Sekolah Butuh Pemimpin
Rabu, 25 Januari 2012 10:46 WIB
Sekolah butuh pemimpin, tapi tidak sebaliknya.
Pemimpin tak selalu butuh sekolah. Kalau sekolah tak ada pemimpin, pasti
sekolah tak punya arah & tujuan yang jelas. Jika sekolah kesulitan
merumuskan visi & misi, sesungguhnya tak ada pemimpin di sekolah.
Kepala sekolah adalah pimpinan bagi guru, siswa, orang tua siswa, & masyarakat sekitar sekolah. Pimpinan berbeda dengan pemimpin. Kepala sekolah bisa dimaknai pimpinan atau pemimpin. Namun, jika kepala sekolah tak punya sifat-sifat kepemimpinan, itu sebuah persoalan. Pemimpin bisa berada di posisi apa pun, tak mesti pegang jabatan. Jika pemimpin punya jabatan, kebijakannya bisa menebar kebaikan & manfaat bagi orang lain.
Mari selami makna dari peribahasa Arab berikut, “Sepasukan domba yang dipimpin seekor singa dapat mengalahkan sepasukan singa yang dipimpin seekor domba”. Pemimpin, penentu arah suatu organisasi. Visinya mesti jauh menatap masa depan, lebih banyak mendengar & melihat persoalan di sekitar, tak pernah berhenti berpikir. Tak ada pelajaran terbaik untuk memahami soal kepemimpinan, kecuali, menjadi seorang pemimpin.
“8 tahun lalu, sekolah ini PAGER KUMIS? Tahu kepanjangannya, Pak? Panas Gersang Kumuh Miskin,” urai Yayah Komariah, kepala sekolah SDN-P Bantarjati 9 Bogor, sekolah penerima Anugerah Adiwiyata Mandiri 2010. Ibarat peribahasa, hidup segan mati tak mau, sekolah ini dulunya sangat tak terawat.
Saya tak habis pikir jika halaman sekolah dipakai main layangan oleh remaja & warga masyarakat sekitar sekolah. Kalau di luar jam efektif belajar, tak masalah. Tapi bila dilakukan di jam efektif belajar, Anda mau bilang apa?
Guru mengajar alakadarnya saja. Kalau datang musim hujan, sekolah pasti ‘banjir air mata’. Ungkapan yang menyiratkan kesedihan mendalam karena kondisi lantai sekolah becek & berlumpur. Mirisnya, warga sekitar sekolah yang tergolong orang berpunya tak tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah itu. Sekolah tak punya daya tarik. Andai Anda ditugaskan memimpin sekolah ini, apa yang mesti diperbuat? Teori hanyalah teori jika tak bisa diterapkan dalam kenyataan hidup.
Bu Yayah Komariah, kepala sekolah berjiwa pemimpin. Tak boleh ada kata menyerah untuk meraih cita-cita. Pasti ada yang bisa dilakukan andai kita mau. Libatkan semua pihak dalam program sekolah agar rasa kepemilikannya ada dan semakin kuat. Langkah jitu seorang pemimpin.
Satu orang tua, satu pohon. Satu guru, satu pohon. Satu murid, satu pohon. Program unggulan di awal-awal masa kepemimpinan. Dengan program itu, sekolah yang tadinya dipandang sebelah mata, ternyata bisa menjuarai lomba sekolah hijau. Rejeki memang tak bisa ditukar. Kesan pertama yang begitu menggoda warga masyarakat sekitar sekolah. Kepercayaan sudah mulai tumbuh, tinggal mengelola modal penting itu untuk lakukan program pengembangan sekolah lainnya.
Paham kondisi sumber daya sekolahnya serba terbatas, maka hal itu dijadikan pemicu untuk semangat dalam berkarya. “Saya ingin sekolah ini bisa memberikan kontribusi dalam upaya pelestarian lingkungan,” pungkas ibu dari 3 anak ini.
Tanpa disadari, apa yang ada di isi kepala beliau, itulah sesungguhnya visi sekolah yang dipimpinnya. “Menjadi juara lomba sekolah berwawasan lingkungan itu gampang. Beli pohon-pohon hijau yang banyak, perbaiki infrastruktur sekolah. Tapi itu tak cukup. Paling penting, perilaku warga sekolah harus juga berubah untuk lebih peduli dengan lingkungan. Itu prinsip saya,” tegas Bu Yayah.
Memberikan contoh dengan perbuatan lebih sakti ketimbang dengan kata-kata. Beliau paham filosofi itu. Guru pasti malu datang terlambat karena beliau selalu datang lebih awal sebelum jam sekolah dimulai. Anak-anak sangat segan dengan sosok beliau. Mesti demikian, siswa-siswa sangat mengidolakan kepala sekolahnya.
Amat jarang kita temui kepala sekolah punya hubungan yang relatif dekat dengan siswa. Beliau tak segan menyapa, bahkan berdiskusi dengan siswa-siswinya di sela-sela waktu istirahat. Ruang kerjanya dipenuhi barang-barang bekas yang didaur ulang. Tas laptop terbuat dari plastik sabun cuci, kalender bekas digunakan sebagai tempat menyimpan foto-foto kegiatan sekolah, & beliau menyimpan rapih sampah-sampah plastik di sebuah tempat di sudut ruang kerjanya.
