Menghabiskan Masa Pensiun dengan Mengajar



Indra Akuntono | Lusia Kus Anna |


LOMBOK, KOMPAS.com - Pada mulanya Asmayati berniat menghabiskan masa pensiunnya di kampung halamannya, Desa Lembar, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, sambil menikmati masa tuanya. Namun prihatin dengan kondisi masyarakat sekitar yang kebanyakan buta aksara, ia memutuskan berbuat sesuatu.

Asmayati, atau akrab disapa Yati, kemudian mengubah rumah pribadinya menjadi tempat kegiatan belajar membaca dan berhitung bagi warga sekitar. Di kemudian hari rumah itu dinamai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) An Nur.

"Waktu saya kembali dari Jakarta tahun 2007, semua warga di sini mengganggap saya orang kaya karena mengenakan tas bagus," kata Yati.

Ia mengungkapkan, keterbatasan ekonomi membuat warga di desa tersebut tak bisa mengenyam pendidikan. "Angka buta aksara masih tinggi. Banyak warga yang sudah berusia di atas 15 tahun yang belum bisa calistung," ungkapnya.

Yati kemudian menjadikan seluruh area rumahnya mulai dari halaman depan sampai belakang, kecuali satu kamarnya, sebagai tempat belajar puluhan warga sekitar.

PKBM An Nur kemudian berkembang pesat. Tidak hanya mengajarkan calistung di kelas Keaksaraan Fungsional (KF) Dasar pada masyarakat berusia di atas 15 tahun, PKBM ini juga menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM). PKBM An Nur juga menyediakan koperasi simpan pinjam tanpa bunga khusus untuk setiap warga belajarnya.

Melalui kelas Keaksaraan Fungsional, setiap warga akan dikenalkan dan diajak mengenal huruf serta angka. Nantinya, setiap warga belajar dimungkinkan memperoleh Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) yang dapat digunakan sebagai tiket mengikuti KUM.

Di dalam KUM, setiap warga diajarkan berbagai keterampilan membuat aneka makanan yang dapat dijual untuk menambah penghasilan mereka seperti telur asin dan keripik.

Lokasinya yang tak begitu jauh dari pelabuhan Lembar, Lombok, juga menjadi magnet tersendiri bagi anak-anak marjinal yang putus sekolah dan terjerat dalam lingkaran narkoba. PKBM ini tak segan menampung anak-anak marjinal tersebut dan memberikan sejumlah fasilitas, salah satunya menyalurkan bakat melalui kesenian dan keterampilan bermain musik.

Namun, Yati juga berterus terang bahwa kegiatannya itu sempat mendapat penolakan dari sang suami yang berprofesi sebagai dokter di Jakarta. Apalagi karena ketiadaan ruang pribadi di rumah itu, sang suami terpaksa menginap di hotel setiap berkunjung ke Lombok.

"Sekalinya kita berkumpul, kita gunakan kamar tidur sebagai tempat makan. Ruang tamu saja kita tidak punya, semua disulap jadi area belajar," ujarnya.

Akan tetapi seiring waktu, akhirnya sang suami mulai terbiasa dengan kondisi rumah yang seperti itu. Kegiatan di PKBM terus berjalan bahkan terus mengalami peningkatan baik dari jumlah warga belajarnya maupun pengembangan materi pembelajarannya.

"Awalnya sempat jadi masalah, tapi setelah diberi penjelasan akhirnya suami saya mengerti. Saya berpesan, apalagi yang mau kita cari di usia yang sudah tidak muda lagi. Kegiatan ini memberikan kepuasan dan kebahagiaan tersendiri," ungkapnya.

Sumber
Kompas Edukasi
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar