Opini Kurikulum Pendidikan Haruslah Memberi Tantangan bagi Siswa


Oleh Suyanto
KOMPAS.com - Para ilmuwan tanpa mengenal lelah telah meneliti berbagai faktor penting yang berkontribusi pada kesuksesan hidup. Mereka tertarik mencari faktor penentu yang secara signifikan bisa digunakan untuk memprediksi sukses kehidupan.

Dari penelitian itu ditemukanlah faktor-faktor penting yang ikut menyumbang kesuksesan seseorang. Faktor-faktor penentu sukses itu akhirnya diterjemahkan oleh para ahli pendidikan ke dalam kurikulum dan program pembelajaran.

Pendek kata, dengan ditemukannya faktor penentu sukses itu, dunia pendidikan juga ikut berlomba-lomba dan berkontemplasi untuk merumuskan filosofi, paradigma, strategi, dan metodologi pembelajaran. Pada gilirannya, rumusan itu digunakan untuk mengonstruksi kurikulum yang mampu memberi bekal ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik untuk mendaki kesuksesan hidup.

Faktor signifikan yang telah mendapat perhatian luas untuk memprediksi sukses seseorang, antara lainintelligence quotient (IQ, kecerdasan otak) dan emotional quotient (EQ, kecerdasan emosional). Kecerdasan yang disebut terakhir, oleh penemunya, Daniel Goleman (1995), diberi nama emotional intelligence, bukan emotional quotient.

Kelahiran EQ membuat arah baru pendidikan secara luas. Sebab, dalam banyak penelitian terbukti IQ tak lagi menjadi satu-satunya prediktor sukses peserta didik di masa datang.

Sebelum muncul EQ, IQ-lah yang didewa-dewakan dunia pendidikan untuk mempermudah pekerjaan pembelajaran dalam memberi bekal atau virus sukses peserta didik atau bahkan mahasiswa sekalipun. Implikasinya, pengembangan kurikulum hampir di seluruh dunia pada era jayanya IQ selalu berorientasi pada upaya bagaimana mengemas program pembelajaran yang bisa memberikan kecerdasan otak secara maksimal kepada para peserta didik.

Setelah EQ ditemukan oleh Goleman, kurikulum serta-merta harus dan mutlak memperhatikan faktor-faktor non-kognitif, seperti kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual, pengendalian emosi, dan memahami emosi orang lain. Bahkan, Goleman mengklaim IQ hanya berkontribusi 20 persen terhadap kesuksesan peserta didik setelah mereka hidup dalam masyarakat nantinya. Ternyata 80 persen justru ditentukan oleh faktor lain di luar IQ, di mana EQ masuk di dalamnya secara signifikan.

Oleh karena itu, jika suatu bangsa ingin membuat kurikulum yang bisa mengantarkan para peserta didik jadi orang sukses, kurikulum itu juga harus memberikan menu belajar yang mencakup aspek lain selain kecerdasan, seperti sikap, perilaku, kepribadian, keberagamaan, budi pekerti, dan kecerdasan otot (muscle memory).

Bahkan, praksis pendidikan di Jepang memasukkan aspek memori dan kecerdasan otot dalam kurikulumnya sejak kelas I dan II SD melalui aktivitas otot (keterampilan) dalam bentuk kegiatan origami secara intensif. Origami mampu menanamkan kepada para siswa sifat dan sikap kreatif, inovatif, sekaligus membangun kecerdasan/ingatan otot para siswa.

 ”Adversity quotient”
Sudah lengkapkah prediktor kesuksesan yang bisa dikemas dalam kurikulum setelah adanya penemuan IQ, EQ—juga spiritual intelligent (SQ, kecerdasan spritual), dan kecerdasan otot? Ternyata belum! Dunia ilmu pengetahuan tetap melakukan penelitian untuk membuat prediktor kesuksesan memiliki daya prediksi yang makin robust, semakin kecil kesalahannya sampai mencapai derajat kepercayaan 99 persen. Atau tingkat koefisien alpha 0,01 jika kita meminjam terminologi uji signifikansi statistik inferensial. Prediktor baru itu adalah adversity quotient (AQ).

Dua tahun setelah Daniel Goleman menemukan EQ, muncullah AQ yang ditemukan oleh Paul Stoltz (1997). Aplikasi AQ dalam proses pendidikan memang belum seluas aplikasi EQ dan SQ. Saat ini, AQ banyak diaplikasikan dalam perusahaan besar untuk kepentingan rekrutmen dan pelatihan pegawainya.

Dunia pendidikan juga harus memanfaatkan temuan Paul Stoltz ini. Mengapa demikian? Karena AQ pada hakikatnya merupakan kapasitas seseorang untuk menghadapi berbagai bentuk tekanan dan ketidaknyamanan hidup dalam situasi tertentu.

Orang yang AQ-nya tinggi akan tahan banting, dalam arti fisik, mental, dan kejernihan berpikir. Lebih penting lagi, ia segera bisa kembali ke keadaan normal setelah berhadapan dengan berbagai tekanan dan tantangan. Sebaliknya, orang yang AQ rendah akan selalu menyalahkan lingkungan ketika dia gagal sehingga dia tidak dapat mengambil keputusan untuk menuju sukses. Bidang keilmuan AQ ditopang tiga pilar utama: psychoneuroimmunology, neuropsychology, dan cognitive psychology.

Orang hidup tak ada yang bebas dari tekanan dan tantangan. Dokter punya tekanan saat di meja operasi, wartawan memiliki tekanan dan tantangan ketika harus menghadapi tenggat berita, menteri dan presiden selalu menghadapi tekanan dari ekspektasi masyarakat. Siswa pun selalu menghadapi tekanan dan tantangan ketika harus belajar materi baru yang jauh lebih sulit, datang dan pulang tepat waktu, dan menyerahkan tugas individu serta kelompok. Kalau semua tekanan itu berhasil dilewati, sukseslah mereka. Kalau gagal, akan reduplah suasana hati dan pikiran saat itu.

Hidup adalah tantangan


Oleh sebab itu, kapasitas untuk bisa menghadapi berbagai tekanan harus diajarkan dan dilatih sejak mereka duduk di bangku sekolah. Siswa perlu mengalami sendiri berbagai prosedur serta proses ilmu dan pengetahuan. Kerena itu, kegiatan mengamati, bertanya, menalar, bereksperimentasi, juga pengalaman membangun jejaring perlu diakomodasikan dalam sebuah kurikulum.

Dengan cara seperti itu, siswa akan bisa merespons berbagai kemungkinan dan tekanan hidupnya kelak setelah hidup dalam masyarakat. Respons positif terhadap tekanan yang dihadapi siswa akan memberi jalan kepada kesuksesan hidup kelak.

Belajar tidak cukup hanya yang bersifat menyenangkan, tetapi juga harus menantang bagi siswa kita. Mengapa begitu? Karena hidup identik dengan tantangan.

Kurikulum dan proses pembelajaran perlu memberi tempat yang cukup agar siswa bisa melakukan observasi, analisis, hipotesis, sintesis, dan mencari solusi terhadap tantangan yang dihadapi dalam proses belajarnya. Sebab, pada saatnya nanti, meminjam konsepnya Jerome Brunne, para siswa akan melakukan apa yang disebutnya transfer of learning and principles dalam kehidupan nyata.

Jadi, belajar tidak cukup dengan pendekatan yang menyenangkan semata. Selebihnya, harus menantang agar siswa bisa berlatih untuk membangun AQ-nya. Semoga begitu.


Suyanto, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber
Kompas Edukasi
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar