Ujian Nasional: Kejujuran yang Semu
BOCORNYA kunci jawaban Ujian Nasional (UN)
selalu terjadi setiap tahun. Kisah ini pun ibarat ritual yang hampir
tidak bisa dipisahkan dengan UN. Di satu sisi, Kemendikbud menuntut
kejujuran siswa dalam mengikuti UN. Di sisi lain, siswa memperjuangkan
hak–hak mereka yang dirasa telah “dirampas” oleh UN dengan melakukan
berbagai hal, termasuk berbuat curang.
Tentu Anda masih mengingat ketika 2010 lalu Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan perihal UN. MA melarang UN yang digelar Kemendikbud, ketika itu masih bernama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Alasannya, para tergugat, yakni presiden, wakil presiden, menteri pendidikan nasional, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah lalai memenuhi kebutuhan hak manusia di bidang pendidikan dan mengabaikan peningkatan kualitas guru.Tetapi sampai saat ini, pemerintah tetap melaksanakan UN sebagai perangkat kelulusan siswa. Kenyataan ini adalah bukti ketidakjujuran pemerintah.
Guru memiliki kisah tersendiri dalam dunia pendidikan Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) banyak guru di Indonesia yang menggunakan uang pelicin (ketidakjujuran). Hal ini tidak hanya terjadi ketika ujian menjadi PNS, tetapi juga ketika pelaksanaan program sertifikasi guru. Di era internet saat ini tentunya arus informasi akan sangat mudah didapatkan oleh siswa, dan mereka tentu mengetahui kisah ketidakjujuran para guru di Indonesia ketika mengikuti ujian PNS ataupun sertifikasi guru.
Perlu kita pahami tujuan pendidikan nasional dalam UUD ‘45 Pasal 31, ayat 3 yang menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dan diperjelas lagi oleh UU Sisdiknas tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional dalam pasal 3, yakni:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam tujuan pendidikan nasional sangat jelas disebutkan, akhlak mulia adalah cita-cita dari pendidikan Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan ini, tentunya kita semua tidak hanya bisa memaksa para siswa untuk melakukan kejujuran ketika pemerintah dan para guru justru memberikan contoh buruk dengan melakukan ketidakjujuran terhadap siswa.
Prof Hamid Hasan dalam bukunya Menggugat Ujian Nasional mengatakan bahwa mutu pendidikan itu ditentukan oleh lingkungan belajar yang bermutu. Lingkungan bermutu tersebut terbentuk oleh berbagai faktor, antara lain faktor fasilitas mengajar, interaksi belajar, bahan belajar, dan suasana belajar. Bagaimana jadinya mengharapkan terbentuknya akhlak yang mulia lewat UN sementara lingkungannya mencontohkan para siswa untuk tidak jujur?
Saat ini pendidikan Indonesia memang tidak cukup hanya melakukan propaganda “Jujur Itu Hebat” ala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi para siswa membutuhkan teladan yang baik di lingkungan mereka belajar. Sudah menjadi tugas semua elemen baik pemerintah, guru, dan masyarakat untuk membentuk lingkungan yang nyata bagi para pelajar dalam upaya belajar menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Muhamad Ihsan
Mahasiswa Pendidikan Fisika
Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
(//rfa)
Tentu Anda masih mengingat ketika 2010 lalu Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan perihal UN. MA melarang UN yang digelar Kemendikbud, ketika itu masih bernama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Alasannya, para tergugat, yakni presiden, wakil presiden, menteri pendidikan nasional, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah lalai memenuhi kebutuhan hak manusia di bidang pendidikan dan mengabaikan peningkatan kualitas guru.Tetapi sampai saat ini, pemerintah tetap melaksanakan UN sebagai perangkat kelulusan siswa. Kenyataan ini adalah bukti ketidakjujuran pemerintah.
Guru memiliki kisah tersendiri dalam dunia pendidikan Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) banyak guru di Indonesia yang menggunakan uang pelicin (ketidakjujuran). Hal ini tidak hanya terjadi ketika ujian menjadi PNS, tetapi juga ketika pelaksanaan program sertifikasi guru. Di era internet saat ini tentunya arus informasi akan sangat mudah didapatkan oleh siswa, dan mereka tentu mengetahui kisah ketidakjujuran para guru di Indonesia ketika mengikuti ujian PNS ataupun sertifikasi guru.
Perlu kita pahami tujuan pendidikan nasional dalam UUD ‘45 Pasal 31, ayat 3 yang menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dan diperjelas lagi oleh UU Sisdiknas tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional dalam pasal 3, yakni:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam tujuan pendidikan nasional sangat jelas disebutkan, akhlak mulia adalah cita-cita dari pendidikan Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan ini, tentunya kita semua tidak hanya bisa memaksa para siswa untuk melakukan kejujuran ketika pemerintah dan para guru justru memberikan contoh buruk dengan melakukan ketidakjujuran terhadap siswa.
Prof Hamid Hasan dalam bukunya Menggugat Ujian Nasional mengatakan bahwa mutu pendidikan itu ditentukan oleh lingkungan belajar yang bermutu. Lingkungan bermutu tersebut terbentuk oleh berbagai faktor, antara lain faktor fasilitas mengajar, interaksi belajar, bahan belajar, dan suasana belajar. Bagaimana jadinya mengharapkan terbentuknya akhlak yang mulia lewat UN sementara lingkungannya mencontohkan para siswa untuk tidak jujur?
Saat ini pendidikan Indonesia memang tidak cukup hanya melakukan propaganda “Jujur Itu Hebat” ala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi para siswa membutuhkan teladan yang baik di lingkungan mereka belajar. Sudah menjadi tugas semua elemen baik pemerintah, guru, dan masyarakat untuk membentuk lingkungan yang nyata bagi para pelajar dalam upaya belajar menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Muhamad Ihsan
Mahasiswa Pendidikan Fisika
Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
(//rfa)
Sumber