Distribusi Naskah UN di DIY Sedikit Terlambat


Ivan Aditya
 
 
 
Bagian naskah UN yang telah didistribusikan. (Foto : Rani Dwi Lestari)
YOGYA (KRjogja.com) - Distribusi naskah soal Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/MA dan SMK di DIY hari ini sedikit terlambat dari waktu yang dijadwalkan. Meski demikian, hal tersebut dianggap tidak menjadi kendala berarti karena soal baru akan diambil oleh pihak sekolah pada Senin (18/4) pagi.
Pantauan KRjogja.com di pokja sub rayon 1 SMAN 3 Yogyakarta, Sabtu (16/4) hingga pukul 10.55 WIB, naskah soal UN baru saja sampai. Padahal, sesuai rencana semula kedatangan dijadwalkan pukul 10.15 WIB.
Ketua pokja sub rayon 1 SMAN 3 Yogyakarta, Drs Dwi Rini Wulandari mengungkapkan, pihaknya tidak terlalu mempermasalahkan keterlambatan distribusi soal kali ini. Pasalnya, pihaknya diberi waktu sepanjang hari ini untuk menunggu kedatangan soal.
"Informasinya sudah berangkat dari percetakan dan baru sampai di lokasi pertama pengiriman. Mungkin karena perjalanan yang memakan waktu dan cuaca sedikit hujan. Tetapi ini tidak masalah," ujarnya di sekolah setempat, Sabtu (16/4).
Menurutnya, sub rayon 1 membawahi penyimpanan naskah soal UN untuk 14 sekolah. Dalam pengamanan selama penyimpanan, pihaknya telah mempersiapkan beberapa personil penjaga termasuk ruang penyimpaanan yang dipastikan aman.
"Di sini akan dijaga polisi, satpam dan tim dari pokja selama 24 jam. Di tiap shift penjagaan ada sekitar 2 personil kepolisian. Nantinya naskah soal akan disimpan di lemari khusus dengan 2 kunci yang dibawa oleh ketua pokja dan satu dibawa pengawas pokja," katanya.
Dihubungi terpisah, koordinator UN DIY, Baskara Aji menuturkan, keterlambatan waktu pengiriman naskah soal UN bukan menjadi masalah besar selama pokja menerima dalah satu hari yang dijadwalkan. Pihaknya sendiri memang memberikan jadwal waktu tertentu agar pokja melakukan persiapan.
"Kita tidak mematok waktu tertentu, yang penting jadwalnya adalah hari Sabtu ini sudah sampai di tiap pokja. Paling tidak dengan adanya jadwal, tiap petugas di pokja sudah mempersiapkan diri. Jadi jangan sampai soal datang tapi sekolah malah belum siap," tuturnya.
Soal naskah sendiri mulai didistribusikan dari percetakan sejak pukul 08.00 tadi. "Memang sampainya akan bervariasi tergantung jarak antar pokja. Yang jelas tidak akan ada masalah keterlambatan karena sekolah baru akan mengambilnya saat sebelum pelaksanaan UN Senin pagi," imbuhnya. (Ran)

Sumber
JRJogja

Jogja Animal Friends Protes Pameran Satwa 'The Jungle'


Danar Widiyanto | Sabtu, 24 Maret 2012 | 13:20 WIB | Dibaca: 146 | Komentar: 0
 
 
Jogja Animal Friends mendemo pelaksanaan pameran satwa 'The Jungle'. Foto: Deni H
BANTUL (KRjogja.com) - Beberapa orang dari Animal Friends Jogja hari ini melakukan unjuk rasa di gedung JEC, tempat pelaksanaan ajang "The Jungle: Jelajahi Belantara Kreasimu". Mereka menganggap ajang yang digelar 21 hingga 25 Maret ini sebagai praktek edukasi mengenai satwa yang salah.

"Ada buaya yang diletakkan dalam kandang kecil, tanpa akses ke air. Ada pula buaya yang diikat mulutnya, dan terlihat sangat stress. Ini sangat merugikan kondisi psikisnya, karena kebutuhan alamiahnya tidak diperhatikan," terang Amang, koordinator aksi, Sabtu (24/3).

Ia menegaskan, praktek edukasi yang benar dan aman bagi anak tentang kehidupan satwa liar adalah dengan memutar video dokumenter yang
menampilkan hewan di habitat aslinya. Bukan dengan menempatkan hewan pada habitat yang tidak sesuai aslinya.

"Kami mengimbau pihak Kebun Binatang Gembira Loka untuk memperhatikan kesejahteraan satwa, dengan tidak sekedar menjadikan satwa sebagai benda pajang saja," tandasnya.

Massa melakukan aksi dengan membisu, hanya membawa tulisan sembari menutup mulut menggunakan plester. Semula massa melakukan aksi di dalam area JEC, namun diusir satpam, sehingga aksi dipindah di luar halaman JEC.

Menanggapi aksi ini,Vira Nugraeni selaku EO (penyelenggara acara) menegaskan, apa yang dilakukannya merupakan upaya agar anak-anak cinta pada satwa. Dengan dikenalkan sejak dini, dan melihat langsung, anak-anak akan lebih mengenal satwa, tidak takut, sehingga lebih mudah mencintai.

"Kami tidak sembarangan menyelenggarakan acara. Niat kami baik, agar anak dapat mencintai binatang, tidak memukul atau membunuh hewan ketika dijumpai langsung," ujarnya.

Perwakilan Kebun Raya Kebun Binatang Gembira Loka Resti Anita menambahkan, semua satwa dari Gembira Loka yang dihadirkan disini diberi makan secara cukup, dan di-rolling (diganti) secara berkala. Acara inipun sudah mendapat izin dan diawasi Kementrian Kehutanan RI.

"Kemarin memang ada buaya yang sakit, sudah kami kembalikan, dan diganti buaya yang lain. Kami lembaga konservasi, tidak sekedar cari profit," tandasnya. (Den)

Sumber
KRJogja

Curang, 13 Sekolah SNMPTN Jalur Undangan di 'Black List'


Agus Sigit Cahyana
 
SOLO (KRjogja.com) - Terbukti melakukan kecurangan, 13 sekolah peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) 2012 Jalur Undangan diblack list panitia seleksi. Tidak disebutkan nama dan asal sekolah yang melakukan kecurangan, termasuk jumlah murid yang menjadi korban sekolah yang berbuat curang.

