Pendidikan yang Me(Wirausaha)Kan
DARI pemberitaan media,
kita dapat menyaksikan beragam inovasi para siswa sekolah di berbagai
bidang, mulai dari inovasi teknologi pertanian, robotik, energi
alternatif hingga mobil Kiat Esemka. Beragam inovasi tersebut
membuktikan, bangsa kita mempunyai potensi sumber daya manusia kreatif.
Potensi ini sesungguhnya jauh lebih berdampak luas dan menyejahterakan
masyarakat apabila pendidikan kita mampu menanamkan nilai dan karakter
kewirausahaan pada setiap anak didiknya.
Hingga saat ini, pendidikan kita cenderung hanya membekali siswa dengan kecakapan logika dan kecakapan teknis semata, sementara aspek ëpendidikan karakterí masih kurang. Karakter kewirausahaan dalam wujud keberanian dan kematangan berpikir, bersikap dan bertindak di segala bidang harus di terapkan dalam proses pendidikan
Di tengah sempitnya lapangan kerja, ternyata skill teknis saja tidak cukup. Kuota pegawai, karyawan maupun buruh tidak sebanding dengan lulusan sekolah menengah kita. Setiap siswa harus dibekali nilai kewirausahaan dalam wujud sistem pendidikan yang mendidik siswa menjadi seorang ëkonseptorí yang berani mengambil keputusan dengan kemandirian berpikir dan bersikap. Setelah lulus, setiap siswa diharapkan mempunyai keberanian (wira) dan rasa percaya diri untuk membuka usaha sendiri (berwiraswasta).
Setiap siswa yang telah lulus juga tidak hanya berebut mengisi lowongan kerja untuk menjadi karyawan, tukang teknis maupun buruh semata, namun juga berani membuka lapangan pekerjaan sendiri.
Pendidikan kewirausahaan dalam jangka panjang diharapkan mengurangi ekses ketergantungan kita pada beragam produk orang lain. Kemandirian wirausaha juga membuka peluang yang lebih besar untuk mendayagunakan potensi ekonomi, sosial hingga budaya yang kita miliki, sehingga keuntungan material maupun budaya menjadi lebih besar. Pendidikan seperti apakah yang mampu mewujudkannya?
Pendidikan yang ideal untuk mewujudkan cita-cita tersebut paling tidak harus memenuhi lima Poin. Pertama, pendidikan tidak hanya berhenti pada proses pengajaran (transfer pengetahuan) semata. Lebih dari itu, pendidikan harus mampu menjangkau aspek yang mendidik sikap mental percaya diri, peduli terhadap lingkungan sosial, berani bersikap dan mengambil inisiatif keputusan dengan orisinalitas pemikirannya sendiri.
Kedua, penerapan metode pembangunan pemikiran melalui ëgame pemikiraní dalam wujud kuis yang mewajibkan setiap siswa menyikapi setiap fenomena di masyarakat. Intinya setiap siswa harus mempunyai keberanian bersikap sendiri. Ketiga, penerapan metode penalaran kontekstual berupa tugas penyusunan formula problem solving (pemecahan permasalahan) yang terdapat di lingkungan terkecil sekalipun.
Keempat, penerapan metode simulasi ëkolaborasi sosialí dalam wujud bagaimana setiap siswa mampu memahami posisi perannya masing masing, pemetaan aktor, konstelasi kepentingan di dalamnya hingga bagaimana mereka menyusun pembagian peran bersama dalam sinergitas kerjasama yang padu. Kelima, sebagai langkah pamungkas, setiap sekolahan harus menjalin kerja sama dengan para praktisi wirausaha di berbagai bidang sebagai tutor konseling psikologis maupun tips praktis minat dan bakat siswa yang sangat beragam. Konseling ini tentunya tetap dalam bimbingan dan arahan guru bimbingan dan konseling (BK). q - o
(M Fatah Mustaqim, Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik Fisipol UGM).
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=139904&actmenu=43
Hingga saat ini, pendidikan kita cenderung hanya membekali siswa dengan kecakapan logika dan kecakapan teknis semata, sementara aspek ëpendidikan karakterí masih kurang. Karakter kewirausahaan dalam wujud keberanian dan kematangan berpikir, bersikap dan bertindak di segala bidang harus di terapkan dalam proses pendidikan
Di tengah sempitnya lapangan kerja, ternyata skill teknis saja tidak cukup. Kuota pegawai, karyawan maupun buruh tidak sebanding dengan lulusan sekolah menengah kita. Setiap siswa harus dibekali nilai kewirausahaan dalam wujud sistem pendidikan yang mendidik siswa menjadi seorang ëkonseptorí yang berani mengambil keputusan dengan kemandirian berpikir dan bersikap. Setelah lulus, setiap siswa diharapkan mempunyai keberanian (wira) dan rasa percaya diri untuk membuka usaha sendiri (berwiraswasta).
Setiap siswa yang telah lulus juga tidak hanya berebut mengisi lowongan kerja untuk menjadi karyawan, tukang teknis maupun buruh semata, namun juga berani membuka lapangan pekerjaan sendiri.
Pendidikan kewirausahaan dalam jangka panjang diharapkan mengurangi ekses ketergantungan kita pada beragam produk orang lain. Kemandirian wirausaha juga membuka peluang yang lebih besar untuk mendayagunakan potensi ekonomi, sosial hingga budaya yang kita miliki, sehingga keuntungan material maupun budaya menjadi lebih besar. Pendidikan seperti apakah yang mampu mewujudkannya?
Pendidikan yang ideal untuk mewujudkan cita-cita tersebut paling tidak harus memenuhi lima Poin. Pertama, pendidikan tidak hanya berhenti pada proses pengajaran (transfer pengetahuan) semata. Lebih dari itu, pendidikan harus mampu menjangkau aspek yang mendidik sikap mental percaya diri, peduli terhadap lingkungan sosial, berani bersikap dan mengambil inisiatif keputusan dengan orisinalitas pemikirannya sendiri.
Kedua, penerapan metode pembangunan pemikiran melalui ëgame pemikiraní dalam wujud kuis yang mewajibkan setiap siswa menyikapi setiap fenomena di masyarakat. Intinya setiap siswa harus mempunyai keberanian bersikap sendiri. Ketiga, penerapan metode penalaran kontekstual berupa tugas penyusunan formula problem solving (pemecahan permasalahan) yang terdapat di lingkungan terkecil sekalipun.
Keempat, penerapan metode simulasi ëkolaborasi sosialí dalam wujud bagaimana setiap siswa mampu memahami posisi perannya masing masing, pemetaan aktor, konstelasi kepentingan di dalamnya hingga bagaimana mereka menyusun pembagian peran bersama dalam sinergitas kerjasama yang padu. Kelima, sebagai langkah pamungkas, setiap sekolahan harus menjalin kerja sama dengan para praktisi wirausaha di berbagai bidang sebagai tutor konseling psikologis maupun tips praktis minat dan bakat siswa yang sangat beragam. Konseling ini tentunya tetap dalam bimbingan dan arahan guru bimbingan dan konseling (BK). q - o
(M Fatah Mustaqim, Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik Fisipol UGM).
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=139904&actmenu=43