publik hanya sebuah alibi untuk legitimasi politik bahwa kurikulum telah mendapat persetujuan publik.
Simplifikasi
Faktanya, Kurikulum 2013 memang layak dipertanyakan. Berikut saya tunjukkan beberapa bagian pada bidang yang sesuai dengan konsentrasi studi saya, yakni pelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang sekolah dasar, yang secara lebih jauh ditinjau dalam perspektif kebudayaan. Saya berharap hal ini bisa menjadi perhatian Pak Wapres.
Pada bagian Kompetensi Inti (KI) bidang studi Bahasa Indonesia tertulis empat KI, yakni: ”(1) Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya; (2) Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru; (3) Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, sekolah; dan (4) Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia”.
Empat KI ini sama untuk seluruh kelas (I-VI). Dalam dunia tulis-menulis, kita biasa mengatakan kasus semacam ini dengan istilah tempel-salin (copy-paste).
Empat KI yang sama tiap kelas tersebut dikembangkan menjadi beberapa kompetensi dasar (KD) yang sangat formalistik. Untuk KI pertama terdapat dua KD; KI kedua sampai keempat masing-masing lima KD. Itu untuk kelas I-V. Untuk kelas VI, KI pertama dua KD; KI kedua sampai keempat masing-masing empat KD.
Sekilas perumusan itu mungkin tak bermasalah. Namun, ditelaah lebih jauh tampak bagaimana pola pikir positivisme menjadi basis dan membelenggu kurikulum ini. Soal kemanusiaan (bahasa) direduksi atau disimplifikasi dengan penyeragaman pada lapis permukaan. Jadi, apa bedanya Kurikulum 2013 dengan kurikulum lama jika dasar ontologi dan efistemologinya sama. Tentu yang berbeda hanyalah kemasannya. Di samping itu, pola tersebut juga menjadi kontradiktif dengan semangat yang sering digemborkan, yakni menciptakan siswa kreatif dan berkarakter.
Petisi
Baiklah, Pak Wapres, meskipun rumusan KI dan KD tersebut tetap harus diperdebatkan, saya tidak ingin memperpanjangnya. Sekarang tolong perhatikan dengan saksama isi dari tiap KI yang dikutip di atas. Saya pikir, ”barang siapa” yang berpikir dengan jernih pasti tidak akan pernah mengerti, bagaimana mungkin sebuah bidang studi yang dinamai Bahasa Indonesia, di dalam KI-nya tidak sedikit pun bicara inti pelajaran Bahasa Indonesia. Demikian halnya dalam KD-nya (silakan Bapak periksa sebab tidak mungkin dikutip di sini).
Jika dipersingkat, studi saya atas kurikulum bidang pelajaran Bahasa Indonesia sampai pada kesimpulan bahwa secara substansial sebenarnya bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Bahasa Indonesia hanya disikapi sebagai alat dalam sebuah bidang studi yang dinamai Pelajaran Bahasa Indonesia. Perhatikan, misalnya, salah satu KD untuk kelas VI adalah ”memiliki kepedulian dan tanggung jawab tentang ciri khusus makhluk hidup dan lingkungan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia”.
Saya mengerti Kurikulum 2013 bersifat integratif sehingga dalam KD di atas pengetahuan alam diintegrasikan ke dalam bidang studi Bahasa Indonesia (meskipun terkesan mengada- ada). Namun, nama sebuah bidang studi adalah pusat dari berbagai disiplin yang diintegrasikan pada bidang bersangkutan. Jadi, untuk pelajaran Bahasa Indonesia, pokok kalimat KI dan KD-nya harus bahasa Indonesia. Pada kasus KD tadi, memiliki kepedulian dan tanggung jawab melalui pemanfaatan bahasa jelas berbeda dengan memahami bahasa untuk memiliki kepedulian dan tanggung jawab. Yang terakhir itulah yang mestinya menjadi KD bidang studi Bahasa Indonesia.
Baiklah, Pak Wapres, ruang ini terlalu sempit untuk mengurut berbagai kekacauan pada kurikulum tersebut. Sebagai penutup, mewakili semua pihak yang mempertanyakan kurikulum ini, dengan tegas saya menyatakan menolak. Esai ini adalah sebuah petisi. Demi masa depan bangsa, mohon kiranya Bapak mempertimbangkan kembali pemberlakuan kurikulum ini. Masih banyak waktu. Saya kira kita sepakat bahwa tergesa-gesa justru sering mengurangi kecepatan.
Acep Iwan Saidi Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
Sumber
Kompas Edukasi