Menabung sampah, program yang dinamai & dilakoninya sendiri. Cermin perilaku yang mencintai lingkungan hidup. “Saya tidak suka banyak berteori, yang penting mah berbuat. Upaya pelestarian lingkungan hidup jangan sebatas dibahas di ruang diskusi, seminar, & forum-forum ilmiah. Mulai dari diri sendiri, itu langkah paling nyata melestarikan lingkungan,” tegas beliau.
Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum adalah soal kreativitasnya dalam membuat program sekolah. Semua tahu minyak jelantah bisa merusak kesehatan jika digunakan berulang-ulang untuk memasak. Tapi kalau dibuang begitu saja, sayang juga bukan? Beliau mengajak semua warga sekolah untuk mengumpulkannya kepada pihak sekolah. Sebulan rata-rata bisa terkumpul sebanyak 300 kilogram. Minyak ini kemudian dijual agar menghasilkan pendapatan bagi sekolah.
Sebentar, pendapatan itu buat apa? Ternyata, uang hasil penjualan minyak itu digunakan untuk warga sekolah yang membutuhkan. Ada orang tua siswa yang kekurangan uang untuk khitanan anaknya, ada siswa yang tak mampu beli seragam, ada orang tua yang mendapat musibah, maka uang itu digunakan untuk kegiatan sosial. Dari warga sekolah, oleh warga sekolah, & untuk warga sekolah. Fantastis.
Meski sudah sangat berhasil mengubah kondisi sekolah menjadi jauh lebih baik, beliau mengaku masih harus terus banyak belajar. Beliau termasuk orang yang sangat haus ilmu. Karena ilmu, beliau semakin paham apa yang mesti diperbuat untuk sekolahnya, serta kebijakan apa yang mesti diputuskan untuk kemajuan sekolahnya.
Hal itu pula yang membuat beliau selalu punya ide-ide segar untuk menghadapi tantangan sekolah dari masa ke masa. “Bulan depan kami diundang ke Jepang untuk menghadiri konferensi tentang lingkungan hidup. Salah satu siswa kami akan mempresentasikan hasil penelitiannya,” ujar beliau di akhir perbincangan.
Itulah pemimpin, cara berpikirnya tak seperti kebanyakan orang biasa. Saya terkesima, lalu segera tersadar, ilmu kepemimpinan telah saya dapatkan. Ilmu yang sangat kontekstual dari seorang guru kehidupan, sang pemimpin sekolah.
Asep Sapa'atTeacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa
Kepala sekolah adalah pimpinan bagi guru, siswa, orang tua siswa, & masyarakat sekitar sekolah. Pimpinan berbeda dengan pemimpin. Kepala sekolah bisa dimaknai pimpinan atau pemimpin. Namun, jika kepala sekolah tak punya sifat-sifat kepemimpinan, itu sebuah persoalan. Pemimpin bisa berada di posisi apa pun, tak mesti pegang jabatan. Jika pemimpin punya jabatan, kebijakannya bisa menebar kebaikan & manfaat bagi orang lain.
Mari selami makna dari peribahasa Arab berikut, “Sepasukan domba yang dipimpin seekor singa dapat mengalahkan sepasukan singa yang dipimpin seekor domba”. Pemimpin, penentu arah suatu organisasi. Visinya mesti jauh menatap masa depan, lebih banyak mendengar & melihat persoalan di sekitar, tak pernah berhenti berpikir. Tak ada pelajaran terbaik untuk memahami soal kepemimpinan, kecuali, menjadi seorang pemimpin.
“8 tahun lalu, sekolah ini PAGER KUMIS? Tahu kepanjangannya, Pak? Panas Gersang Kumuh Miskin,” urai Yayah Komariah, kepala sekolah SDN-P Bantarjati 9 Bogor, sekolah penerima Anugerah Adiwiyata Mandiri 2010. Ibarat peribahasa, hidup segan mati tak mau, sekolah ini dulunya sangat tak terawat.
Saya tak habis pikir jika halaman sekolah dipakai main layangan oleh remaja & warga masyarakat sekitar sekolah. Kalau di luar jam efektif belajar, tak masalah. Tapi bila dilakukan di jam efektif belajar, Anda mau bilang apa?
Guru mengajar alakadarnya saja. Kalau datang musim hujan, sekolah pasti ‘banjir air mata’. Ungkapan yang menyiratkan kesedihan mendalam karena kondisi lantai sekolah becek & berlumpur. Mirisnya, warga sekitar sekolah yang tergolong orang berpunya tak tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah itu. Sekolah tak punya daya tarik. Andai Anda ditugaskan memimpin sekolah ini, apa yang mesti diperbuat? Teori hanyalah teori jika tak bisa diterapkan dalam kenyataan hidup.
Bu Yayah Komariah, kepala sekolah berjiwa pemimpin. Tak boleh ada kata menyerah untuk meraih cita-cita. Pasti ada yang bisa dilakukan andai kita mau. Libatkan semua pihak dalam program sekolah agar rasa kepemilikannya ada dan semakin kuat. Langkah jitu seorang pemimpin.
Satu orang tua, satu pohon. Satu guru, satu pohon. Satu murid, satu pohon. Program unggulan di awal-awal masa kepemimpinan. Dengan program itu, sekolah yang tadinya dipandang sebelah mata, ternyata bisa menjuarai lomba sekolah hijau. Rejeki memang tak bisa ditukar. Kesan pertama yang begitu menggoda warga masyarakat sekitar sekolah. Kepercayaan sudah mulai tumbuh, tinggal mengelola modal penting itu untuk lakukan program pengembangan sekolah lainnya.
Paham kondisi sumber daya sekolahnya serba terbatas, maka hal itu dijadikan pemicu untuk semangat dalam berkarya. “Saya ingin sekolah ini bisa memberikan kontribusi dalam upaya pelestarian lingkungan,” pungkas ibu dari 3 anak ini.
Tanpa disadari, apa yang ada di isi kepala beliau, itulah sesungguhnya visi sekolah yang dipimpinnya. “Menjadi juara lomba sekolah berwawasan lingkungan itu gampang. Beli pohon-pohon hijau yang banyak, perbaiki infrastruktur sekolah. Tapi itu tak cukup. Paling penting, perilaku warga sekolah harus juga berubah untuk lebih peduli dengan lingkungan. Itu prinsip saya,” tegas Bu Yayah.
Memberikan contoh dengan perbuatan lebih sakti ketimbang dengan kata-kata. Beliau paham filosofi itu. Guru pasti malu datang terlambat karena beliau selalu datang lebih awal sebelum jam sekolah dimulai. Anak-anak sangat segan dengan sosok beliau. Mesti demikian, siswa-siswa sangat mengidolakan kepala sekolahnya.
Amat jarang kita temui kepala sekolah punya hubungan yang relatif dekat dengan siswa. Beliau tak segan menyapa, bahkan berdiskusi dengan siswa-siswinya di sela-sela waktu istirahat. Ruang kerjanya dipenuhi barang-barang bekas yang didaur ulang. Tas laptop terbuat dari plastik sabun cuci, kalender bekas digunakan sebagai tempat menyimpan foto-foto kegiatan sekolah, & beliau menyimpan rapih sampah-sampah plastik di sebuah tempat di sudut ruang kerjanya.
Menabung sampah, program yang dinamai & dilakoninya sendiri. Cermin perilaku yang mencintai lingkungan hidup. “Saya tidak suka banyak berteori, yang penting mah berbuat. Upaya pelestarian lingkungan hidup jangan sebatas dibahas di ruang diskusi, seminar, & forum-forum ilmiah. Mulai dari diri sendiri, itu langkah paling nyata melestarikan lingkungan,” tegas beliau.
Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum adalah soal kreativitasnya dalam membuat program sekolah. Semua tahu minyak jelantah bisa merusak kesehatan jika digunakan berulang-ulang untuk memasak. Tapi kalau dibuang begitu saja, sayang juga bukan? Beliau mengajak semua warga sekolah untuk mengumpulkannya kepada pihak sekolah. Sebulan rata-rata bisa terkumpul sebanyak 300 kilogram. Minyak ini kemudian dijual agar menghasilkan pendapatan bagi sekolah.
Sebentar, pendapatan itu buat apa? Ternyata, uang hasil penjualan minyak itu digunakan untuk warga sekolah yang membutuhkan. Ada orang tua siswa yang kekurangan uang untuk khitanan anaknya, ada siswa yang tak mampu beli seragam, ada orang tua yang mendapat musibah, maka uang itu digunakan untuk kegiatan sosial. Dari warga sekolah, oleh warga sekolah, & untuk warga sekolah. Fantastis.
Meski sudah sangat berhasil mengubah kondisi sekolah menjadi jauh lebih baik, beliau mengaku masih harus terus banyak belajar. Beliau termasuk orang yang sangat haus ilmu. Karena ilmu, beliau semakin paham apa yang mesti diperbuat untuk sekolahnya, serta kebijakan apa yang mesti diputuskan untuk kemajuan sekolahnya.
Hal itu pula yang membuat beliau selalu punya ide-ide segar untuk menghadapi tantangan sekolah dari masa ke masa. “Bulan depan kami diundang ke Jepang untuk menghadiri konferensi tentang lingkungan hidup. Salah satu siswa kami akan mempresentasikan hasil penelitiannya,” ujar beliau di akhir perbincangan.
Itulah pemimpin, cara berpikirnya tak seperti kebanyakan orang biasa. Saya terkesima, lalu segera tersadar, ilmu kepemimpinan telah saya dapatkan. Ilmu yang sangat kontekstual dari seorang guru kehidupan, sang pemimpin sekolah.
Asep Sapa'atTeacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/12/01/25/lyc55q-sekolah-butuh-pemimpin