Pada 28 Mei mendatang masyarakat akan mengetahui sekolah yang terkena blacklist tersebut. Karena ketika hasil SNMPTN Jalur Undangan diumumkan ada sekolah yang siswanya tidak satu pun yang diterima. "Sesuai kesepakatan bersama, 13 sekolah yang curang memang tidak diumumkan. Namun pada 28 Mei saat hasilnya diumumkan masyarakat akan mengetahui," jelas Prof Dr Ravik Karsidi MS, Koodinator Humas SNMPTN Pusat.

sebelumnya ada 14 sekolah yang dicurigai berbuat curang. Namun setelah dilakukan klarifikasi, ternyata ada satu sekolah yang bebas atau dinyatakan tidak melakukan kecurangan. "Dengan demikian ada 13 sekolah yang dinyatakan tidak jujur. Sanksinya tahun ini tidak diolah. Sanksi berikutnya masih akan dipertimbangkan lagi apakah dua tahun berikutnya kena black-list."

Bagi siswa sekolah yang terkena black-list, lanjut Prof Ravik, tidak perlu risau. Karena mereka masih diberi kesempatan untuk bersaing memperebutkan kursi perguruan tinggi negeri melalui jalur ujian tulis SNMPTN. "Silakan nanti mendaftar mengikuti ujian tulis SNMPTN. Mereka masih diberi kesempatan. (Qom)

Sumber
KRJogja

Karakter Pendidikan di Yogyakarta Luntur?


Danar Widiyanto
 
 
Pembicara dalam Jogja Education Club (JEC) Putaran IV di Kampus UKDW. Foto: Rani DL

Kajur Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNY Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si mengungkapkan, ciri utama pendidikan di Yogayakarta dengan karakter populis kerakyatan bisa dilihat pada seluruh lembaga pendidikan di Yogyakarta yang mempunyai watak tersebut. Yakni bagaimana akademisi ikut berperan mengentaskan kemiskinan, peduli dengan persoalan seputar rakyat dan lainnya.

Namun menurutnya, dalam 15 tahun terakhir, karakter pendidikan yang populis tersebut mengalami penurunan dan pemudaran terutama dalam toleransi. Terdapat setidaknya dua entitas yang mempengaruhi diantaranya narasi besar agama yang dari Timur Tengah cukup intensif mempengaruhi penurunan toleransi.

"Pengaruh lain adalah kapitalisme dan modernisme yang mempengaruhi karakter Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang berwatak populis. Dalam konstelasi politik nasional, ada gejala naiknya politik Islam, terjadi santrinisasi birokrasi dan banyak hal lain," paparnya saat menjadi pembicara dalam Jogja Education Club (JEC) Putaran IV yang diselenggarakan KR di auditorium Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Selasa (20/3).

Ia menuturkan, pendidikan multikultural memang sangat berpotensi berkembang di Yogyakarta. Hanya saja salah satu syaratnya harus dipenuhi yakni mengembalikan kota Yogyakarta sebagai salah satu kota yang toleran dengan penguatan kebudayaan lokal. Hal ini berarti, melalui penguatan dan sentuhan lokal akan mampu menahan arus universalisme yang ditembuskan oleh dua kekuatan besar yang ekspansif baik itu agama ekspansif maupun kapitalisme global.

"Lembaga-lembaga perguruan tinggi perlu mengembangkan teori multikultural bukan saja mengedepankan dan memelihara keberagaman dan karakter populis. Pemerintah kota juga perlu mendorong berkembangnya pendidikan multikultural melalui serangkaian kebijakan misalnya memasukkan dalam kurikulum," ungkapnya.

Rektor UKDW Djohan, MEM, Ph.D, menuraikan, peningkatan kualitas pendidikan pada perguruan tinggi merupakan proses yang memerlukan waktu lama, dilaksanakan secara bertahap dan berjenjang. Dalam kompetisi di era global yang memiliki ukuran-ukuran prestasi suatu perguruan tinggi (misal Webometrics Ranking for World Universities), 50 National Promising Universities diharapkan perguruan tinggi tetap pada komitmen untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa melalui lulusan sarjana dan pasca sarjana serta temuan-temuan akademik (hasil riset, inovasi barang dan jasa).

"Tidak hanya sistem ranking dan akreditasi yang menunjukkan keberadaan dan pengakuan masyarakat terhadap perguruan tinggi. Ukuran daya saing bangsa dan kontribusi kepada masyarakat menegaskan posisi perguruan tinggi yang berperan banyak dalam pembangunan masyarakat dengan kekhasan karakternya di tengah kontribusi global," urainya.

Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti menambahkan, Yogyakarta sebagai kota pariwisata dan kota pendidikan berada pada persimpangan. Karena sebagai kota pariwisata, memiliki banyak akses hiburan seperti banyaknya kafe, dan jika berbicara kota pendidikan, hal tersebut menjadi kontradiktif.

"Satu hal yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita menjaga karakter pendidikan di Yogyakarta itu sendiri. Kebijakan pemkot dalam hal ini misalnya mengatur adanya pondokan untuk menjaga di Yogyakarta agar tidak ada free sex atau sex bebas. Misalnya dengan pajak sebagai alat kontrol pemerintah terhadap perilaku pelajar dan mahasiswa di Yogayakarta," tegasnya.

Pondokan sebagai wilayah transaksional, lanjut Haryadi, diatur sedemikian rupa agar tidak menjadi tempat transaksi narkoba dan berkembangnya isu terorisme. Asrama daerah di Yogyakarta juga tidak dinamakan asrama tetapi anjungan daerah yang mengangkat bukan pada warga satu tempat dan suku saja.

"Selain itu, kebijakan pemkot untuk mempertahankan karakter pendidikan di Yogyakarta adalah adanya Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dikembangkan untuk mengakomodir mahasiswa Perguruan Tinggi melakukan kegiatan di Yogyakarta. Secara personal dan empirik manfaatnya sangat besar bagi pengetahuan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam proses pembangunan," imbuhnya.

Sebelumnya, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X memaparkan, Yogyakarta sebagai kota pendidikan, memiliki tantangan lebih untuk dapat dirancang menjadi Yogyakarta provinsi pendidikan. Predikat tersebut dianggap akan menjadikan Yogyakarta mampu menggali potensi dan pilar-pilar pendidikan yang ada menjadi lebih dalam terutama dengan ciri khas pendidikan karakter.

"Yogya sebagai kota pendidikan itu sebuah pengakuan atau dirancang. Saya ingin menyatakan, bagaimana Yogyakarta bisa menjadi provinsi pendidikan. Kalaupun saya sebagai Gubernur harus buat SK untuk membentuk tim merancang Yogyakarta sebagai provinsi pendidikan, itu tidak masalah," tandas Sultan. (Aie)

Sumber
KRJOgja

Kuota Siswa Luar Kota di Yogya Akan Dievaluasi


Agus Sigit Cahyana
 
YOGYA (KRjogja.com) - Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta kini melakukan evaluasi kuota jumlah siswa luar kota untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yahun 2012. Hal tersebut mempertimbangkan jumlah kuota yang berlaku saat ini menyebabkan banyaknya anak didik warga Kota Yogyakarta yang tidak dapat tertampung belajar di wilayah kota Yogyakarta.

"Berdasarkan hasil studi banding ke sejumlah kota, terungkap sejumlah kota telah berani tidak memberikan kuota sedikitpun bagi anak-anak yang berasal dari luar kota. Di Surabaya kuotanya 95 banding lima, di Malang sama sekali menutup kesempatan bagi siswa dari luar kota. Sedangkan kita saat ini masih di angka 70 banding 30," jelas Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana hari ini di Yogyakarta.

Dari evaluasi yang dilakukan, menurutnya dengan kuota yang berlaku saat ini masih ada sekitar 3.000 anak warga Kota Yogyakarta yang saat ini harus belajar di wilayah lain seperti Sleman atau Bantul. Kondisi tersebut mengakibatkan anak-anak yang terpinggirkan tersebut sulit merasakan bantuan yang disalurkan Pemkot Yogya melalui UPT Jaminan Pendidikan Daerah (JPD).

"Padahal jaminan pendidikan melalui JPD diberikan sejak awal tahun yakni mulai dari proses PPDB, hingga belajar mengajar dilakukan. Memang penduduk kota ini harus dipertimbangkan untuk mendapatkan kesempatan lebih. Pengkajian masih belum dapat memutuskan jumlah kuota. Saat ini opsinya masih dipertahankan, tetapi dalam proses pengkajian di uji tingkat kelayakan dari angka tersebut," pungkasnya.

Sementara Ketua Komisi D DPRD Kota Yogyakarta Sujanarko mengatakan, saat ini juga sedang dilakukan evaluasi keberadaan Peraturan Walikota (Perwal) tentang pembatasan jumlah calon siswa dari luar kota. Pembatasan tersebut menurutnya, diperlukan karena ada perbedaan kebijakan antara satu daerah dengan daerah lain dalam hal jaminan pendidikan. "Memang sedang dievaluasi untuk dirubah, tujuannya memberikan kesempatan anak kota lebih berkesempatan belajar di wilayahnya sendiri, karena banyak laporan yang diterima menyebutkan, anak-anak yang harus belajar di luar Kota Yogyakarta tersebut juga tidak mudah mendapatkan bantuan untuk menjalani proses belajar mengajar." terangnya. (Den) 

Sumber
KRJogja

Berprestasi di Balapan, Tak Tertinggal di Sekolah...


Menjadi siswa binaan Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar atau PPLP memberikan kebanggaan besar bagi Muhammad Imam Arifin, Brian Dwi Wicaksono, Diwan Fiar Pradana, dan Deni Christianto.
Para pelajar SMA yang juga siswa binaan PPLP Balap Sepeda Jawa Tengah, yang berpusat di Kota Solo, ini menjadi siswa yang ”populer” di sekolahnya. Namun, popularitas itu disertai tanggung jawab yang besar.
Keempat siswa PPLP Solo itu tetaplah sama dengan siswa lainnya yang harus rajin mengerjakan berbagai tugas dan belajar untuk bisa mendapatkan nilai yang baik di sekolah. Ketika terpaksa absen tak sekolah beberapa hari karena harus berlomba, para siswa PPLP ini harus mengatasi ketinggalan pelajaran itu dengan usaha mereka sendiri atau meminta bantuan teman- temannya.
Deni, yang duduk di bangku kelas III di SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Surakarta, sudah dua bulan mengurangi porsi latihannya karena harus fokus ke ujian nasional. ”Dari awal ditekankan pelatih, rapor juga harus tetap bagus,” ujar Deni yang juga pernah menjabat sebagai Ketua OSIS.
Sebagai siswa PPLP pertama yang bersekolah di SMA itu, Deni memberi kesan sangat baik bagi para gurunya. Antonius Marsis Surayuda, guru olahraga yang juga penanggung jawab urusan kesiswaan, menilai, secara pribadi, Deni menarik karena pandai bergaul dan juga terlatih, karena biasa menjalani latihan berat di PPLP.
”Waktu pemilihan ketua OSIS, dia dengan mudah bisa memengaruhi teman-temannya. Dia tidak usah kampanye, tetapi teman-temannya yang kampanye. Di samping itu, dia juga jagoan main musik sehingga masuk Yosef Band padahal seleksinya ketat. Dia juga suka membantu band yang bukan grupnya, sebagai pemain tambahan,” ungkap Surayuda.
Wali kelas Deni, Lusia Riyatimaningrum, yang juga guru Matematika, menambahkan, secara akademik, prestasi Deni tak buruk. Pada pembagian rapor rekap ulangan harian, beberapa waktu lalu, ia masuk peringkat ke-13, dari yang sebelumnya ke- 17. ”Dia menonjol di mata pelajaran Bahasa Inggris. Sementara untuk hitung-hitungan, seperti Matematika dan Akuntansi, masih kurang. Nilainya yang merah Sosiologi karena itu hafalan,” ujarnya.
Meski tak mendapat perlakuan khusus, katanya, Deni dipantau banyak guru di sekolahnya. Dengan demikian, dia selalu diingatkan jika tertinggal dalam mata pelajarannya.
M Ali Mashar SPd, guru kesiswaan SMA Batik I, Solo, juga menilai positif kehadiran Imam di SMA tersebut. Imam, yang kini kelas II SMA, bukan siswa yang menempati peringkat atas, tetapi juga tak berada di peringkat bawah. Dia bahkan bisa masuk ke jurusan IPA.
”Keberadaan Imam memberikan motivasi juga kepada murid-murid lain untuk berprestasi. Teman-temannya tahu dia atlet balap sepeda, tetapi belum ada yang tertular ingin seperti dia,” ungkap guru yang juga mantan atlet pencak silat itu.
Dispensasi sekolah
Deni dan Imam dipuji karena bisa membagi waktu dengan baik antara latihan, lomba, dan aktivitas sekolah. Mereka diberi dispensasi khusus untuk tidak masuk beberapa hari jika akan mengikuti turnamen. Namun, mereka tetap diwajibkan mengejar pelajaran yang tertinggal dengan belajar sendiri atau meminta bantuan teman-temannya.
”Kalau ada ulangan yang tertinggal, kami memberi kebijakan kepada dia untuk bisa ulangan susulan sendiri,” kata Ali.
Selain dispensasi itu, Deni tak mendapatkan insentif lain dari sekolah terkait statusnya sebagai siswa PPLP.
Di SMA Batik I, insentif berupa ”beasiswa” diberikan kepada Imam, yaitu berupa diskon pembayaran SPP. Yang jelas, jika Deni dan Imam menjuarai lomba, prestasi itu pasti diumumkan pada upacara bendera. (OKI)

Sumber
KOMPAS

Getar Semangat dari "Sekolah Kuburan"

Indra | Latief
 
 
INDRA Awalnya, lantai ruangan kelas ini hanya beralaskan terpal dan menggunakan ruang kosong di sebuah pemakaman sebagai tempat belajar mengajar.

 
 
BOGOR, KOMPAS.com — Mengubah keprihatinan menjadi sebuah semangat, apalagi sampai berbuah prestasi, merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Inilah yang berusaha dibangkitkan oleh pengelola yayasan pendidikan SMP Akademia, Desa Pasir Mukti, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang dulunya disebut sebagai sekolah kuburan oleh masyarakat.

Kami ingin mengubah ketertarikan masyarakat terhadap sekolah ini bukan karena prihatin, tetapi tertarik dengan prestasi kami.
-- Dedi Supriyadi

Kepala SMP Akademia Dedi Supriyadi mengakui, awalnya sekolah tersebut ibarat sebuah pekuburan yang memprihatinkan. Lantai ruangan kelas hanya beralaskan terpal dan menggunakan ruang kosong di sebuah pemakaman sebagai tempat belajar mengajar.
Kini, ia mengaku berbangga hati karena telah bisa mengubahnya menjadi sekolah yang bisa bersaing menyajikan pendidikan dengan sekolah lain. Saat ini, meski hanya berbekal keringanan tangan dari ratusan donatur, SMP Akademia telah mempunyai empat lokal kelas dan satu ruang guru yang lebih layak.
Dedi mengatakan, tenaga pengajar di sekolah ini bukan guru honorer yang dibiayai pemerintah. Semua guru di "sekolah kuburan" ini adalah para sukarelawan dari sekitar wilayah Citeureup. Para guru itu secara sukarela mengajar tanpa diberi sepeser pun sebagai gaji.
"Karena para siswa tidak dipungut biaya sepeser pun, gratis," kata Dedi.
Ia mengakui, tahun-tahun yang lalu memang sangat memprihatinkan. Sekarang, sekolah tersebut sudah berbalik arah menjadi 180 derajat.
"Kami ingin mengubah ketertarikan masyarakat terhadap sekolah ini bukan karena prihatin, tetapi tertarik dengan prestasi kami," kata Dedi, Sabtu (16/4/2011) di Bogor.
Ia merasa, di tengah keprihatinan masyarakat terhadap dinamika dunia pendidikan nasional saat ini, semangat mendidik harus terus dikobarkan. Oleh karena itu, lanjut Dedi, ia bersama para sukarelawan guru berusaha keras mengenalkan prestasi anak didik "sekolah kuburan" ini kepada masyarakat.
"Prinsip kami jelas, tak ada alasan untuk tidak menjadi hebat. Itulah yang terus kami tanamkan dalam benak siswa," lanjut Dedi.

Sumber
KOMPAS

Menpan: Istilah Pendidikan Gratis Sebaiknya Dihapus


| Lusia Kus Anna



Kompas.com - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar meminta agar istilah program pendidikan gratis di daerah, sebaiknya dihilangkan dan tidak lagi digunakan pemerintah.

"Program pendidikan gratis sebaiknya dihilangkan, karena sesungguhnya pendidikan gratis itu tidak ada," kata Menteri Azwar Abubakar pada rapat kerja Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh dengan para bupati di provinsi itu, di Mamuju, Jumat (23/3).

Menteri mengatakan, pemerintah menjalankan program pendidikan dengan mengalokasikan anggaran pendidikan begitu besar melalui APBD, agar siswa tidak dipungut biaya pendidikan di sekolahnya.
   
Namun, kata dia, program itu sesungguhnya namanya bukan pendidikan gratis, karena APBD yang digunakan membiayai pendidikan tersebut berasal dari masyarakat yang selama ini telah membayar pajak.
   
"Masyarakat sudah membayar pajak melalui APBD, sehingga ketika anggaran APBD digunakan membiayai pendidikan dengan tidak dipungut biaya maka itu adalah hal yang wajar, karena mendapatkan pendidikan yang merupakan hak masyarakat," katanya.

sumber
KOMPAS
    

Ada Beasiswa di Hong Kong, Mau?


Ayu Rahayu Elfitri | Lusia Kus Anna |
 
Kompas.com - Anda yang tertarik untuk melanjutkan studi di universitas bergengsi di Asia mungkin bisa mengikuti program beasiswa dari Universitas Lingnan Hongkong. Universitas ini menawarkan beasiswa belajar penuh waktu di universitas tersebut. Beasiswa penuh yang diberikan meliputi biaya kuliah, asrama, biaya akademis, dan biaya hidup lainnya.

Beasiswa ini terutama diberikan kepada mahasiswa yang memiliki prestasi akademik baik dan memiliki catatan yang baik di masyarakat. Selain itu pelamar Non-lokal yang ingin ke Hong Kong untuk tujuan pendidikan harus memastikan bahwa mereka telah memenuhi semua persyaratan dari lembaga Visa/ izin masuk untuk tinggal di Hong Kong.

Periode aplikasi penerimaan paling lambat 31 Maret 2012. Pelamar yang mengirimkan aplikasi online setelah tanggal tersebut dianggap sebagai aplikasi terlambat dan diberikan kesempatan lebih rendah. Pihak universitas juga tidak menrima aplikasi setelah tanggal 10 Juli 2012.

Untuk informasi lebih lanjut silahkan kunjungi website resmi: www.ln.edu.hk

Sumber: http://www.scholarshipsgrantsloan.com/undergraduate-scholarships-for-non-local-students-lingnan-university-hong-kong/

Program Bidik Misi untuk PTS Dinilai Diskriminatif


Yatimul Ainun | Lusia Kus Anna
 
MALANG, KOMPAS.com - Wacana program beasiswa bidik misi (beasiswa pendidikan mahasiswa miskin berprestasi)untuk perguruan tinggi swasta yang direncanakan oleh Direktorat jenderal pendidikan tinggi (Ditjen Dikti) di Jakarta beberapa hari lalu, dinilai diskriminatif. Hal itu dilihat dari syarat yang ditentukan sangat rumit dan sulit dipenuhi oleh mahasiswa perguruan tinggi swasta. Salah satu syaratnya adalah harus mengikuti kuliah di program studi yang telah mendapat akreditasi A.
"Menurut saya syarat itu diskriminatif. Kebijakan yang bagus itu sebaiknya tanpa perlu syarat yang jlimet dan sulit. Kalau mau beri beasiswa, ya beri saja, jangan ada syarat yang sulit dipenuhi," tegas Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Jawa Timur, Prof Suko Wiyono, Sabtu (24/3/2012).
Menurut Wiyono, pemberlakuan syarat itu semakin menegaskan diskriminasi antara mahasiswa perguruan tinggi swasta dengan perguruan tinggi negeri.  Dia membandingkan pemberian beasiswa bidik misi di perguruan tinggi negeri tidak memerlukan syarat akreditasi. Semua mahasiswa yang berprestasi di PTN, yang kurang mampu, berhak mendapatkan beasiswa Bidik Misi. "Mengapa untuk di PTS harus ada syaratnya?" tanyanya.
Ia menjelaskan, tidak semua prodi di PTN terakreditasi A. Banyak juga yang akreditasinya C, namun hal itu tidak dijadikan pra syarat mendapatkan bidik misi. "Pemerintah sudah saatnya untuk tidak membedakan mahasiswa PTN dan PTS. Seharusnya yang berhak mendapatkan beasiswa bidik misi itu adalah semua mahasiswa yang tidak mampu dan memang membutuhkan," kata Wiyono, yang juga Rektor Universitas Wisnuwardhana Malang itu.
Selain itu katanya, tidak semua daerah di Indonesia memiliki PTN. Bahkan jumlah PTS itu lebih banyak dari pada PTN. "Terutama di daerah-daerah pinggiran yang membutuhkan beasiswa itu lebih banyak," katanya. Jika syarat tersebut tetap diterapkan, ia khawatir yang mendapatkan beasiswa justru mahasiswa di perkotaan.

Sumber
KOMPAS

SNMPTN Tulis Akan Dihapus, "Ngapain Ujian Dua Kali?"


Indra Akuntono | Inggried Dwi Wedhaswary

 
JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan, rencana menghapus jalur ujian tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) akan berlaku tahun 2013 mendatang. Hal itu dilakukan untuk efisiensi waktu dan anggaran, serta sebagai pelecut untuk memperkokoh nilai rapor dan nilai ujian nasional (UN) yang kredibel.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso mengatakan, ke depannya calon mahasiswa tak perlu lagi melaksanakan dua kali ujian. Setelah selesai melaksanakan dan lulus UN, para siswa dapat langsung dipromosikan oleh sekolah untuk ikut SNMPTN melalui jalur undangan.

"Tahun depan tidak perlu lagi (ujian tulis). Kenapa harus dua kali ujian, UN dan ujian tulis SNMPTN," kata Djoko, Selasa (13/3/2012), di Gedung Kemdikbud, Jakarta.

Ia mengungkapkan, dihapusnya ujian tulis pada SNMPTN juga dianggap lebih ekonomis dan membantu meringankan beban anggaran pendidikan. Sebab, secara otomatis tak ada lagi kebutuhan anggaran untuk mencetak naskah soal dan jawaban ujian tulis SNMPTN.

Sebagai informasi, tahun lalu anggaran untuk menyelenggarakan SNMPTN mencapai sekitar Rp 30 miliar. Terkait itu, kebutuhan anggaran yang awalnya dialokasikan untuk mencetak naskah soal dan jawaban SNMPTN dapat dialokasikan untuk keperluan lain. Salah satunya,  rencana menggratiskan pendaftaran SNMPTN mulai 2013.

Selanjutnya, mantan rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga berharap, kebijakan ini dapat dijadikan motivasi untuk mewujudkan nilai rapor dan nilai UN yang kredibel. Seperti diketahui, jalur undangan ditentukan oleh nilai rapor dan nilai UN yang dikombinasikan.

"Jika sudah berjalan tentu kita harus percaya pada nilai rapor dan UN," ujarnya.

Dengan dihapuskannya ujian tulis pada SNMPTN 2013, berarti peluang untuk masuk ke PTN hanya akan melalui dua jalur, yaitu SNMPTN jalur undangan dan jalur ujian mandiri yang dilakukan oleh masing-masing PTN.

Sejumlah pihak mengaku setuju dengan kebijakan ini. Dengan catatan, nilai rapor dan nilai UN yang dijadikan komponen dalam menentukan jalur undangan dapat disajikan dengan valid dan benar.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/14/09283669/SNMPTN.Tulis.Akan.Dihapus.Ngapain.Ujian.Dua.Kali.

'Membunuh' Sekolah Swasta

| Inggried Dwi Wedhaswary
 
SIDHARTA SUSILA*
KOMPAS.com - Aneh! Ketika pemerintah pasang badan melindungi dan meringankan hidup rakyat dengan mengeluarkan peraturan, rakyat justru gelisah, bahkan nasibnya merasa dipertaruhkan dan diperlakukan tidak adil.
Itulah yang dialami sekolah swasta terkait Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 60/2011 tentang larangan bagi sekolah SD-SMP memungut biaya pendidikan kepada peserta didik. Sejumlah pengelola sekolah swasta keberatan.
Mereka memandang peraturan menteri yang diundangkan per 4 Januari 2012 itu sangat merugikan sekolah swasta, khususnya sekolah swasta miskin yang masih membutuhkan kucuran dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah.
Sesungguhnya alasan diterbitkannya peraturan ini mulia. Peraturan ini ingin mengembalikan hakikat negara sebagai yang paling bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Selain itu, juga menyiratkan bahwa negara tidak lagi membiarkan sebagian besar beban penyelenggaraan pendidikan terus ditanggung masyarakat, khususnya sekolah swasta yang telah begitu banyak menggantikan peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan sejak masa penjajahan.
Pemahaman positif ini terkait keputusan Mahkamah Konstitusi yang memenuhi uji materi UU Sistem Pendidikan Nasional Pasal 55 Ayat (4). MK menegaskan, ”Lembaga pendidikan berbasis masyarakat wajib memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.”
Pemerintah pasti menyadari implementasi Permendikbud No 60/2011 wajib mengindahkan keputusan MK tersebut. Namun, mengapa peraturan itu tetap menggelisahkan rakyat?
Memahami kegelisahan
Pertimbangan ditetapkannya Permendikbud No 60/2011 adalah: (a) untuk menjamin terselenggaranya program wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya; (b) bahwa pungutan membebani masyarakat sehingga dapat menghambat akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan pendidikan dasar.
Inilah tekad pemerintah untuk menjamin pendidikan dasar bagi semua warga. Mengharukan karena negara membela nasib rakyat, khususnya kaum miskin.
Bagaimana nasib institusi pendidikan, khususnya swasta? Pasal 3 menegaskan: sekolah dilarang memungut biaya investasi dan biaya operasi dari peserta didik, orangtua, atau walinya.
Secara khusus (Pasal 4) sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta) dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik, orangtua, atau walinya yang tak mampu secara ekonomis. Pasal ini sangat menyulitkan sekolah swasta.
Itu belum cukup. Pasal 5 Ayat 1 menegaskan, sekolah swasta yang menerima BOS tidak boleh memungut biaya operasi.
Padahal, fakta menunjukkan, dana BOS yang diterima tak mencukupi biaya penyelenggaraan sekolah secara keseluruhan, seperti kebutuhan gaji guru/karyawan, biaya investasi sarana-prasarana, dan operasional pembelajaran.
Memang Pasal 5 Ayat 2 memberi kemungkinan melakukan pungutan asal sepersetujuan dari orangtua/wali peserta didik, komite sekolah, dinas pendidikan provinsi, dan kepala dinas pendidikan kabupaten/kota.
Bagi sekolah swasta, ayat ini hanya melahirkan kerumitan, bahkan kemustahilan untuk bisa melakukan pungutan. Kalau sekolah swasta tetap melakukan pungutan yang tidak sesuai dengan Pasal 3 sampai Pasal 5, sanksi yang bakal diberikan adalah pencabutan izin penyelenggaraan.
Sesungguhnya kalau keputusan MK tentang UU Sisdiknas Pasal 55 Ayat (4) yang mewajibkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dijalankan, pastilah tidak ada yang perlu dicemaskan.
Artinya, pemerintah memperlakukan sekolah swasta sama seperti sekolah negeri, misalnya dengan mengambil alih pemberian gaji guru dan operasional sekolah. Mungkinkah pemerintah melakukan itu? Atau keputusan MK bakal diabaikan?
Sangat beralasan jika terbitnya Permendikbud No 60/2011 sangat menggelisahkan masyarakat, khususnya sekolah swasta. Peraturan ini sangat memungkinkan terjadinya proses eutanasia, membunuh, sekolah swasta. Apalagi, kalau peraturan ini dimanfaatkan pejabat demi pencitraan politis.
Kalau karena peraturan ini sekolah swasta mulai sekarat bahkan mati, alih-alih pemerintah menjamin pendidikan yang layak, pemerintah justru telah ceroboh mengempaskan hak belajar berjuta anak bangsa. Ironis dan tragis.
*SIDHARTA SUSILA Pendidik, Tinggal di Muntilan, Magelang

http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/12/14433047/Membunuh.Sekolah.Swasta 

Mereka Mencerdaskan Kaum Jelata

| Erlangga Djumena
KOMPAS/MYRNA RATNA Anak-anak berusia 4-6 tahun belajar dengan gratis di Rumah Singgah Taman Indira di Bulakan, Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Kamis (1/3/2012).

 

KOMPAS.com - Anak-anak berusia 4-6 tahun belajar dengan gratis di Rumah Singgah Taman Indira di Bulakan, Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Kamis (1/3/2012).
Siapa peduli pada pendidikan bagi kaum jelata? Sejumlah warga mendedikasikan diri membangun sekolah gratis dengan pemikiran sederhana: ikhlas berbagi untuk yang papa.
Pasangan Fuady Munir (63) dan Sri Tjendani (62) sekitar awal tahun 2000 pernah menjebol tembok belakang rumah mereka di kawasan Jalan Maleo, Bintaro, Tangerang Selatan, hanya untuk memberi akses belajar kepada anak-anak kampung. Fuady Munir gerah melihat banyak anak kampung tidak bersekolah.
Sebagai orang yang pernah bekerja di British Council, Fuady memulai dengan mengajar bahasa Inggris. Istrinya, Sri Tjendani, yang aktif di kelompok pengajian mulai berpikir untuk merangkul lebih banyak anak. Berdirilah Yayasan Maleo dengan Sri sebagai ketua umum. Sejak 6 Agustus 2005, yayasan ini mendirikan SMP Terbuka Ibnu Sina, sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu.
Sri ingat, pada saat memasang spanduk pendaftaran sekolah gratis, seseorang datang dan mewakafkan 1.000 meter persegi tanahnya. Karena lokasinya yang jauh, donatur yang tak mau disebut namanya itu menjual tanah tersebut dan memberikan seluruh dananya kepada Yayasan Maleo. ”Hebatnya, tanah itu terjual hanya dalam seminggu,” tutur Sri dengan mata berkaca-kaca.
Di atas tanah wakaf itulah kini gedung permanen SMP Terbuka Ibnu Sina berdiri dan menampung 59 siswa. Sebagai sekolah gratis, Ibnu Sina pada awalnya babak belur. ”Tetapi, niat kita hanya menolong orang yang tidak mampu…,” ujar Ketua I Yayasan Maleo Astrida Daulay.
Cepi J Malik, Pembina Yayasan Maleo, mengatakan, semua tenaga pengajar di SMP Terbuka Ibnu Sina adalah relawan, tanpa dibayar. Meski begitu, mereka memiliki kualifikasi pendidikan terendah S-1, bahkan beberapa di antaranya S-2 dan S-3. Cepi sendiri, selain penyandang dana tetap, juga terjun sendiri mengajar anak-anak yang membutuhkan perhatian itu.
Tak kenal sosis
Liana Christanty (52) memilih laku dan jalan hidup serupa meski tinggal di Surabaya. Ceritanya berawal dari sosis. Ketika berjalan-jalan tidak jauh dari rumahnya di Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, Liana bertemu anak-anak jalanan. Setelah berbicara, ia mengajak anak-anak itu ke rumahnya untuk sekadar makan. Kebetulan juru masak sedang membuat nasi goreng telur bertabur sosis. Anehnya, kata Liana, anak-anak jalanan itu tidak memakan sosis. ”Ternyata mereka bukan tidak suka, tetapi mereka belum pernah makan sosis, bahkan tidak tahu itu sosis,” tutur Liana.
Kejadian itu membekas di hati Liana. Ia lalu membuka rumahnya bagi anak-anak jalanan yang ingin sekadar makan. ”Rata-rata mereka loper koran dan pengamen,” katanya.
Karena mengetahui sebagian dari mereka buta huruf, Liana berinisiatif mendatangkan guru dan memberi mereka pelajaran. Aktivitas itu mendorong Liana memutuskan tidak lagi membantu kerja suaminya, ia fokus mengurus anak-anak jalanan. Tahun 2008 berdirilah Sekolah Pelita Permai di bawah Yayasan Kasih Pengharapan.
Liana mengontrak dua rumah senilai masing-masing Rp 15 juta per tahun untuk disulap menjadi sekolahan. Di situlah kini terdapat kelas TK A dan TK B serta SD sampai kelas III. Para murid sekolah ini umumnya warga kampung kumuh di pinggiran Kota Surabaya yang orangtua mereka tak mampu menyekolahkan anak mereka di sekolah berbiaya.
Viloh Menanangung (28) yang siang itu mengantar anaknya ke Sekolah Pelita Permai mengatakan, Kartono Budiman (6) berubah banyak setelah bersekolah. Dulu Kartono sering berbicara kasar karena bergaul dengan orang dewasa. Kini, ia sudah lebih santun. Sebagai orang kecil, Viloh bersyukur anaknya bisa bersekolah di sekolah gratis.
Liana bercerita tidak hanya mengurus soal sekolah anak- anak. Kesibukannya pun bertambah-tambah karena banyak anak yang tidak punya kebiasaan mandi. Ia dan para relawan memandikan anak-anak, muridnya, di sekolah. Pekerjaan Liana bahkan sampai mengurus akta kelahiran anak-anak didiknya. ”Banyak orangtua yang tak punya surat nikah. Jadi, anak-anak ini juga tidak punya akta kelahiran,” katanya.
Fondasi karakter
Novelis Ahmad Fuadi mendedikasikan seluruh royalti novel Negeri 5 Menara untuk membangun Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Komunitas 5 Menara di kawasan Pondok Ranji, Bintaro. Meski baru dimulai setahun lalu, PAUD ini sudah merekrut 35 anak. Pada awalnya Ahmad Fuadi dan para relawan menyisir kampung di sekitar rumahnya untuk mencari anak-anak dari keluarga kurang mampu yang belum bersekolah.
Bahkan, kini PAUD Komunitas 5 Menara menampung Kendra (5), anak autis yang membutuhkan perhatian lebih khusus. ”Awalnya sulit, tetapi dengan sabar, alhamdulillah sekarang Kendra sudah bisa menahan diri,” kata Kepala Sekolah PAUD Komunitas 5 Menara Atikah (42).
Sekolah ini didirikan Ahmad Fuadi dengan mengontrak tanah kosong di dekat perumahan Bintaro Jaya. Ia kemudian mendirikan dua bangunan sederhana yang dijadikan kelas TK A dan TK B. Meski bangunannya sederhana, ruangannya boleh dibilang sekelas dengan sekolah- sekolah swasta berbayar mahal. ”Saya ingin mereka juga bisa menikmati fasilitas terbaik,” kata novelis yang novelnya, Negeri 5 Menara, baru saja difilmkan itu.
Menurut Fuadi, dia memilih pendidikan usia dini karena sadar bahwa tingkat ini menjadi saat- saat meletakkan fondasi karakter dan budi pekerti anak. ”Orang pintar di Indonesia banyak, tetapi banyak juga yang korupsi. Jadi, soal kognitif saja tidak cukup,” katanya.
Mantan presenter Dik Doank lebih kurang punya kepedulian yang sama. Dik membangun komunitas yang dia sebut Komunitas Kreativitas Kandank Jurank Doank (KJD) di kawasan Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan. Bersama 70 relawan di KJD, Dik mengajar anak-anak dalam sekolah informal yang menekankan pengajaran seni. Anak- anak yang bergabung di sini tidak dibatasi ruangan kelas, mereka belajar layaknya di sekolah alam. Di KJD, antara lain, disediakan fasilitas perpustakaan, arena bermain, kolam ikan, serta ruang- ruang berlatih musik, tari, dan menggambar. Asal tahu, semua pengajarannya berlangsung secara gratis.
Karena sekolahnya informal, kata Dik, puluhan anak yang tergabung di KJD tidak pernah mengikuti ujian. ”Ujian untuk anak-anak ini nantinya dalam kehidupan nyata mereka,” katanya. Meski sedang berada dalam puncak karier sebagai artis penyanyi, Dik meninggalkan segalanya agar bisa lebih fokus mengurus anak-anak. Ia memulai semuanya pada tahun 1993 dengan dana dari koceknya sendiri. ”Allah yang membuat semua ini besar, mungkin karena semua datang dari hati dan cinta,” katanya.
Mereka melakukan segalanya dengan ikhlas dan penuh pengharapan agar generasi bangsa ini menuju arah yang lebih baik. Prinsipnya, lebih baik berbuat kecil daripada menunggu langkah besar pemerintah yang entah kapan datangnya…. (CAN/WKM/DAY/ARA/MYR)
http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/11/08594593/Mereka.Mencerdaskan.Kaum.Jelata 

Penghapusan Ujian Tulis SNMPTN Dinilai Gegabah



Indra Akuntono | Inggried Dwi Wedhaswary 

 
JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana pemerintah menghapus seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur tertulis dinilai gegabah. Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Muhammad Abduhzen, mengatakan, hal itu akan semakin membuka celah kecurangan yang berpengaruh pada kualitas lulusan pendidikan tinggi di masa yang akan datang.

Apalagi, menurutnya, saat ini belum ada peta data pokok serta kualitas pendidikan secara nasional.

"Jalur undangan bisa menjadi baik hasilnya kalau kita sudah memiliki data serta peta sekolah rapi dan tertata lengkap. Peta kualitas sekolah dan data-data pokok pendidikan kita saja masih kacau. Kebijakan penghapusan ujian tulis SNMPTN itu akan merugikan," kata Abduhzen, Rabu (14/3/2012), di Jakarta.

Ia menjelaskan, dampak jangka panjang yang akan dituai dunia pendidikan nasional adalah terjadinya kemerosotan kualitas lulusan pendidikan tinggi ke depannya. Penghapusan ujian tulis SNMPTN juga akan semakin membuka celah untuk melakukan kecurangan, baik di jenjang pendidikan menengah maupun di jenjang pendidikan tinggi.

Selain itu, ia juga menilai pengawasan ketat yang dijanjikan pemerintah hanya akan menjadi formalitas belaka. Meski diawasi, menurutnya, dorongan untuk berbuat curang jauh lebih besar ketimbang kemampuan untuk melakukan pengawasan. Kecurangan akan semakin sistematis karena manipulasi nilai akan terjadi sejak kelas I SMA (sederajat).

"Aparatur negara kita, baik di jenjang SMA maupun di pendidikan tinggi, belum bisa dipercaya, akan banyak permainan," ujarnya.

Seperti diberitakan, mulai tahun 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) berencana menghapus ujian tulis SNMPTN. Alasannya adalah efisiensi waktu dan anggaran yang digunakan serta sebagai pelecut menyajikan nilai rapor dan nilai ujian nasional yang kredibel sekaligus mengintegrasikan pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi.

http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/14/10404225/Penghapusan.Ujian.Tulis.SNMPTN.Dinilai.Gegabah

2013, SNMPTN Gratis!

Indra Akuntono | Inggried Dwi Wedhaswary
 
JAKARTA, KOMPAS.com — Pada tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana menggratiskan biaya seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso mengatakan, saat ini Kemdikbud tengah menghitung dana yang diperlukan untuk menerapkan SNMPTN gratis.

Tahun 2011, pemerintah mengalokasikan Rp 30 miliar untuk menyelenggarakan SNMPTN. Besaran dana itu mampu menutupi biaya operasional SNMPTN jalur undangan dan ujian tulis sekitar 35 persen.

Rencana ini, jelas Djoko, sejalan dengan akan dihapuskannya SNMPTN jalur ujian tertulis. Menurutnya, dengan hanya membuka jalur undangan dalam penerimaan mahasiswa baru di PTN, beban penyelenggaraan SNMPTN lebih ringan karena tidak perlu lagi mencetak naskah untuk ujian tulis.

"Semua menjadi lebih hemat karena tidak ada biaya cetak. SNMPTN akan gratis karena pemerintah yang membayarnya," kata Djoko, Selasa (13/3/2012), di Gedung Kemdikbud, Jakarta.

Selama ini, peserta SNMPTN memang dikenai biaya pendaftaran yang nilainya berbeda setiap tahunnya. Pada 2012, setiap peserta jalur undangan dikenai biaya pendaftaran sebesar Rp 175.000. Adapun untuk jalur ujian tulis setiap peserta dikenai biaya Rp 150.000 untuk kelompok IPS dan Rp 175.000 untuk kelompok IPC (IPA dan IPS).

Di luar itu, terdapat juga ujian keterampilan sebesar Rp 150.000 untuk setiap peserta yang dibayarkan saat peserta mengikuti ujian keterampilan di PTN penyelenggara.

 http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/14/08252864/2013.SNMPTN.Gratis

Aduh, Hasil Try Out UN Siswa Yogya di Bawah Standar, Kok Bisa?

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Hasil try out atau uji coba pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagi siswa tingkat akhir di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Kota Yogyakarta ternyata belum memenuhi standar yang di tentukan. Bahkan nilai rata-rata hasil try out tersebut masih jauh dari standar yang ditargetkan Dinas Pendidikan setempat.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Diknas) Kota Yogyakarta, Edy Heri Suasana, target rata-rata hasil UN yang diharapkan pihaknya tahun ini adalah 7,5. Namun hasil try out yang sudah dilakukan di tingkat SMP dan SMA di Yogyakarta nilai rata-ratanya masih dibawah 7.

Berdasarkan data dari pelaksanaan try out, nilai rata-rata ujicoba UN siswa SMP di Yogya baru 6,54 pada try out tahap pertama. Nilai rata-rata itu bahkan turun pada try out tahap kedua hanya 6,1 saja. Nilai rata-rata ujicoba SMA kata Edy, juga masih di bawah standar karena hanya 6,2 saja.

"Masih di bawah standar memang, tetapi itu tidak menggambarkan hasil UN yang sebenarnya," terangnya usai audiensi persiapan UN dengan Komisi D DPRD Kota Yogyakarta, Kamis (8/3).

Pasalnya kata Edy, standar soal ujicoba UN yang dibuat oleh tim soal di Yogyakarta masih tinggi dibandingkan soal UN 2011. "Tingkat kesukarannya juga berbeda karenanya hasil try out ini tidak menggambarkan hasil UN tahun ini," ungkapnya.

Namun begitu, kata dia, pihaknya terus melakukan berbagai langkah meningkatkan persiapan siswa menghadapi UN tahun ini. Selain pendalaman materi, pihaknya juga menerapkan program sister school dan kemitraan sekolah untuk peningkatan persiapan siswa dan sekolah menghadapi UN. Program ini sudah dilakukan sejak 2010/2011 lalu.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Yulianingsih