SNMPTN Tulis Dihapus, Buka Celah Sekolah "Bermain"

SEMARANG, KOMPAS.com — Pakar pendidikan Universitas Diponegoro Semarang Prof Eko Budihardjo menilai, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tulis masih dibutuhkan untuk mengukur kemampuan calon mahasiswa. Pernyataan ini menanggapi rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan menghapus ujian tulis SNMPTN pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2013 mendatang.

"Tes tulis dalam SNMPTN itu sifatnya prediktif dan memiliki standar karena soal yang diujikan sama untuk semua PTN," kata Eko, di Semarang, Senin (9/7/2012).

Menurut mantan Rektor Undip itu, tes tulis SNMPTN yang sifatnya prediktif dimaksudkan mengukur kemampuan calon mahasiswa sesuai program studi dan selama ini menjadi "saringan" calon mahasiswa untuk masuk ke PTN. Secara nasional, menurutnya, dengan standar yang sama perlu adanya keadilan bagi seluruh PTN dan peserta didik. Mengutamakan nilai rapor sebagai parameter, menurutnya, juga akan membuka celah kecurangan oleh sekolah.

Kalau SNMPTN undangan yang hanya mengandalkan nilai rapor sekolah, ada kecenderungan muncul ketidakadilan karena standar nilai antarsekolah tidak sama. Bahkan, untuk sekolah dalam satu wilayah
-- Eko Budihardjo

"Kalau SNMPTN undangan yang hanya mengandalkan nilai rapor sekolah, ada kecenderungan muncul ketidakadilan karena standar nilai antarsekolah tidak sama. Bahkan, untuk sekolah dalam satu wilayah," katanya.

Ia mencontohkan, sekolah yang selama ini dikenal favorit dengan sekolah nonfavorit yang ada di Kota Semarang memiliki standar nilai berbeda yang bergantung pada kualitas sekolah.

"Sistem semacam ini memberi peluang sekolah ’bermain’ dengan nilai rapor. Apakah nilai yang sama bisa disetarakan antara sekolah yang berprestasi dibandingkan yang tidak? Tentunya ini tidak adil," ujar Eko.

Sementara itu, jika dasar yang digunakan adalah nilai ujian nasional (UN), Eko melihat nilai UN belum bisa dijadikan patokan untuk mengukur prestasi anak. Sebab, masih adanya kesenjangan kualitas pendidikan antardaerah masih terjadi.

"Jangankan beda daerah, seperti Jawa dan luar Jawa. Dalam satu kota pun kualitas pendidikan antarsekolah tidak sama dan terjadi kesenjangan. Pemerataan kualitas pendidikan ini harus dipikirkan dulu oleh pemerintah,"  paparnya.

Apalagi, pola yang disiapkan sebagai pengganti ujian tulis adalah memperbesar kuota melalui jalur undangan. Menurutnya, cara ini tidak sejalan dengan tujuan pemerataan pendidikan karena berpotensi menonjolkan sikap primordialisme.

"Ya kalau yang diundang sekolahnya merata dari seluruh daerah, kalau yang diundang hanya sekolah-sekolah di daerah itu saja? Bisa-bisa nanti Undip misalnya, mahasiswanya dari Jawa Tengah saja," kata Eko. 

Sumber
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar